Sword Art Online Volume 2 Chapter 2 Kehangatan Hati (Lantai ke-48 Aincrad, Juni 2024) Bagian II


Aku segera mencium aroma herbal. Sekarang aku baru sadar, aku belum makan apa-apa selain hotdog tadi pagi. Perutku tiba-tiba menuntut makanan dengan keras seakan baru saja ingat kalau dia kelaparan.
Timer masaknya menghilang dengan suara 'pin pon,' kemudian Kirito membagi isi panci itu ke dalam dua gelas.
"Jangan terlalu berharap, keahlian memasakkku nol."
"Makasih..."
Kehangatannya berpindah ke tanganku melalui gelas yang diserahkan Kirito padaku. Isinya adalah sop sederhana dari daging kering dan bumbu-bumbu dari tumbuhan, namun level bahan-bahannya sepertinya tinggi dan rasanya lebih dari enak. Panasnya juga menyebar ke seluruh tubuhku yang dingin.
"Perasaan ini misterius banget... Aku ga merasa kalau ini nyata."
Aku bergumam sambil meminum sopnya.
"Maksudku situasi ini, berkemah di wilayah yang belum terjamah dan makan bersama orang tak dikenal..."
"Ah, iya juga... itu karena kamu pengrajin. Aku melakukan PuG[13] dengan pemain-pemain lain dan lumayan sering berkemah dengan mereka."
"Hmm, beneran? ...ceritain dong padaku, tentang dungeon-dungeon dan semuanya."
"Huh? Mm...oke. Walau menurutku sih ga menarik... oh tunggu, sebelum aku mulai......"
Kirito mengumpulkan gelas-gelas yang kosong serta panci, lalu mengembalikannya ke dalam inventarisnya. Dia membuka panelnya lagi dan mewujudkan dua benda yang terlihat seperti bongkahan pakaian yang tergulung.
Setelah dia membukanya, terungkap bahwa itu adalah kantong tidur. Penampilannya ekivalen dengan yang di dunia nyata, hanya saja lebih besar.
"Ini barang-barang kelas atas. Memelihara panas dengan sempurna, ditambah efek sembunyi dari monster agresif."
Dia melemparkan satu kepadaku sambil tersenyum. Sewaktu aku menghamparkannya di atas salju, ukurannya nampak bisa memuat tiga orang sepantaranku. Tercengang oleh ukurannya, aku berkata pada Kirito:
"Kamu hebat juga membawa barang-barang ini kemana-mana, dua lagi......"
"Yaa aku harus memanfaatkan inventarisku untuk sesuatu kan."
Kirito lekas menanggalkan equipmentnya dan berbaring di kantong tidur sebelah kiri. Aku juga menanggalkan mantel dan gadaku, lalu berguling masuk ke dalam kantong tidur. Memang barang kelas atas; di dalamnya sangat hangat, dan jauh lebih lembut dari kelihatannya. Kita terpisah sejauh satu meter dengan lentera diantaranya. Tapi aku masih merasa sedikit... malu, jadi aku berbicara lagi untuk menghilangkan kesunyian:
"Mm... iya, lanjut dengan ceritanya..."
"Oh, tentu..."
Kirito pelan-pelan mulai bercerita setelah dia meletakkan kepalanya di atas tangannya. Dia bercerita waktu dia dijebak oleh MPK--- para kriminal yang dengan sengaja mengumpulkan massa untuk menyergap pemain-pemain lain di dalam dungeon, dan bertarung melawan gerombolan bos dengan damage kecil tapi darahnya ga kira-kira untuk dua hari penuh dengan bergiliran tidur dengan pemain-pemain lain. Ada juga waktu dia melempar dadu dengan seratus pemain lain untuk sebuah item langka. Semua ceritanya menggetarkan, menyenangkan, dan sedikit menggelikan. Cerita-ceritanya juga membuat satu hal menjadi jelas--- dia adalah seorang Clearer, mereka yang mempertaruhkan nyawa di garis depan. Tapi juga berarti orang ini dibebankan dengan nasib ribuan pemain. Dia bukan jenis orang yang harus membahayakan nyawanya hanya untuk menyelamatkanku.
Aku berpaling pada Kirito dan memandang wajahnya. Matanya yang hitam memantulkan cahaya dari lentera.
"Hei... Kirito, boleh aku tanya sesuatu...?"
"---Kenapa tiba-tiba serius?"
"Kenapa kamu menolongku waktu itu...? Ga ada jaminan kamu bakal berhasil. Yah, lebih mungkin kalau kamu cuma akan mati bersamaku, jadi... kenapa......?"
Ekspresi Kirito mengeras untuk sesaat, tetapi dia segera mengendur ke wajahnya yang biasa dan merespon dengan suara tenang:
"...Aku lebih memilih mati bersama mereka daripada menyaksikan orang lain mati tanpa melakukan apa-apa. Apalagi kalau orang itu adalah cewek seperti kamu, Lis."
"...Kamu memang bener-bener idiot. Kamu mungkin cuma satu-satunya orang yang bakal ngomong kayak gitu."
Walau aku membalas dengan ketus, mataku tidak mampu menahan air matanya. Sebagian hatiku sakit, dan aku mencoba sekeras mungkin untuk mengendalikan dan menyembunyikannya. Aku belum pernah mendengar kata-kata sekeras kepala, setulus, dan sehangat itu semenjak aku datang ke dunia ini. Tidak, aku bahkan belum pernah mendengar kata-kata seperti itu sebelumnya di dunia nyata.
Perasaan tersiksa dari kesendirian dan keinginan untuk lebih berinteraksi dengan orang lain yang telah terkubur dalam di sudut hatiku tiba-tiba berkobar dan menelanku seperti badai. Aku ingin kehangatan Kirito cukup dekat untuk hatiku merasakannya---
Tanpa menyadarinya, kata-kata itu tercurah keluar dari mulutku:
"Maukah kamu... menggenggam tanganku?"


Aku berbalik ke arah Kirito, menarik lengan kananku keluar dari kantong tidur, dan menggapaikannya ke sebelah kiriku.
Mata Kirito sedikit terbelalak, tapi dia menjawab 'iya' dengan suara pelan lalu mengulurkan tangan kirinya. Begitu jemari kita bersentuhan, kita berdua menyentakkan tangan masing-masing untuk menjauh sesaat, tapi kemudian mengulurkannya lagi untuk saling berpegangan tangan.
Aku menggenggam erat tangan Kirito, yang jauh lebih hangat dari sop yang baru saja kumakan. Meski punggung tanganku masih terletak di atas es, aku tidak merasa kedinginan. Aku merasakan kehangatan manusia. Aku merasa aku akhirnya memahami kerinduan apa yang mengendap di sudut hatiku semenjak aku datang ke dunia ini.
Karena aku takut menjadi sadar dengan fakta bahwa dunia ini adalah sebuah ilusi--- bahwa tubuh asliku berada di suatu tempat yang jauh, tidak terjangkau seberapapun kerasnya aku mencoba, aku terus membuat tujuan untuk diriku dan memfokuskan segalanya pada pekerjaanku. Aku meyakinkan diriku kalau menaikkan level skill blacksmithku dan mengembangkan tokoku adalah kenyataanku.
Tetapi sebagian diriku selalu menyadari kalau semua ini palsu, tidak lebih dari sekedar data. Yang kudambakan adalah kehangatan manusia asli.
Tentu saja, badan Kirito juga adalah data. Kehangatan yang kurasakan sekarang hanyalah sinyal-sinyal elektronik untuk direspon otakku. Namun aku akhirnya menyadari bahwa itu tidak masalah. Aku bisa merasakan hatinya--- baik di dunia nyata maupun di dunia buatan ini, inilah satu-satunya kebenaran yang ada.
Begitu aku menggenggam erat tangan Kirito, aku tersenyum dan menutup mataku. Walaupun jantungku berdetak sangat cepat, sayangnya aku cepat tertidur dan kesadaranku terseret ke kegelapan yang nyaman.
[edit]Bagian 3
Wangi manis yang menyegarkan perlahan-lahan singgah di hidungku; Pelan-pelan kubuka mataku dan melihat seluruh dunia diliputi oleh sinar putih. Cahaya fajar, yang sudah terpantul beberapa kali oleh dinding es, membuat salju di dasar gua tampak gemerlapan.
Aku menggeser mataku dan melihat sebuah teko bertengger di atas lentera, dengan uap yang bergoyang di atasnya. Sepertinya wangi ini berasal dari situ. Di depan lentera itu duduk seseorang yang wajahnya hanya bisa kulihat dari samping. Namun begitu aku melihat sosoknya, nampaknya api kecil dalam hatiku telah menyala.
Kirito menolehkan kepalanya, mengungkapkan senyuman kecil, dan berucap:
"Pagi."
"......Pagi."
Jawabku. Selagi aku bersiap untuk bangun, aku sadar bahwa tangan kananku, yang harusnya bergantung keluar saat aku pergi tidur, sudah terletak kembali dengan rapi di dalam kantong tidur. Kubawa kehangatan yang tertinggal di telapak tangan ke bibirku, lalu melonjak seketika.
Kirito membawakanku cangkir panas, yang baru saja menggeliat keluar menuju salju. Setelah mengucapkan terima kasih, kuterima cangkir itu dan duduk di sampingnya. Isinya adalah sejenis teh bunga beraroma mirip mint yang belum pernah kurasa sebelumnya. Pelan-pelan aku meminumnya seteguk demi seteguk. Memperkenankannnya tenggelam dengan lembut ke dalam badanku. Hatiku menghangat gembira.
Aku menggeser badanku, menyandarkannya tepat pada Kirito. Begitu aku memutar kepalaku, mata kita bertemu sekejap sebelum lekas berpisah. Selama sebentar, hanya suara dua orang meminum teh yang terdengar.
"Hei......"
Akhirnya, berbisik dengan suara pelan selagi mataku terus menatap cangkirku.
"Hmmm?"
"......Kalau kita benar-benar gak bisa keluar dari sini, kita mau ngapain?"
"Tidur setiap hari."
"Cepet banget jawabnya. Pikirkan sedikit lebih serius lagi dong!"
Aku tersenyum sambil mendorong lengan Kirito dengan sikuku.
"......Tapi, itu gak buruk juga sih......"
Setelah mengatakannya, aku mulai menyandarkan kepalaku menuju bahu Kirito—
"Ah......!?"
Tiba-tiba Kirito menjerit dan condong ke depan. Aku, kehilangan sandaran, berakhir jatuh ke tanah dengan bunyi gedebur.
"Duuh, tadi itu kenapa!"
Aku mengeluh marah selagi menegakkan kembali batang tubuhku, namun Kirito berdiri bahkan tanpa menoleh kembali. Menyusul kemudian, ia berlari menuju bagian tengah lubang melingkar ini.
Karena curiga, aku juga bangun dan mengikutinya.
"Apaan sih?"
"Oh, tunggu sebentar......"
Kirito berlutut di lantai dan mulai menyingkirkan salju, yang menumpuk di tanah, dengan kedua tangannya. Dia lekas menggali lubang yang dalam selagi bunyi kikisan berkumandang. Lalu-
"Ah!?"
Sorot cahaya keperakan tiba-tiba berkilas ke dalam mataku. Sesuatu yang terkubur jauh di dalam salju memantulkan sinar matahari terbit.
Kirito menggali keluar benda itu, mengambilnya dengan kedua tangan, lalu kembali berdiri. Tak mampu menahan rasa penasaran, aku mengintainya dari jarak yang teramat dekat.
Benda itu persegi empat, putih keperakan, transparan. Cuma sedikit lebih besar dari kedua tangan Kirito. Bentuknya familiar, dengan ukuran yang familiar— sebongkah material logam. Tapi aku belum pernah lihat yang berwarna seperti ini.
Kusentuh pelan material itu dengan jari tangan kananku. Sebuah layar otomatis langsung muncul. Nama benda itu "Bongkahan Crystalite".
"Ini— ini bukannya..."
Saat aku memandang wajah Kirito, dia pun, mengangguk dengan wajah bingung.
"Ya... Ini logam yang kita cari... kenapa ada di sini ya..."
"Tapi, kenapa itu bisa terkubur di sini?"
"Hmm......"
Kirito terus menatap bongkahan yang tergenggam di tangan kanannya seraya berpikir, sebelum melepas keluar ucapan singkat, "Ah..."
"...Naga putih itu memakan kristal...... yang disuling di perutnya menjadi...... Hehe, jadi begitu!"
Tampaknya dia telah memahaminya dan mulai tersenyum, lalu melemparkan bongkahan logam itu ke arahku.Aku buru-buru menangkapnya dengan kedua tangan dan menahannya di dekat dadaku.
"Hei, apaan sih! Jangan cuma berhenti setelah paham sendiri!"
"Gua ini bukan jebakan. Ini sarang sang naga."
"Eh- Eeh?"
"Dengan kata lain, bongkahan itu adalah ekskresi sang naga. Fesesnya."
"Fe..."
Saat pipiku kejang-kejang, aku menjatuhkan pandangan pada bongkahan di dadaku.
"Geeee"
Tanpa berpikir, aku melemparnya kembali pada Kirito.
"Woah"
Yang dipukul mundur oleh Kirito dengan cekatan menggunakan ujung-ujung jarinya. Setelah saling melempar satu sama lain seperti anak kecil, akhirnya kita berhenti dengan Kirito bekerja cepat mengembangkan bidang itemnya untuk menyimpan bongkahan itu.
"Yah, kalau begitu, tujuan kita sudah tercapai. Sekarang, yang tersisa adalah......"
"Kalau saja kita bisa keluar dari sini..."
Kita berdua menghela nafas seraya bertukar pandangan.
"Untuk sementara waktu, gak ada pilihan lagi selain mencoba apapun yang terpikir."
"Kurasa begitu. Aah, coba aku punya sayap seperti naga..."
Saat aku mengatakannya. Sadar akan sesuatu, kubiarkan mulutku termangu, kehilangan kata-kata.
"...Kenapa, Lis?"
Menghadapi Kirito, yang mengamatiku, dengan kepalanya miring ke samping.
"Hei. Kata kamu tempat ini sarang naga kan?"
"Ah. Selama ada fesesnya, itu..."
"Itu gak penting! Naga itu nokturnal, sekarang sudah pagi, bukannya dia akan pulang ke sarangnya..."
"..."
Selama sebentar, pandanganku dan pandangan Kirito bertemu, yang terdiam, kemudian kita berdua menengadah ke langit di pintu masuk lubang. Tepat pada saat itu...
Jauh di atas, tinggi di udara, diantara potongan melingkar cahaya putih, lahirlah bayangan hitam remang-remang. Bayangan itu bahkan bertambah besar selagi kita menatapnya. Hanya butuh sekejap sebelum aku dapat melihat sepasang sayap, ekor yang panang dan empat kaki bersenjatakan cakar.
"Dia... dia..."
Kita mundur bersama. Sayangnya, tentu saja, tidak ada tempat buat kabur.
"Dia datang———"
Kita berdua menjerit sambil mengeluarkan senjata masing-masing.
Sang naga putih, yang menukik turun ke dalam lubang, menyadari keberadaan kita dan mengeluarkan raungan bernada tinggi, berhenti persis sebelum menghantam tanah. Kedua mata merahnya dengan pupil vertikal dipenuhi rasa bermusuhan yang jelas pada penyusup-penyusup di sarangnya. Akan tetapi, tidak ada tempat bersembunyi di bawah lubang sempit itu. Kusiapkan gadaku seraya menekan rasa gugup.
Sama halnya, Kirito menyiapkan pedang satu tangannya dan maju ke hadapanku, berkata dengan cepat.
"Dengar, tetap di belakangku. Langsung minum ramuan setelah kehilangan HP walau sedikit."
"I- Iya..."
Aku cuma mengangguk patuh kali ini.
Sang naga membuka mulutnya yang besar dan meraung sekali lagi. Kedua sayapnya menciptakan hembusan angin yang menghempaskan salju ke udara.
"Bitan!" "Bitan!" Ekor panjang sang naga menyentak tanah, setiap hentakan menggali parit yang dalam di permukaan bersalju itu.
Mengacungkan pedang di tangan kanannya tanpa jeda, untuk memperoleh inisiatif, Kirito mendadak menghentikan pergerakannya tepat sebelum dia akan menyerbu maju.
"...Ah... Mungkin..."
Ia berujar dengan suara pelan.
"A- Ada apa?"
"Enggak..."
Tanpa menjawab pertanyaanku, Kirito menyimpan pedangnya ke dalam sarung, dan tiba-tiba berbalik lalu merangkulku dengan erat menggunakan lengan kirinya.
"Ehh!?"
Tanpa mengerti apapun, aku panik dan aku diangkat naik setinggi bahu Kirito.
"H- Hei, kamu mau— Wahh!!"
Suara "Zuban!" berbunyi berbarengan dengan hentakannya, dan bersama dengan itu, pemandangan di sekeliling menjadi kabur. Kirito berlari menuju dinding dengan tenaga kasar. Persis sebelum menabrak, ia melakukan lompatan hebat, dan seperti upaya kemarin untuk keluar, ia mulai berlari di permukaan dinding yang cekung. Namun, seakan tidak punya niat untuk naik, orbitnya tetap datar. Kepala sang naga yang penuh nafsu makan berputar dan terus menyasar kita, akan tetapi Kirito terus berlari dengan kecepatan melampaui yang bisa diikuti sang naga.
Beberapa detik kemudian, ketika Kirito akhirnya mendarat di dasar lubang, mataku benar-benar pusing. Akhirnya kubuka mataku setelah mengedipkannya tak terhingga kali, di hadapanku adalah bagian belakang sang naga. Ia telah kehilangan kita dan mengayunkan kepalanya ke kiri dan kanan dengan gelisah.
Baru saja kupikir Kirito berencana untuk menyerang dari belakang, ia secara mengejutkan diam-diam mendekati sang naga— Dengan tangan kanannya terulur, dia menggenggam paksa ujung ekor sang naga yang berayun-ayun.
Di saat itu, sang naga mengeluarkan pekikan bernada tinggi. Jeritan kaget— atau mungkin itu cuma khayalanku saja. Merasa makin tidak mampu memahami maksud Kirito, aku juga baru akan berteriak.
Tiba-tiba sekali, sang naga putih membentangkan kedua sayapnya dan mulai naik dengan tajam dengan kecepatan yang menakutkan.
"Oof!"
Angin menerpa wajahku. Tanpa waktu untuk memikirkan tentang itu sekalipun, tubuh kita melayang di udara dengan gaya seperti ditembakkan panah. Selagi kita berpegangan pada ekor sang naga, ia bergoncang ke kiri dan ke kanan sambil berlari mendaki lubang. Bagian bawah lubang yang melingkar itu sangat cepat terpisah jauh.
"Lis! Pegangan!!"
Merespon suara Kirito, kupegang erat kepalanya tanpa sadar. Cahaya matahari menyinari bubungan es di sekitar yang menjadi semakin cerah terus menerus dengan puncak suara angin yang menusuk berubah dengan rumit— Saat itu kukira dunia meledak dalam cahaya putih, kita terbang keluar dari lubang.
Saat kubuka mataku yang berkedap-kedip, pemandangan dari atas lantai 55 yang luas menyebar di bawahku.
Tepat di bawah adalah gunung salju berbentuk kerucut yang cantik. Sedikit lebih jauh, sebuah desa kecil. Di balik padang salju yang sangat luas dan hutan tebal, atap tirus dari setiap rumah di distrik utama tergabung bersama. Adegan dimana ini semua berkilauan, diwarnai cerahnya cahaya mentari, bahkan membuatku lupa dengan kengeriannya, tanpa sadar aku bersorak.
"Waa..."
"Yea—!!"
Kirito juga berteriak keras, dan melepaskan tangan kanannya dari ekor sang naga. Dia membawaku seperti anak-anak dan mempercayakan dirinya pada inersia, menari di udara.
Penerbangan itu cuma beberapa detik, tapi terasa seperti sepuluh kalinya. Aku yakin aku tersenyum. Luapan angin dan cahaya menyapu bersih hatiku. Emosiku terhaluskan.
"Kirito— Kamu tahu, aku!!"
Aku berteriak dengan sepenuh hati.
"Apa!?"
"Aku, aku suka kamu!!"
"Apa!? Aku gak dengar!!"
"Bukan apa-apa!!"
Berpegang erat ke kepalanya, tawaku meledak. Pada akhirnya, momen yang rasanya hampir seperti keajaiban ini berakhir, kita mendekat ke tanah. Berputar untuk satu ronde terakhir, Kirito melebarkan kedua kakinya dan mengambil sikap mendarat.
Saljunya berbunyi, "Bafun!", saat terbang ke udara. Terbang layang yang panjang. Kita meneruskan perjalanan menembus kristal putih bagai penggerus salju selagi melambat, kita akhirnya berhenti di dekat puncak gunung.
"...Fuu."
Kirito menghirup nafas dan meletakkanku ke tanah. Dengan ragu, aku memalingkan kepala dan melepaskan lenganku darinya.
Kita berdua memandang ke arah lubang besar itu bersama; sang naga yang sepertinya kehilangan jejak kita pelan-pelan berputar-putar di langit.
Kirito menempatkan tangannya di pedang yang ada di punggungnya, sedikit menarik bilahnya, namun langsung segera mengembalikannya ke sarungnya dengan bunyi cling. Dengan senyum lembut di wajahnya, ia menghadap sang naga dan berkata lembut.
"...Kamu pasti kesusahan karena mereka yang datang memburumu sampai sekarang. Begitu cara mendapatkan itemnya tersebar, orang-orang yang datang untuk membunuhmu juga harusnya hilang. Jadi mulai sekarang, hiduplah dengan tenang."
—Menghadapi seekor monster, yang hanya bergerak sesuai algoritma yang diatur sistem, dan melakukan hal semacam itu; adalah hal yang kuanggap bodoh sampai kemarin. Namun karena beberapa alasan, entah kenapa sekarang aku merasa aku bisa menyambut lembut ucapan Kirito ke dalam hatiku. Menggapai dengan tangan kananku, dengan lembut kugenggam tangan kiri Kirito.
Kita berdua tanpa suara mengamati adegan ini saat sang naga putih menolehkan kepalanya, sebelum mengeluarkan pekik panjang yang jelas dan turun ke sarangnya. Hening.
Sebelum lama, Kirito melirikku, dan bicara.
"Kalo gitu, ayo pulang?"
"Kurasa iya."
"Mau pakai kristal?"
"...Enggak, jalan aja yuk."
Aku menjawab seraya tersenyum dan melangkah maju memegang tangan Kirito. Lalu aku menyadari sesuatu dan memandang wajahnya.
"Ah...Lentera dan kantong tidur dan sebagainya, kita tinggalin ya."
"Kamu baru bilang sekarang... Yah, gapapa sih. Mungkin ada orang yang mau pakai."
Kita bertukar pandang dan tertawa, kali ini dengan yakin, kita mulai berjalan pelan melalui jalan setapak gunung, mengikuti jalan pulang. Kulihat sekilas lingkungan di sekitarku, langitnya jernih, tanpa satu pun awan di langit.
"Aku pulang!"
Aku membuka pintu rumah tersayangku dengan penuh semangat.
"Selamat datang."
Meski si NPC wanita penjaga toko yang berdiri di konter hanya membalas salamku dengan sopan, kulambaikan tanganku dan berbalik, memandang sekeliling tokoku. Aku pergi cuma sekedar sehari, namun anehnya, tokoku terlihat segar.
Kirito, yang telah membeli makanan take-out[14] dari kios yang sama dengan kemarin memasuki toko di belakangku, dengan hot dog di mulutnya.
"Bagaimanapun sekarang hampir siang, jadi kamu harusnya makan di kios itu saja."
Selagi aku mengutarakan protes, Kirito menyeringai seraya menggerakkan tangan kirinya, memunculkan sebuah layar.
"Sebelum itu, ayo kita buat dulu, pedangnya."
Memanipulasi inventarisnya dengan cekatan, ia mewujudkan bongkahan perak. Menangkapnya dengan hati-hati— mengabaikan asalnya untuk sementara— aku mengangguk.
"Benar, ayo lakukan. Sini ke ruang kerjaku."
Membuka pintu di belakang konter, bunyi berdebam kincir air menjadi terdengar jelas lebih keras. Menarik turun tuas di dinding, puputan mulai bergerak, mengirim udara masuk. Tungku perapian langsung mulai menyala merah terang.
Dengan lembut kujatuhkan bongkahan itu ke tungku, dan berbalik ke arah Kirito.
"Pedang satu tangan yang lurus aja kan?"
"Yep. Aku mengandalkanmu."
Kirito mengangguk sambil ia duduk di bangku bundar yang diperuntukkan bagi pengunjung.
"Dimengerti. —Cuma peringatan, tapi hasil akhirnya dipengaruhi oleh faktor acak, jadi jangan berharap terlalu banyak ya."
"Kita tinggal pergi lagi kalau ini gagal. Kali ini dengan tali."
"...Ya, tali yang panjang."
Mengingat jatuh yang hebat itu, tanpa kusadari aku tersenyum. Menjatuhkan pandanganku ke tungku, aku sadar kalau bongkahannya telah cukup terbakar. Kukeluarkan ia dengan penjepit, lalu kuletakkan di alas tempa.
Aku mengambil palu smith terbaikku dari dinding, melakukan pengaturan di menu, dan sekali lagi melirik wajah Kirito. Menjawab anggukan tanpa suaranya, aku tersenyum, dan dengan gagah mengangkat palu ke atas kepalaku.
Kutempa semangatku saat aku memukul logam yang bersinar kirmizi[15]; bersamaan dengan bunyi "Kan!" yang jelas, kilatan api yang terang melimpah berhamburan di sana sini.
Di dalam seksi smith di Bantuan Referensi, mengenai proses pembuatan, "Sesuai dengan jenis senjata yang dibuat, dan tingkat logam yang digunakan, bongkahan perlu dihantam sebanyak jumlah tertentu." adalah semua yang tertulis untuk mendeskripsikannya.
Dengan kata lain, selama menghantam logam dengan palu, kemampuan pemain tidak berpengaruh; beginilah seharusnya cara membacanya, tetapi ada berbagai macam jenis rumor dan teori-teori gaib yang beredar tentang SAO, bahwa presisi dari ritme hantaman dan semangat bertarung sang blacksmith bisa mempengaruhi hasilnya, pendapat ini sudah melekat erat di benak masyarakat.
Aku menganggap diriku orang yang rasional, tapi aku cuma yakin dengan teori ini karena pengalamanku yang panjang. Oleh karena itu, aku menghilangkan semua pikiran lain selagi memproduksi senjata, mengkonsentrasikan kesadaranku di tangan kanan yang memukulkan palu, menghantam tanpa henti dengan pikiran kosong— itulah yang kupercaya.
Tetapi.
Sewaktu memukul bongkahan itu, menghasilkan bunyi gemerincing yang menyegarkan, berbagai pikiran berputar di kepalaku sekarang, tak bisa keluar.
Kalau pedang ini sukses dibuat, dan permintaannya selesai— Kirito tentu akan kembali menyelesaikan game di garis depan, dan seharusnya tak akan ada banyak kesempatan untuk bertemu. Meski dia datang untuk perawatan pedangnya, paling bagus sepuluh hari sekali.
Yang seperti itu— Aku tidak mau yang seperti itu. Aku merasa ada suara yang berteriak dalam diriku.
Selagi lapar akan kehangatan orang lain— enggak, itulah mengapa, itulah alasannya mengapa aku bimbang untuk memperpendek jarak dengan pemain pria manapun sampai sekarang. Aku takut musim salju kesepian di dalamku berubah drastis dengan cinta. Hal itu bukanlah cinta sejati, hanya angan-angan yang tercipta oleh dunia ilusi; tadinya aku berpikir begitu.
Tapi tadi malam, saat merasakan kehangatan dari tangan Kirito, aku sadar, perasaan ragu itu adalah duri ilusi yang telah membelengguku. Aku adalah aku— si blacksmith, Lisbeth, dan di saat bersamaan, Shinozaki Rika. Kirito juga sama. Bukan karakter dari game, tapi manusia sungguhan yang hidup. Karenanya, cintaku untuknya; perasaan ini juga nyata.
Jika aku berhasil menempa pedang yang memuaskan, aku akan menyatakan perasaanku kepadanya. Bahwa aku ingin dia berada di sisiku, bahwa aku ingin dia kembali ke rumah ini dari labirin, setiap hari, itulah yang akan kukatakan padanya.
Di saat bongkahannya ditempa, kilauannya bersinar sangat terang, perasaan di dalam diriku juga, tampaknya sudah menegaskan diri. Aku merasa perasaanku mengalir keluar dari tangan kananku, mengucur pada senjata yang lahir dari paluku itu.
—Dan akhirnya, saat itu pun datang.
Aku tak tahu berapa banyak hantaman sejauh ini— mungkin berada diantara dua ratus sampai dua ratus lima puluh kali— segera menyusul bunyi palu, bongkahannya melepaskan curahan cahaya putih yang jelas menyilaukan.
Objek persegi panjang itu berubah bentuk sedikit demi sedikit selagi bersinar. Bagian depan dan belakangnya mulai membesar, lalu kemudian, tonjolan yang menyerupai pangkal pedang menggelembung keluar.
"Ohh..."
Melepaskan bisikan kagum dengan nada rendah, Kirito beranjak dari kursi, dan mendekat. Begitu kita menonton berhadapan, penciptaan objek itu selesai dalam hitungan detik, akhirnya menyingkapkan bentuknya sebagai pedang satu tangan panjang.
Cantik; pedang yang benar-benar cantik. Sebagai pedang satu tangan panjang, ia terlihat indah. Bilahnya pucat, dan ramping, walau tidak seramping rapier. Seakan mewarisi sifat bongkahannya, ia bisa terlihat sedikit bening. Bilahnya berwarna putih menyilaukan. Gagangnya perak, dengan sedikit bubuhan warna biru.
«Dunia Dimana Pedang Melambangkan Pemainnya»; bagai mendukung slogan itu, variasi senjata yang terpasang di SAO terlalu banyak. Jika seseorang menulis nama khas senjata-senjata di setiap kategori ari awal, katanya panjangnya akan mencapai ribuan baris.
Berbeda dengan RPG biasa, keanekaragaman nama senjata makin bervariasi semakin tinggi tingkat senjatanya. Senjata kelas rendah, misalnya, untuk pedang panjang satu tangan, «Bronze Sword», «Steel Sword»; untuk yang bernama pasaran semacam itu, tak terhitung banyaknya jumlah pedang seperti itu yang ada di dunia ini, tapi bagi senjata-senjata tingkat tertinggi seperti yang ada di sini sekarang; ambillah misalkan «Lambent Light» Asuna, kemungkinan besar hanya ada satu di dunia, objek tunggal-untuk-jenisnya secara harfiah.
Tentu saja, rapier dengan tingkat kekuatan yang sama, baik buatan pemain atau jatuh dari monster, mungkin memang ada. Tetapi setiap dari mereka memiliki penampilan yang berbeda. Dan dengan itu, senjata level tinggi punya daya tarik tertentu, menjadi sesuatu seperti rekan tempatmu berbagi jiwa.
Karena nama senjata dan penampilannya diputuskan oleh sistem, bahkan kami, sang pembuatnya tidak begitu mengerti. Kuangkat pedang yang gemerlapan di atas alas tempa itu— atau setidaknya, aku mencoba mengangkatnya; aku kaget dengan beratnya, yang tidak sesuai dengan penampilan luarnya yang elegan. Persyaratan kekuatan fisiknya tidak kalah dengan pedang hitam milik, «Elucidator». Menegangkan punggungku, kuangkat pedang itu setinggi dada sambil menjerit.
Menyentuh dengan jari tangan kananku menopang dasar bilah pedang, aku mengkliknya sekali. Aku melihat layar popup yang bangkit ke permukaannya.
"Yah, sepertinya namanya «Dark Repulser». Aku baru pertama kali dengar, jadi aku tidak percaya ini disebutkan di daftar informasi toko sekarang. —Nih, coba aja."
"Aah."
Kirito mengangguk dan menjangkaukan tangan kanannya, ia mencengkram gagang pedang ini. Dia mengangkatnya seakan tak terpengaruh dengan beratnya. Melambaikan tangan kirinya untuk memunculkan menu utama, ia manipulasi sosok equipmentnya, menyasar sang pedang putih. Dengan ini, pedang itu akan terpasang pada Kirito dalam sistem, memperkenankan potensi numeriknya untuk dipastikan.
Namun Kirito langsung menutup layarnya, dan setelah mundur beberapa langkah, ia menukarnya ke tangan kiri, mengayunkannya berulang kali dengan bunyi kibasan.
"—Gimana?"
Tanpa menunggu aku bertanya. Kirito diam menatap bilah pedangnya sejenak, namun— segera, dia tersenyum lebar.
"Berat juga ya. ...Pedang yang bagus."
"Beneran!? ...Yesss!!"
Aku melakukan pose kejayaan dengan tangan kananku tanpa pikir. Dengan tangan itu terulur, kuadukan ia dengan kepalan tangan kanan Kirito.
Sudah lama sejak aku merasa seperti ini.
Dulu sekali— saat aku berjualan dari kios di jalan utama lantai sepuluh, aku merasa seperti ini ketika senjata yang kubuat asal-asalan dipuji pelanggan. Aku senang aku menjadi seorang blacksmith, itulah perasaanku sejujurnya, dari dasar hatiku di detik itu. Saat aku terus mengasah kemampuanku dan pindah untuk berbisnis hanya dengan pemain berlevel tinggi, aku sudah melupakan perasaan ini sebelum aku menyadarinya.
"...Masalah dengan hatiku, hah... semuanya..."
Menanggapi ucapanku yang keluar sambil lalu, Kirito memiringkan kepalanya dengan muka penasaran.
"Eng- Enggak, bukan apa-apa. -Ngomong-ngomong, minum di suatu tempat yuk. Aku laper."
Meninggikan suara untuk menyembunyikan rasa maluku, kudorong punggung Kirito dari belakangnya. Aku bermaksud untuk keluar dari ruang kerja dengan sikap begitu, tapi— sebuah pertanyaan mendadak menghampiriku.
"...Hei."
"Hm?"
Kirito menoleh ke belakang. Yang tergantung di bahunya; pedang satu tangan yang hitam.
"Ngomong-ngomong— Di awal, kamu pernah bilang, pedang yang setara dengan yang ini, iya kan. Pedang putih itu pastinya pedang yang bagus, tapi menurutku gak beda jauh dengan pedang jatuhan monster itu. Kenapa kamu perlu dua pedang yang serupa satu sama lain?"
"Aah..."
Kirito berbalik, menatapku dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa dia ragu-ragu akan sesuatu.
"Yah, aku gak bisa menjelaskan semuanya. Kalau kamu gak akan bertanya lebih jauh dari itu, aku bisa ngasih tahu."
"Apaan tuh, sok keren."
"Minggir sedikit."
Setelah aku melangkah mundur ke dinding ruang kerja, dengan pedang putih masih tergantung, Kirito menarik pedang hitam, dari punggungnya dengan bunyi bernada tinggi, menggunakan tangan kanannya.
"...?"
Aku tak bisa memahami tujuannya. Setelah tadi memanipulasi sosok equipmentnya, dengan sistem sekarang, status equipmentnya seharusnya hanya pedang di tangan kirinya; menggenggam senjata lain di tangan kanannya semestinya tidak berguna sama sekali. Sebaliknya, dengan sesuatu yang terhitung sebagai status equipment yang aneh seperti itu, mengaktifkan skill pedang tidak dimungkinkan.
Melirik sekilas wajahku yang kebingungan, Kirito dengan tenang memasang kuda-kuda dengan pedang kiri dan kanannya. Pedang kanan di depan, pedang kiri di belakang. Merendahkan pinggulnya sedikit, dan dengan itu, tepat di detik berikutnya.


Efek kilasan kirmizi meledak, mewarnai ruang kerja dengan warnanya.
Pedang di tangan Kirito saling bergantian, menyerang sisi depannya dengan kecepatan yang tak bisa diikuti mata. "Kyubabababa!", bunyi ini menimulkan tekanan di udara, dan meski tidak menyasar apapun, objek di dalam ruangan bergoyang.
Jelas itu teknik pedang yang diatur oleh sistem. Tapi— aku gak pernah dengar ada skill yang memakai dua pedang!
Di depanku, berdiri diam selagi aku menarik nafas, Kirito mengangkat badannya, usai menyelesaikan teknik serangan berturutan yang mungkin mencapai sepuluh serangan berantai.
Menyimpan kedua pedang— mengembalikan hanya pedang di tangan kanan ke punggungnya, dia memandang wajahku dan bicara.
"Dan jadi, begitulah. —aku perlu sarung buat pedang ini. Boleh aku milih satu?"
"Ah... I-Iya."
Entah sudah berapa kali aku dibuat tercengang oleh Kirito. Walau aku harusnya sudah terbiasa sekarang, untuk sementara, aku memutuskan untuk menahan pertanyaanku, menggapaikan tanganku ke dinding, menampilkan menu utama.
Menggulung layar penyimpanan, aku mengamati ringkasan dari stok sarung pedang yang kukumpulkan dari pengrajin yang dekat denganku. Memilih satu yang agak mirip dengan yang dipakai Kirito di punggungnya, terbuat dari kulit berwarna hitam, aku mewujudkannya. Setelah kupasangkan logo kecil tokoku, aku menyerahkannya pada Kirito. Kirito yang telah menyimpan pedang putih ke sarungnya dengan bunyi singkat, membuka sebuah layar dan menyimpannya. Kupikir dia akan memasang keduanya di punggung, tapi tampaknya tidak seperti itu.
"...Jadi ini rahasia? Yang tadi itu."
"Nn, yaa, iya. Jangan bilang siapa-siapa ya."
"Oke."
Informasi skill adalah garis hidup terpenting seseorang, jadi kalau dia menyuruhku untuk tidak bertanya, aku tak akan menanyakannya. Disamping itu, aku senang dia bahkan membolehkanku mengintip rahasianya, dan mengangguk dengan senyuman kecil.
"...Kalau begitu."
Kirito meletakkan tangannya di pinggul dan ekspresinya berubah.
"Ini menjadi akhir dari permohonanku. Aku akan membayar pedang ini. Berapa harganya?"
"Aah, tentang itu..."
Aku menggigit bibir sejenak— kuverbalkan jawaban yang selalu bergolak di dalamku.
"Aku gak butuh, pembayaran apapun."
"...Eeh?"
"Sebagai balasannya, Aku ingin Kirito membuatku jadi smith ekslusifmu."
Mata Kirito menunjukkan sedikit tanda terkejut.
"...Maksudmu, apa...?"
"Kapanpun kamu selesai clearing, datanglah ke sini, dan biarkan aku merawat equipmentmu... —Setiap hari, dari sekarang, terus menerus."
Detak jantungku meninggi tanpa batas. Baik perasaan ini dari badan virtualku, atau mungkin dari jantungku sebenarnya, yang juga berdebar dengan cara yang sama— aku penasaran tentang itu di sudut pikiranku. Kedua pipiku terbakar. Setiap bagian wajahku pasti telah benar-benar berwarna merah sekarang.
Bahkan Kirito, yang selalu menjaga poker face[16]-nya, sepertinya sudah sadar makna dibalik ucapanku, menundukkan kepalanya karena malu. Aku selalu mengira kalau dia lebih tua, tapi setelah melihatnya dalam kondisi begitu, kelihatannya dia dari generasi yang sama, atau bahkan mungkin lebih muda dariku.
Kukumpulkan keberanianku dan maju selangkah ke depan, merangkul lengannya.
"Kirito... aku..."
Aku meneriakkan kata-kata itu begitu keras saat kita kabur dari sarang naga, tapi saat membicarakannya sekarang, lidahku menolak bergerak. Aku terus menatap bola mata hitam Kirito, berharap kata itu keluar entah bagaimana— Saat itulah.
Pintu ruang kerjaku dibuka dengan paksa. Aku refleks melepaskan tangan Kirito, dan terloncat.
"Lis, aku khawatir banget!!"
Orang itu, yang menyerbu masuk seketika, memelukku dengan kekuatan yang sama dengan suatu hantaman badan selagi berteriak dengan suara besar. Rambut panjang berwarna kastanye itu menari lembut di udara.
"Ah, Asuna..."
Asuna lanjut berbicara tanpa jeda, menatap wajahku dari dekat, terkunci dalam ekspresi tercengang, setiap saat.
"Pesan-pesan gak bisa sampai ke kamu; posisimu di peta bahkan gak bisa dilacak; ditambah lagi pelanggan-pelanggan setiamu gak ada yang tahu apa-apa, jadi kemana kamu pergi kemarin malem! Aku sampai pergi ke Kastil Besi Hitam untuk mengeceknya, tahu!"
"Ma- Maaf. Aku terjebak di labirin sebentar..."
"Dungeon!? Lis, kamu pergi sendiri!?"
"Nah, bareng orang itu..."
Aku menunjuk ke arah diagonal di belakang Asuna dengan lirikanku. Asuna berputar ke belakang, dan usai menyadari swordsman berpakaian hitam yang berdiri di situ, terlihat bosan, ia membeku dengan mata dan mulutnya terbuka kosong. Mengikutinya, dengan suara satu oktaf lebih tinggi—
"Ki- Kirito-kun!?"
"Eeh!?"
Kali ini, aku yang terkejut. Aku memandang Kirito, yang sedang berdiri tegak, seperti Asuna.
Dia terbatuk kecil, lalu bicara seraya mengangkat tangan kanannya.
"Yah, Asuna, lama gak ketemu... enggak sih, sebenernya. Cuma beberapa hari."
"I-Iya. ...Mengejutkan ya. Jadi begitu, kamu langsung datang ke sini. Padahal kalau kamu memberitahu aku, aku bisa nemenin."
Asuna menyembunyikan telapak tangannya di belakang, dan tergelak malu, mengetuk lantai berulang-ulang dengan tumit sepatunya. Kulihat pipinya itu dibubuhi bayangan berwarna merah muda bunga sakura.
Aku mengerti keseluruhan situasinya.
Bukan kebetulan Kirito datang ke toko ini. Menepati janjinya kepadaku, Asuna merekomendasikan tempat ini... pada seseorang di hatinya.
—Aku harus gimana... aku harus gimana.
Yang meliuk berputar-putar di pikiranku, hanyalah kalimat itu. Aku merasa panas dari seluruh tubuhku pelan-pelan mengalir keluar dari ujung kaki. Aku tak punya kekuatan. Aku tak mampu bernafas. Emosiku bertingkah, tanpa ada cara untuk melepaskannya...
Berbalik menghadap aku yang sedang kaku, Asuna berkata dengan santai.
"Orang ini, apa dia mengatakan hal yang kasar pada Lis? Dia mungkin meminta satu dua hal yang aneh, kan?"
Dan dengan itu, dia sedikit memiringkan kepalanya ke samping.
"Eh... Tapi artinya, kamu bersama Kirito-kun tadi malam?"
"Y... Yaaa..."
Seketika itu juga aku maju selangkah, menggenggam tangan kanan Asuna, dan membuka pintu ruang kerjaku. Kulihat Kirito sejenak, dan lekas bicara sambil mencoba untuk tidak memandang wajahnya.
"Tolong tunggu sebentar. Kita akan segera kembali, jadi..."
Kutarik tangan Asuna seperti itu, keluar lewat konter. Menutup pintunya, kami pergi keluar toko melalui celah diantara display windows.
"Tunggu, tunggu, Lis, ada masalah apa?"
Meski mendengar suara Asuna bertanya, tanpa suara aku mengarah ke jalan utama, terus berjalan dengan tempo cepat.
Aku cuma, tidak kuat lagi untuk berdiri di hadapan Kirito. Jika aku tidak kabur, sepertinya aku akan sadar bahwa aku kehilangan jalan.
Bagai sudah menyadari kondisiku yang aneh, Asuna mengikuti tanpa bicara. Dengan lembut kulepaskan tangan gadis itu.
Kami memasuki jalan kecil yang menghadap timur, berjalan sebentar, lalu menemukan sebuah kafe kaki lima yang terlihat seperti tersembunyi oleh dinding batu yang tinggi. Tidak ada pelanggan sama sekali. Kupilih meja di pinggir, dan duduk di kursi berwarna putih.
Asuna mengamati wajahku sambil ia duduk di sisi yang berlawanan, tak memberikan kesan apapun dari pikirannya.
"...Kenapa, Lis...?"
Aku menegang untuk mengumpulkan sedikit tenaga yang kubisa, senyuman besar di wajahku. Senyum yang sama seperti biasanya, senyum yang sama dengan saat kita berbagi gosip dengan ceria.
"...Yaaa, itu orangnya, kan..."
Menyilangkan lenganku, aku bersandar maju untuk memandang wajah Asuna.
"E- Eeh?"
"Orang yang disukai Asuna!"
"Ah..."
Asuna menjatuhkan pandangannya, bahunya terlihat menciut. Ia mengangguk dengan pipinya bersemu.
"...Iya."
Jleb; seraya mengabaikan rasa sakit tajam yang menusukkan diri ke dadaku, kutampilkan senyuman lebar lagi.
"Yah, tentunya dia orang yang aneh; sangat."
"...Apa Kirito-kun melakukan sesuatu...?"
Kukumpulkan seluruh kekuatanku dan membalas dengan anggukan, pada Asuna yang tampak khawatir.
"Dia cuma datang tiba-tiba dan menghancurkan pedang terbaik di tokoku kok."
"Wah... Ma- Maaf..."
"Ini bukan sesuatu yang Asuna harus minta maaf kok."
Melihat Asuna yang menyilangkan tangan seakan dia sendiri yang melakukannya, sesuatu yang jauh di dalam hatiku berdebar lebih jauh lagi.
Sedikit lagi... Tinggal sedikit lagi, terus berjuang, Lisbeth.
Berbisik pada diriku sendiri dalam hati, entah bagaimana aku berhasil mempertahankan senyumanku.
"Nah, jadinya, untuk membuat jenis pedang yang diminta orang itu, ternyata dibutuhkan logam yang langka, jadi kita pergi ke lantai atas untuk mendapatkannya. Selagi melakukan itu, kita terjebak dalam sebuah perangkap kecil gitu; kita kesusahan keluar dari perangkap itu, makanya aku gak pulang."
"Jadi begitu... Harusnya kamu panggil aku aja, ah, pesan gak bisa dikirim juga, hah..."
"Harusnya aku mengajak Asuna juga, maaf ya."
"Enggak, guildku ada aktivitas clearing kemarin, jadi... jadi, kamu tempa pedangnya?"
"Ah, iya. Duuh, aku gak akan mau melakukan pekerjaan menyusahkan seperti ini lagi."
"Kamu benar-benar harus menagih dia harga yang sangat mahal untuk itu."
Kita mulai tertawa bersamaan.
Kusimpan senyuman kecil di mukaku, menyebutkan satu komentar terakhir.
"Yah, dia aneh, tapi pastinya bukan orang jahat. Aku akan mendukungmu, jadi lakukan yang terbaik ya, Asuna."
Itu batasku. Akhir ucapanku gemetar.
"I- Iya, makasih..."
Saat Asuna mengangguk, dia mencondongkan kepalanya ke samping dan memandang wajahku. Sebelum dia bisa melihat apa yang tersembunyi di bawah kelopak mataku, aku mendadak berdiri, dan berkata.
"Ah, oh iya! Aku, aku ada janji untuk membeli sejumlah stok. Aku mau pergi sebentar!"
"Eh, di toko... Kirito-kun gimana?"
"Temani dia, Asuna! Aku mengandalkanmu!"
Aku berpaling, dan mulai berlari. Kulihat Asuna, di belakangku, dan buru-buru melambaikan tanganku padanya. Tidak mungkin aku bisa berbalik.
Setelah aku berlari menuju plasa gerbang, ke tempat dimana aku tidak bisa melihat kafe terbuka itu, kuambil belokan pertama, membelok ke salatan. Aku bertahan di ujung kota, menyasar wilayah tanpa pemain, berlari tanpa jeda untuk satu tujuan.
Saat penglihatanku kabur, aku menyekanya dengan tangan kananku. Menyekanya lagi dan lagi selagi berlari.
Saat kusadari, aku sudah mencapai dinding kastil yang mengelilingi kota. Sebelum rentangan dinding yang melengkung lembut itu, pohon-pohon besar ditanam dengan jarak teratur satu sama lain. Aku memasuki bayangan salah satunya, berdiri diam dengan tanganku di batangnya.
"Uguu... Uu..."
Suaraku merembes dari tenggorokan, tanpa upaya apapun untuk meredamnya. Air mata yang telah kutahan mati-matian mengalir keluar satu demi satu, lenyap setelah mereka mengucur menuruni pipiku.
Ini kedua kalinya aku menangis sejak datang ke dunia ini. Sejak waktu aku panik dan menangis di hari pertama aku masuk, aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak akan pernah menangis lagi. Kupikir aku tidak butuh air mata ini, yang dipaksa mengalir oleh sistem ekspesi emosi. Tapi aku tidak pernah merasakan air mata yang lebih panas, lebih menyakitkan dari yang mengalir di pipiku sekarang, meski dibandingkan dengan yang di dunia nyata sekalipun.
Saat aku mengobrol dengan Asuna, ada satu hal yang tidak pernah berhasil keluar. "Aku juga suka dia," ucapan ini nyaris keluar berkali-kali. Tetapi, gak mungkin aku bisa mengatakannya.
Di tokoku, sesaat setelah aku menyaksikan Kirito dan Asuna berbicara satu sama lain, aku mengerti bahwa tidak ada tempat untukku di samping Kirito. Sebabnya adalah— Di gunung bersalju itu, aku membahayakan nyawa Kirito. Tidak seorangpun bisa berdiri di sampingnya, selain orang yang memiliki hati sama kuatnya. Ya... Misalnya, seseorang seperti Asuna...
Keduanya terhubung oleh gaya tarik yang kuat, layaknya sepasang pedang dengan sarungnya yang dibuat dengan cermat. Itulah yang sangat kurasakan. Dan di atas segalanya, Asuna sudah memikirkan Kirito berbulan-bulan, dan dengan kerja keras yang dilakukannya agar jarak diantara mereka menyempit sedikit demi sedikit, hari demi hari, gak mungkin aku bisa melakukan sesuatu seperti tiba-tiba melemparkan diriku ke hubungan tersebut.
Benar... Aku baru mengenal Kirito selama seharian penuh. Pergi melakukan petualangan yang aku tidak terbiasa bersama orang yang tak dikenal, hatiku pasti cuma terkejut karenanya. Ini bukan kebenaran. Ini bukanlah perasaanku yang sesungguhnya. Jika aku jatuh cinta, aku tak akan buru-buru; pelan-pelan memikirkannya— Aku seharusnya selalu, selalu berpikir seperti itu.
Tapi kenapa, kenapa air mata ini terus saja mengalir.
Suara Kirito, kelakuannya, semua ekspresi yang ditunjukkannya selama dua puluh empat jam ini mengambang di depan kelopak mataku yang tertutup satu demi satu. Sensasi dia membelai rambutku, memegang lenganku, tangannya menggenggam tanganku. Kehangatannya, panas dari jantung yang berdetak itu- Selagi ingatan membara mengenai hal-hal itu menghampiriku, rasa sakit yang tajam menggema jauh di dalam dadaku.
Lupakan. Semua itu mimpi. Cuci semuanya dengan air mata ini.
Memegang erat batang pohon di pinggir jalan, aku menangis. Memandang ke bawah sambil meredam suaraku, aku terus menangis. Air mata ini akan kering cepat atau lambat di dunia nyata, akan tetapi nampaknya cairan pencuci yang meluap dari mataku ini tak punya niat untuk berhenti mengalir.
Dan— dari belakangku, terdengar suara itu.
"Lisbeth."
Seluruh badanku gemetar kaget begitu namaku dipanggil. Suara yang halus, lembut itu, masih tersisa dengan gema dari nada kelaki-lakian aslinya.
Ini pasti mimpi. Gak mungkin dia bisa ada di sini. Memikirkan hal itu, kupalingkan wajahku ke atas, bahkan tak menghiraukan untuk menyeka air mataku.
Kirito berdiri di situ. Mata dibalik gombak hitam itu, memperlihatkan rasa sakit dari duka yang unik untuknya, memandangku. Aku balas melirik sepintas pada mata itu, lalu segera berbisik disertai gemetar dalam suaraku.
"...Ini gak bagus, datang ke sini sekarang. Aku juga baru akan kembali ke Lisbeth yang semangat seperti biasa sebentar lagi."
"..."
Kirito maju selangkah tanpa suara; ia mencoba menjangkauku dengan tangan kanannya. Kugelengkan kepalaku dengan ringan, menghentikannya.
"...Bagaimana kamu menemukan tempat ini?"
Mendengarnya, Kirito termenung, dan menunjuk ke arah tengah kota.
"Dari sana..."
Di ujung jari itu, jauh sekali dari sini, puncak menara gereja, dibangun berlawanan dengan gerbang plasa, menonjol di atas riak-riak bangunan.
"Aku mengamati seluruh kota, dan menemukan kamu."
"He, he."
Air mataku diam-diam terus mengalir turun seperti sebelumnya, namun setelah mendengarkan jawaban Kirito, senyum mengambang ke mulutku.
"Kamu tak masuk akal seperti biasanya, hah."
Bagiannya yang itu pun... Aku menyukainya. Hingga tingkat yang sia-sia.
Aku merasa gelora menangis lain lagi memancar di dalam diriku. Aku menahannya dengan panik.
"Maaf, aku... baik-baik saja, lihat kan. Buruan dan kembali ke Asuna sana."
Saat dimana aku berhasil berucap dan baru akan berbalik, Kirito melanjutkan perkataannya.
"Aku— aku ingin berterima kasih ke Lis."
"Eh...?"
Bingung oleh ucapan tak terduga itu, kutatap wajahnya.
"...Aku, dulu, ada saat dimana anggota guildku terbunuh... Dengan itu, aku memutuskan untuk jangan lagi, untuk pernah dekat dengan orang lain."
Kirito sepintas bermuka masam, mengunyah bibirnya.
"Itulah kenapa, biasanya, aku menghindari membentuk kelompok dengan siapaun. Meski begitu, kemarin, momen dimana Lis mengajakku untuk melakukan quest itu, hasilnya baik-baik saja entah mengapa. Aku selalu berpikir bahwa ini aneh sepanjang hari itu. Kenapa aku berjalan beriringan orang ini..."
Aku lupa rasa sakit di dadaku untuk sekejap, kupandang Kirito.
Artinya— Artinya, aku...
"Sampai sekarang, siapapun yang memintanya, kutolak mereka semua. Saat mereka yang kukenal... Enggak, bahkan mereka yang namanya aku tidak tahu pun, cuma dengan menonton orang lain bertarung, aku cuma membeku ketakutan. Aku merasa ingin melarikan diri saja. Itulah kira-kira kenapa aku selalu mengasingkan diri di tempat terdepan di bagian terdepan dari garis depan, dimana orang jarang datang. -Waktu kita jatuh ke lubang itu, aku bahkan berpikir kalau lebih baik untuk mati bersama daripada menjadi yang ditinggalkan; itu jelas bukan bohong."
Ia menunjukkan senyuman samar. Rasanya seperti sejumlah tak terbatas rasa menyalahkan diri sendiri terletak jauh di dalamnya, nafasku terambil.
"Tapi kamu hidup. Aku tak menyangka, namun fakta bahwa aku bisa terus hidup bersama Lis membuatku sangat senang. Dan, malam itu... Saat kamu memberikan tanganmu padaku, semuanya terbuka jelas. Tangan Lis terasa hangat... Orang ini masih hidup, itulah yang kupikir. Aku, dan juga semua orang, kita pastinya tidak hidup hanya demi menyambut kematian suatu hari nanti; Aku yakin kita hidup demi melanjutkan hidup. Jadi... Terima kasih, Lis."
"..."
Kali ini, senyuman sejati bangkit jauh dari dalam hatiku. Dikendalikan oleh emosi kuat yang misterius, kubuka mulutku.
"Aku juga sama... aku juga sama; Aku selalu mencarinya. Untuk sesuatu istimewa yang sejati, di dunia ini. Buatku, itu adalah kehangatan tangan kamu."
Mendadak sekali, duri es yang menusuk jauh di dalam hatiku mencair dengan lembut, rasanya mirip seperti itu. Air mataku juga telah berhenti beberapa saat lalu. Untuk jangka waktu yang singkat, kita menatap satu sama lain tanpa suara. Sensasi yang muncul sewaktu kita terbang berjalan masuk sekali lagi, bersentuhan dengan hatiku hanya untuk sekejap, dan lenyap.
Aku diganjar. Itulah yang kuyakini.
Kata-kata dari Kirito tadi menelan kepingan-kepingan hancur dari cintaku yang telah merekah, dan kurasakan mereka tenggelam jauh di suatu tempat dalam diriku.
Aku mengedipkan mataku sekali dengan cepat, melepaskan tetesan-tetesan kecil, dan membuka mulutku untuk bicara dengan senyuman.
"Kata-kata tadi, pastikan Asuna mendengarnya juga. Gadis itu juga menderita. Bagaimanapun, ia ingin kehangatan Kirito."
"Lis..."
"Aku tidak apa-apa."
Aku mengangguk lembut, kugenggam dadaku dengan kedua tangan.
"Demam ini akan membekas hanya sedikit lebih lama lagi. Jadi... kumohon, Kirito, akhiri dunia ini. Aku pasti akan bekerja keras sampai saat itu. Tapi, begitu kita kembali ke dunia nyata..."
Aku menyeringai dengan senyuman nakal.
"Kita langsung masuk ronde kedua."
"..."
Kirito juga tersenyum, mengangguk dalam-dalam. Selanjutnya, ia mengayunkan tangan kirinya, membuka sebuah layar. Saat aku penasaran apa yang ingin ia lakukan, «Elucidator» dilepas dari punggungnya, disimpan ke inventaris. Mengikutinya, ia memanipulasi susunan equipmentnya, mewujudkan sebuah pedang baru menggantikan pedang sebelumnya. «Yang Akan Menyingkirkan Kegelapan», pedang putih itu diisi oleh emosiku.
"Mulai hari ini, pedang ini menjadi rekanku. Biayanya akan... diselesaikan untuk di dunia lain."
"Oh, sekarang kamu sudah bilang begitu. Harganya akan cukup lumayan."
Sambil berbagi tawa, kita beradu tinju satu sama lain.
"Yah, balik ke toko yuk. Asuna pasti sudah capek nungguin... Aku juga laper sih, sebenernya."
Kukatakan itu, dan mulai berjalan setelah beranjak di depan Kirito. Untuk kali terakhir, kuseka mataku dengan tegas, menghamburkan air mata-air mata terakhir yang masih berada di sudut mataku, dan mereka pun lenyap menjadi butiran cahaya.
[edit]Bagian 4
Hari ini dinginnya lebih menusuk dari biasanya,
Aku masuk ruang kerjaku sambil menggosok-gosokkan kedua tanganku. Menarik tuas di dinding, kuhangatkan tanganku di atas tungku perapian yang langsung menyala, terbakar merah panas. Setidaknya bunyi menggebuk kincir air masih tetap sama, tapi awal musim dingin sekarang sudah sedingin ini, kalau pertengahan musim dingin tiba dan sungai kecil di belakang membeku, aku khawatir entah apa yang akan terjadi padaku.
Aku berpikir keras selama sejenak sebelum kembali sadar dengan kaget, dan berunding dengan jadwalku. Masih ada delapan item yang menumpuk di daftar pesanan hari ini. Hari akan segera berakhir jika aku tidak bergegas dan menyelesaikannya.
Pesanan pertama adalah pedang lurus satu tangan tipe ringan. Kutelusuri daftar bongkahanku, kupilih satu yang merupakan kompromi bagus antara performa dan biaya sebentar kemudian, lalu melemparkannya ke tungku perapian.
Di waktu sekarang ini, penguasaan paluku sudah bertambah, dan bahkan aku memperoleh beberapa logam baru, jadi aku sudah bisa menempa senjata tingkat tinggi terus menerus. Memilih waktu di saat apinya telah panas mencapai suhu yang sesuai, kuletakkan bongkahan itu di alas tempa. Menyiapkan palunya, kuayunkan ia turun dengan tenaga tinggi.
Tapi, berbicara mengenai pedang lurus satu tangan— Tidak satu pedang pun yang mampu melampaui pedang satu itu yang kutempa musim panas lalu tahun ini. Fakta itu membuatku frustasi, namun melegakan.
Pedang yang telah mengubur pecahan hatiku itu mungkin masih terus mengamuk dengan bersemangat di garis depan yang jauh lagi hari ini. Meski aku memang merawatnya di batu asah di depan mataku ini sekali-sekali, berbeda dengan senjata biasa, transparansi bilahnya tampak bertambah setiap digunakan. Untuk beberapa alasan, sepertinya ia berbeda dengan barang konsumsi numerik yang akan habis cepat atau lambat; rasanya lebih seperti ia akan hancur berkeping-keping begitu ugasnya selesai— itu prediksiku.
Ah tapi, hal itu mungkin masih berupa masa depan yang tak akan terwujud beberapa saat lagi. Garis depan sekarang di lantai tujuh puluh lima. Pedang itu masih harus bertugas lebih lama lagi. Di tangan kanan orang itu— Kirito.
Waktu kusadari, tampaknya aku sudah selesai memukulnya sebanyak jumlah yang diperlukan; bongkahan itu mulai berubah bentuk seraya bersinar dengan cahaya merah. Kuamati perubahan gaib seketika ini dengan nafas tertahan, dan mengambil pedang yang segera muncul untuk memeriksanya.
"...Biasa, sepertinya."
Membisikkan ucapan itu, kuletakkan pedang ini di atas meja kerja. Tanpa jeda, aku mulai memilih-milih bongkahan berikutnya. Kali ini adalah kapak dua tangan, dengan fokus pada jangkauannya...
Lama setelah siang dimulai, aku entah bagaimana berhasil menyelesaikan semua pesanan, dan berdiri. Menggerakkan kepalaku berputar melingkar, kurenggangkan badanku kuat-kuat. Selagi aku mengambil nafas lega, sebuah foto kecil yang tergantung di dinding memasuki penglihatanku.
Membuat tanda damai sambil berpelukan, Asuna dan aku. Di samping Asuna, berdiri setengah langkah ke bawah, Kirito dengan senyum masam. Diambil di depan bangunan ini. Sekitar setengah bulan lalu— saat berita pernikahan mereka berdua datang.
Siapapun yang mungkin kalian tanya, mereka berdua pastinya serasi satu sama lain, tapi mencapai tujuan itu akhirnya memakan waktu setengah tahun penuh. Aku menjadi tidak sabar, dan mencoba ikut campur dalam hubungan mereka dengan berbagai cara, dan ketika aku pada akhirnya diberitahu berita pernikahan mereka, aku benar-benar senang buat mereka. Tapi tetap— terasa sedikit, sakit yang mengoyak hati.
Aku masih menyaksikan yang terjadi malam itu dalam mimpi-mimpiku. Mengingat satu malam bagai mimpi yang berinar bak permata sederhana selama dua tahun yang hanya ada sedikit naik-turun. Sampai saat ini pun, setelah tiga bulan berlalu, ia masih menghangati hatiku layaknya bara api yang menyala.
"...Walaupun begitu..."
Saat itu memang mengagumkan, bisikku dalam hati, dan jariku menelusuri foto itu dengan lembut. Walau aku menilai diriku sebagai realis yang rasional, aku memiliki watak seterus terang itu benar-benar tidak kusangka dan tidak kusadari sama sekali.
"Aku selalu mencintaimu, sampai akhir."
Usai mengetuk kuat suatu titik tertentu di foto itu, kupalingkan pikiranku. Bertanya-tanya apa aku memasak makanan sederhana untuk makan siangku yang telat, atau mungkin makan di luar untuk pertama kalinya sejak beberapa waktu ini, kuinjakkan kakiku keluar dari ruang kerja— Lalu hal itu terjadi.
Sebuah efek suara yang belum pernah kudengar sampai sekarang bergema keras dari atas. Ding, ding, suara yang menyerupai alarm lonceng... Seketika kutatap langit-langit, namun tampaknya suara itu berasal dari tempat yang lebih tinggi lagi, berkumandang dari arah lantai atas.
Aku baru saja akan buru-buru keluar, saat sesuatu yang membuatku bahkan terkejut lebih jauh lagi terjadi. Meski alasan di baliknya jelas, NPC penjaga toko, yang berdiri di konter, tak membutuhkan seharipun istirahat sejak toko ini dibuka, mendadak lenyap tanpa suara sedikitpun.
"...!?"
Kukedipkan mataku, dan menatap tempat gadis itu berdiri hingga tadi, tetapi tidak ada tanda ia kembali. Situasinya menjadi makin dan makin kusut.
Buatku, yang tersandung saat menuju keluar, pengalaman yang bahkan lebih mengherankan lagi menjadikanku berdiri kaku.
Di bawah lantai atas yang membentang, seratus meter di atas, tepat sebelum atap abu-abu polos itu- tergantung huruf-huruf merah raksasa, terletak rapat-rapat. Aku terhanyut menatapnya; dua kalimat berbahasa Inggris, "Warning", and, "System Announcement", tertata dalam pola papan catur.
"System... Announcement..."
Kejadian ini pernah kusaksikan sebelumnya. Tidak mungkin aku akan pernah melupakannya. Dua tahun lalu, di hari game kematian ini dimulai, tontonan yang sama persis muncul di balik avatar hampa yang mengumumkan perubahan peraturan pada sepuluh ribu pemain.
Akhirnya melihat sekeliling setelah membeku melihatnya selama beberapa detik penuh, kutemukan banyak pemain lain, yang melihat ke atas sambil berdiri tegak, sama sepertiku. Aku berkerut saat merasa ada sesuatu yang aneh mengenai pemandangan ini, alasannya terpikir seketika olehku.
Biasanya, selagi berjalan menyusuri jalan, ada NPC-NPC menjajakan dagangan mereka; tak seorang pun ada di sekitarku. Aku yakin mereka kemungkinan menghilang di waktu yang sama dengan menghilangnya perawat tokoku, tapi... kenapa sih—
Tiba-tiba sekali, bunyi dering alarm itu berhenti. Setelah beberapa saat yang sunyi, kali ini, yang terdengar adalah suara halus wanita, dalam volume yang sama kerasnya.
[Kami sekarang akan mengumumkan pemberitahuan penting ke semua pemain.]
Sama sekali berbeda dengan suara sang Game Master, Kayaba Akihiko, dari dua tahun lalu, merupakan suara sintetis buatan bercampur dengan bunyi gaduh elektronik. Jelas ini merupakan pengumuman yang dibuat melalu sistem game, tapi dengan hampir tidak adanya kehadiran manajemen di SAO, ini adalah pertama kalinya aku mendengar pengumuman disampaikan seperti ini. Kutegangkan telingaku untuk mendengar sambil menahan nafas.
[Game sekarang akan memasuki mode administrasi paksa. Semua monster dan item akan ditangguhkan. Semua NPC akan diberhentikan. Darah semua pemain akan disesuaikan menjadi jumlah maksimal masing-masing.]
Sistemnya error? Apa ada bug fatal yang muncul...?
Itu yang ada di pikiranku dalam sekejap. Hatiku dicengkram rasa tidak tenang. Tapi di saat berikutnya—
[Waktu Standar Aincrad, tujuh November, empat belas-lima puluh lima, game telah diselesaikan.]
—Demikianlah yang dilaporkan suara sistem.
Gamenya, sudah diselesaikan.
Aku tak mengerti arti dari perkataan itu untuk beberapa detik. Pemain-pemain lain di sekitarku juga, masih terdiam dengan ekspresi mereka membeku. Akan tetapi, mendengar kalimat yang mengikutinya, mereka semua melonjak gembira.
[Semua pemain akan log out secara berurutan. Cukup menunggu di posisi anda sekarang. Kami ulangi...]
Tiba-tiba, "Wooah!", dan sorak-sorai gembira seperti itu meletus. Tanahnya, bukan, seluruh Kastil Melayang Aincrad bergetar. Semua orang saling berpelukan satu sama lain, bergulingan di lantai, berteriak keras-keras dengan tangan mereka terangkat menuju langit.
Aku tidak bergerak, tidak berkata apapun, hanya berdiri diam di depan toko milikku. Entah bagaimana aku berhasil mengangkat kedua tanganku, menutupi mulutku.
Jadi dia berhasil. Dia— Kirito berhasil. Dengan kenekatannya yang biasa...
Itulah yang kupercaya. Bagaimanapun, garis depan yang paling depan masih di lantai tujuh puluh lima, tapi dengan selesainya permainan ini seperti ini, konyol, ceroboh, tindakan nekat ini pastinya ulah Kirito.
Aku merasa aku mendengar bisikan lembut di dekat telingaku.
—Aku, menjaga kata-kataku...
"Iya... Iya... Akhirnya, kamu berhasil..."
Dengan itu, air mata yang panas menetes dari mataku. Tak menghiraukan untuk menyekanya, kulontarkan tangan kananku dengan seluruh kekuatan, melompat naik dan turun tanpa henti.
"O— oh!!"
Kututupkan kedua tangan ke mulutku, untuk menggapainya, yang berada jauh di lantai atas, aku berteriak sekeras mungkin.
"Kita pasti akan bertemu lagi, Kirito—!! ...Aku mencintaimu!!"
(Selesai)

Penulis : Rulli Rhamananda ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Sword Art Online Volume 2 Chapter 2 Kehangatan Hati (Lantai ke-48 Aincrad, Juni 2024) Bagian II ini dipublish oleh Rulli Rhamananda pada hari Sabtu, 17 November 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Sword Art Online Volume 2 Chapter 2 Kehangatan Hati (Lantai ke-48 Aincrad, Juni 2024) Bagian II
 

0 komentar:

Posting Komentar