Ujung jariku mencakar lantai, berdoa untuk bergerak meski hanya satu millimeter ke depan.
Saat ini, jika saja aku diberikan kekuatan untuk berdiri, berapapun harganya tidak apa-apa. Ambil saja hidupku, jiwaku, semuanya, aku tidak peduli. Apakah setan atau iblis, tidak masalah asalkan orang ini bisa kutebas dan kalahkan. Asalkan Asuna bisa kembali ke tempat ia seharusya berada.
Sugou menyentuh tangan dan kaki Asuna dengan kedua tangannya, membelainya. Setiap gerakannya mungkin menimbulkan sinyal stimulasi sensoris yang kuat pada Asuna. Asuna menggigit bibirnya begitu kuat sehingga mulai berdarah, menahan penghinaan itu.
Dengan pemandangan seperti itu dalam penglihatanku, aku merasa pikiranku memutih, terputus oleh sensasi putih membakar. Api kemarahan dan keputusasaan menelanku. Proses berpikirku yang tersisa berubah menjadi debu. Jika jiwaku menjadi seperti warna tumpukan tulang kering, aku tidak akan perlu berpikir. Tidak ada gunanya berpikir.
Jika saja aku punya pedang, kupikir aku bisa melakukan apapun. Karena aku adalah sang pahlawan yang berdiri dipuncak dari 10,000 pendekar pedang. Aku mengalahkan si raja setan, pahlawan yang menyelamatkan dunia.
Dunia virtual hanya dirangkai berdasarkan teori pemasaran perusahaan-perusahaan, hanya sebuah game. Terhanyut dalam pikiran bahwa itu adalah kenyataan yang lain, aku menipu diri berpikir bahwa kekuatan yang diperoleh dalam dunia itu adalah kekuatan yang sesungguhnya. Terbebas dari dunia SAO – atau terusir, setelah kembali ke dunia nyata, apakah aku tidak kecewa dengan tubuhku yang lemah? Di suatu tempat dalam hatiku, tidakkah aku merindukan untuk kembali ke dunia itu, dunia dimana aku adalah pahlawan terkuat? Yang karenanya kau, setelah tahu pikiran Asuna terjebak di dunia game baru, berpikir bahwa kau dapat melakukan sesuatu dengan kekuatanmu sendiri dan datang begitu saja. Ketika hal yang sebenarnya harus kau lakukan adalah untuk menyerahkannya pada para orang dewasa dengan kekuasaan di dunia nyata. Setelah memperoleh kembali kekuatan semu sekali lagi, mengalahkan pemain lain, apakah itu bukan untuk menyenangkan diriku dengan memuaskan harga diriku yang jelek?
Kalau begitu ini – adalah apa yang pantas buatku. Benar, kau hanya menggunakan kekuatan yang diberikan oleh orang lain, gembira seperti seorang anak kecil. Hanya memiliki satu ID tidak dapat melampaui apa yang disebut hak istimewa administrator system. Hanya satu hal yang pasti, penyesalan. Kalau aku tidak menyukainya, aku harus membuang pikiran itu.
『Melarikan diri?』
- Bukan, aku hanya mengakui kenyataan.
『Apa kau menyerah? Pada kekuatan system yang pernah kau sangkal sebelumnya?』
- Mau bagaimana lagi. Aku hanya seorang pemain, orang itu adalah game master.
『Itu adalah kata-kata yang mengotori pertarungan itu. dimana aku dipaksa untuk mengakui bahwa kekuatan kemauan manusia dapat melampaui system, dibuat untuk memahami kemungkinan-kemungkinan di masa depan, pertarungan kita.』
- Pertarungan? Itu adalah omong kosong. Bukankah itu hanya hal yang akan bertambah dan berkurang dalam angka?
『Kau harusnya tahu itu bukan begitu. Sekarang, berdiri. Berdiri dan ambil pedangmu.』
『- BERDIRI, KIRITO-KUN!!』
Suara itu seperti raungan yang menggelegar, menyobek kesadaranku seperti petir.
Pikiranku yang tadinya memudar seperti tersambung kembali dalam sekejap. Aku membuka mata lebar-lebar.
“Wu…oh…”
Keluar dari tenggorokanku dalam suara yang parau.
“O… OOoh…”
Aku mengkertakkan gigi dan menyanggakan tangan kananku ke lantai, mendorong diriku sampai ke siku dengan sebuah suara yang seperti jeritan dari binatang buas yang sekarat.
Ketika aku mencoba mengangkat tubuhku, pedang yang menancap di tengah tulang belakangku bertahan dengan tekanan yang luar biasa.
- Aku tidak bisa terus meringkuk menyedihkan di bawah benda seperti ini. Serangan yang tanpa jiwa ini, menyerah padanya merupakan hal yang tak bisa dimaafkan. Serangan setiap pedang di dunia itu terasa lebih berat. Lebih menyakitkan.
“Wu… Gu, ooh!”
Bersamaan dengan raungan singkat, aku mengerahkan seluruh tenaga di tubuh dan jiwaku untuk mengangkat diriku. Dengan suara ‘shuit’ yang kuyu pedangnya meninggalkan lantai, keluar dari punggungku, dan perputar di lantai.
Sugou melotot dengan ekspresi tercengang saat aku sempoyongan di atas kakiku. Segera, sia membuat wajah tidak senang dan mengundurkan tangannya dari tubuh Asuna, mengangkat bahu dengan dramatis.
“Oh, ya ampun, kupikir aku sudah menentukan koordinat benda itu, apa mungkin masih ada bug[25] anehnya. Tim management kami itu benar-benar tidak kompeten…”
Dia bergumam sambil berjalan ke arahku. Mengangkat kepalan tangan kanannya, dia mengarahkannya untuk meninju pipiku.
Aku mengulurkan tangan kiriku, menangkapnya I tengah udara.
“Oh…?”
Aku melihat ke dalam mata terkejut Sugou, membuka mulutku. Serangkaian kata-kata bergema jauh di dalam pikiranku, aku mengulanginya.
“System Login. ID «Heathcliff». Password…”
Gravitasi yang sebelumnya membelenggu tubuhku menghilang segera setelah aku selesai mengucapkan seri karakter alfanumerik yang rumit.
“Ap… Apa!? ID apa itu!?”
Ketika Sugou memperlihatkan giginya dan menjerit dalam keterkejutan, dia menyingkirkan tanganku dan mundur selangkah. Dia melambaikan tangan kirinya ke bawah dan sebuah jendela menu system berwarna biru muncul.
Sebelum orang itu dapat menggerakkan satu jari pun, sebuah perintah suara keluar dari mulutku.
“System command. Supervisor Authority Change. ID «Oberon» ke level 1.”
Dalam sekejap, jendela tersebut menghilang dari bawah tangan Sugou. Dia melotot dengan matanya bolak-balik melihat aku lalu ruang kosong di yang seharusnya tempat jendelanya berada, melambaikan tangannya lagi dalam frustasi.
Bagaimanapun, tidak terjadi apapun. Gulungan sihir yang memberikan Sugou kekuasaan Raja Peri tidak mau keluar.
“Se… Sebuah ID dengan tingkat lebih tinggi dari milikku…? Tidak bisa kupercaya… ini seharusnya tidak mungkin… Aku adalah sang penguasa… Sang pencipta… Penguasa dunia ini… Tuhan…”
Sugou terus berbicara dengan suara yang bernada tinggi seperti contoh audio yang diputar ulang dalam kecepatan tinggi. Aku bicara sambil menatap wajah tampan yang runtuh menuju keburuk-rupaan.
“Bukan begitu, ‘kan? Kau mencurinya. Dunianya. Para penghuninya. Seorang raja pencuri yang menari sendirian di tahta yang ia curi.”
“Kau… Bocah sialan ini… padaku… beraninya kau bicara begitu padaku… aku akan membuatmu menyesalinya… aku akan memenggal kepalamu dan menjadikannya hiasan…”
Sugou mendorong jari telunjuknya yang melengkung seperti kail ke arahku dan berteriak dengan suara yang melengking.
“System command. Object ID «Excalibur». Generate!!”
Akan tetapi, system dunia ini tidak lagi merespon terhadap suara Sugou.
“System command. Dengarkan aku, barang sialan!! Tuhan… Tuhan sedang memerintahkanmu!!” membiarkannya berteriak, aku mengalihkan mataku dari Sugou. Aku melihat ke Asuna yang masih tergantung di atas lantai.
Gaun indahnya telah sobek dan hanya sisa sobekan yang menutupi tubuhnya, rambutnya berantakan, dan ada garis cahaya yang merupakan air matanya di permukaan pipinya. Amun matanya belum kehilangan sinarnya. Deraan yang kuat itu tidak mematahkan jiwanya yang teguh.
- Semuanya akan segera beres. Tunggulah sebentar lagi.
Aku berbisik dalam pikiranku, menatap ke dalam mata berwarna hazel Asuna. Dengan gerakan kecil, ia mengangguk.
Api kemarahan baru muncul dalam diriku ketika aku melihat sosok Asuna yang tertekan. Aku melirik ke atas dan berkata:
“System Command. Object ID «Excalibur» Generate.”
Udara di depanku mulai terdistorsi saat aku mengatakannya. Angka-angka berskala kecil mengalir deras membentuk sebuah pedang. Warna dan tekstur muncul dari ujung lalu turun. Dengan bilah pedang yang memancarkan sinar keemasan, itu adalah pedang panjang yang diukir dengan hiasan yang indah. Tidak diragukan lagi itu adalah senjata yang sama yang disegel di ujung penjara bawah tanah di Jötunheimr. Pedang terkuat yang merupakan impian banyak pemain, dan itu muncul hanya dengan satu perintah, bukan suatu perasaan yang menyenangkan.
Aku memegang hulu pedang itu dan melemparnya kepada Sugou yang terbelalak. Setelah melihatnya menangkap pedang itu dengan gerakan yang berbahaya aku dengan lembut mengangkat kaki kiriku.
Pedangku terbang ke dalam kegelapan dari tempat dimana ia terguling sebelumnya saat aku menginjaknya di bagian hulu pedangnya. Berputar di udara, pedangnya jatuh ke arah tangan kananku dengan kilatan dari besinya yang kebiruan. Dengan suara berat, pedang itu jatuh ke dalam tanganku.
Saat aku mengarahkan pedang besar besi hitam yang berat pada Sugou, aku berkata:
“Waktunya menyelesaikan ini. Raja yang mencuri dan pahlawan palsu… System Command. Pain Absorption ke level 0.”
“Ap… Apa…?”
Mendengar petintah untuk menaikkan nyeri virtual tanpa batasan, warna terkuras dari pipi si Raja Peri yang memegang pedang emas. Dia mundur satu langkah, dua langkah.
“Jangan coba untuk kabur. Orang itu tidak punya keraguan sama sekali dalam situasi apapun. Kayaba Akihiko itu.”
“Ka… Kaya…”
Mendengar nama itu, wajah Sugou berubah drastis.
“Kayaba… Heathcliff… jadi kau… Kau menghalangi jalanku lagi!!”
Melambaikan pedang di tangan kanannya tinggi di atas kepalanya, dia berteriak dengan suara yang seakan dapat membelah logam.
“Kau mati! Kau sudah mati! Kenapa kau harus menggangguku bahkan dalam kematian!! Kau selalu begini… selalu selalu!! Selalu membuat wajah yang seperti kau mengerti segalanya… merebut semua hal yang aku inginkan diujung!!”
Sugou berteriak, mendadak mendorong pedangnya ke arahku sebelum melanjutkan.
“Seorang bocah sepertimu… apa yang kau mengerti!! Seperti apa rasanya berada di bawahnya… apa arti bersaing dengannya. Bagaimana mungking kau mengerti seperti apa rasanya!?”
“Aku mengerti. Aku menjadi bawahannya setelah dikalahkan olehnya juga. —Tapi aku tidak pernah berpikir untuk menjadi seperti dia. Tidak seperti kau.”
“Bocah… bocah ini… BOCAH INI!!!”
Sugou bertolak dari lantai dan dengan berteriak mengayunkan pedangnya. Segera ketika tubuhnya memperlihatkan celah, aku mengayunkan ke bawah pedang di tangan kananku. Ujung pedangku menggores pipi mulus si Raja Peri.
“Aaah!!”
Sugou berteriak sambil menutupi pipinya dengan tangan kirinya dan melompat mundur.
“SAKIIIT!!!”
Teriakan dari sosok dengan mata terbelalak itu hanya membuat aku lebih marah. Pikiran bahwa Asuna berada dalam tahanan lelaki ini selama dua bulan sangat tak tertahankan. Mengambil langkah besar ke depan, aku mengayunkan pedangku. Sugou secara refleks mengangkat tangan kanannya untuk menghalanginya dan pedangku menebas pergelangan tangannya. Tangan dan pedang emas yang dipegangnya menghilang ke dalam kegelapan. Suara pedang itu jatuh di tempat yang jauh bergema dengan jelas.
“AAAAAAaaah!! Tangan... Tanganku!!”
Meskipun hanya sinyal psedo-elektrik, itulah sebabnya Sugou merasakan nyeri yang nyata. Tentu saja, itu tidak cukup. Tidak mungkin cukup.
Aku mengayunkan pedangku dengan tenagaku ke arah jubah hijau yang membungkus dada Sugou sementara dia memegangi tempat dimana tangannya hilang dan mengerang.
“Guboaaaa!!”
Perut dari tubuh yang tinggi dan tampan itu terpotong dua bagian, terguling ke lantai dengan suara yang berisik. Tubuh bagian bawahnya segera ditelan oleh kobaran api putih dan jatuh setelah hangus terbakar.
Menjenggut rambut Sugou yang panjang dan bergelombang dalam tangan kiriku, aku mengangkatnya. Dia terus berteriak dengan teriakan yang membuat ngilu dengan suara yang keluar dari mulut yang gemetar yang terus menerus membuka dan menutup, sementara air mata keluar dari mata yang terbuka lebar sampai ke batasnya.
Sosoknya hanya bisa menimbulkan rasa jijik dalam diriku. Aku mengayunkan tangan kiriku, melempar paruhan atas tubuhnya.
Memegang pedang besarku dengan kedua tangan, aku mengambil kuda-kuda di atasnya. Menyaksikan pedangnya turun, dia mengeluarkan teriakan keras.
“…Uoooo!!”
Aku mengayunkan turun pedangku menggunakan seluruh tenagaku. Dengan suara ‘gatsutsu’ yang berisik, bilah pedangnya menembus mata kanan Sugou dan keluar dari belakang kepalanya.
“Gyaaaaaaaaa!”
Teriakan yang memuakkan itu bergema dalam kegelapan seperti beribu roda gigi berputar melawan arah dengan satu sama lain. Mata kanannya terbagi dua di sisi kiri dan kanan pedangku. Kobaran api putih, dalam sekejap menyebar dari kepala ke tubuh bagian atasnya.
Dia berubah menjadi seperti hantu dan terus menghilang, dan untuk beberapa detik sebelum benar-benar hilang Sguou terus menjerit tanpa henti. Teriakannya perlahan menghilang, dan tidak lama kemudian, sosoknya menghilang. Keheningan kembali ke dunia, dan aku melambaikan pedangku, menguraikan bara api putih itu.
Dengan ayunan lembut pedangku, kedua rantai yang mengikat Asuna hancur dan menghilang. Aku melepaskan pedangku, tugasku sudah selesai. Aku menahan Asuna saat ia terjatuh ke tanah, tubuhnya telah lemas.
Energi yang menopang tubuhku juga habis dan aku tergelincir pada satu lutut di atas lantai. Aku menatap Asuna dalam kedua tanganku.
“…Ugh…”
Semburan perasaan tidak berdaya berubah bentuk dan mulai mengalir dari mataku dalam bentuk air mata. Dengan erat memeluk tubuh Asuna, wajahku terkubur diantara rambutnya, aku menangis. Aku tidak bisa mengatakan apapun, aku hanya terus menangis.
“— Aku percaya.”
Suara jelas Asuna menggetarkan telingaku.
“…Ya. Aku yakin… sampai sekarang, mulai saat ini dan seterusnya. Kamu adalah pahlawanku… Kau akan selalu datang menolongku…”
Tangan-tangan yang lembut mengusap rambutku.
- Sebenarnya bukan begitu. Aku… aku sebenarnya tidak punya kekuatan…
Akan tetapi, aku mengambil napas dalam, dan berkata dengan suara yang gemetar.
“… Aku akan berusaha keras untuk menjadi seperti itu. sekarang, ayo pulang…”
Melambaikan tangan kiriku, sebuah jendela system yang rumit muncul yang memang berbeda dengan jendela yang biasanya. Aku menggunakan intuisiku menyelami jendela yang berisi menu bertingkat-tingkat, berhenti ketika jariku mendarat pada menu yang berhubungan dengan transfer.
Menatap ke dalam mata Asuna, aku berkata:
“Di dunia nyata sekarang mungkin sudah malam. Tapi aku akan langsung pergi ke ruanganmu di rumah sakit.”
“Iya. Akan kutunggu. Akan sangat menyenangkan untuk bertemu dengan Kirito-kun dulu.”
Asuna tersenyum cerah. Dia memandang ke suatu tempat yang jauh, dengan mata yang sejernih Kristal, dan berbisik:
“Ah… akhirnya, selesai sudah. Aku akan kembali… ke dunia itu.”
“Benar. …Banyak hal yang berubah, kau akan terkejut.”
“Fufu. Aku pergi ke banyak tempat dan melakukan banyak hal.”
“Iya. – Pasti.”
Aku mengangguk, memeluk erat Asuna lalu menggerakkan tangan kananku. Aku menyetuh tombol log out, dengan ujung jariku bersinar biru menunggu sebuah sasaran, aku dengan lembut menyapu air mata yang mengalir di pipi Asuna.
Lalu, cahaya biru menyelimuti tubuh Asuna yang putih. Sedikit demi sedikit Asuna menjadi lebih transparan seperti Kristal. Partikel cahaya muncul dari jari-jarinya, menari di udara sebelum menghilang.
Sampai Asuna benar-benar hilang, aku terus memeluknya erat. Akhirnya, beban di tanganku lenyap dan aku tertinggal sendirian dalam kegelapan.
Untuk sementara aku tetap merunduk.
Sebagai tambahan pada perasaan bahwa semuanya sudah selesai, muncul juga perasaan bahwa sudah terjadi kemajuan yang besar. Dan insiden ini disebabkan oleh angan-angan Kayaba dan ambisi Sugou – apa ini yang disebut sebuah akhir? Atau ini hanya titik penentuan lain?
Aku memaksa diriku untuk berdiri dengan tubuh yang kehabisan tenaga. Aku melihat ke atas ke dalam kegelapan yang merentang sampai ke kedalaman dunia, dan berbisik sendirian.
“Anda ada disini, bukan, Heathcliff.”
Setelah hening sejenak sebuah suara yang using berbunyi dalam pikiranku, suara yang sama dengan yang sebelumnya.
『Lama tidak berjumpa, Kirito-kun. Walau buatku kejadian hari itu terasa seperti kemarin.』
Kali ini rasanya berbeda, suara itu seperti berasal dari tempat yang sangat jauh.
“—Apa Anda masih hidup?”
Dengan pertanyaan singkat itu, aku mendengar jawabannya setelah kesunyian yang sekejap.
『Bisa dikatakan iya, bisa dikatakan tidak. Di satu sisi, saya adalah sebuah gema dari kesadaran Kayaba Akihiko, sebuah afterimage[26] .』
“Seperti biasa, Anda adalah orang yang berkata dengan cara yang membingungkan. Saya berterima kasih saja sekarang – bagaimanapun, akan lebih baik jika saja Anda muncul dan menolong kami lebih awal.”
『……』
Aku merasa dia mengeluarkan senyuman pahit.
『Sayang sekali, saya minta maaf. Waktu saat system pengawetan terpisah terhubung dan membangunkan programku baru mulai barusan – setelah saya mendengar suaramu. Kau tidak perlu berterima kasih.』
“…Kenapa?”
『Kau dan aku tidak cukup akrab untuk menerima pertolongan gratis. Saya harus mendapat kompensasi, tentunya.』
Sekarang giliranku yang tersenyum kecut.
“Kalau begitu, beri tahu saya apa yang harus dilakukan.”
Lalu, dari kegelapan di kejauhan, semacam objek berwarna silver yang berkilauan jatuh. Aku mengulurkan tangan dan benda itu mendarat dalam tanganku dengan suara yang kecil. Itu adalah kristal kecil berbentuk telur. Dari dalam kristal sebuah cahaya yang redup berkedip-kedip.
“Ini apa?”
『Itu adalah world seed.』
“- apa?”
『Ketika ia bertunas, kau akan mengerti. Saya akan mempercayakanmu dengan keputusan apa yang harus dilakukan pada benda itu setelahnya. Kau hapus tidak apa-apa, kau lupakan juga tidak apa-apa… akan tetapi, kalau kau punya perasaan lain selain rasa benci terhadap dunia itu…』
Suaranya terputus disitu. Diikuti oleh keheningan sejenak, hanya kata-kata perpisahan singkat yang turun.
『Kalau begitu, saya akan pergi sekarang. Semoga kita dapat bertemu lagi suatu hari nanti, Kirito-kun.』
Lalu tiba-tiba hawa kehadiran orang itu hilang.
Aku memutar kepalaku, menjatuhkan telur yang berkilauan itu ke dalam saku di dadaku untuk sementara ini. Hanyut dalam pikiran sebentar, aku mengangkat wajahku.
“- Yui, apa kau ada disini? Apa kau baik-baik saja?!”
Segera setelah aku berteriak, dunia kegelapan itu terbelah dan terbuka mengikuti sebuah garis lurus.
Cahaya jingga segera bersinar masuk, memotong tirai hitam. Anginnya masuk bersamaan dan menyapu kegelapan. Begitu cantik dan menyilaukan sampai aku harus menutup mata untuk sementara waktu. Aku membuka mataku dengan hati-hati dan menemukan diriku telah kembali berada dalam sangkar.
Di depanku, matahari terbenam yang besar memancarkan sinar terakhirnya sebelum turun ke bawah horizon. Tidak ada sosok manusia, hanya suara angin.
“-Yui?”
Aku memanggilnya sekali lagi, cahaya memadat di depan mataku, dan seorang gadis pixie berambut hitam muncul dengan bunyi letupan kecil.
“Papa!”
Dengan teriakan yang bergema Yui melonpat ke dadaku, memeluk leherku erat-erat.
“Kau baik-baik saja. – Syukurlah…”
“Iya… waktu sepertinya alamatku akan diblokir tiba-tiba, aku mundur ke memori local NerveGear. Aku berhasil tersambung lagi, tapi baik Mama dan Papa tidak ada… aku cemas sekali. – Apa yang terjadi pada Mama?”
“Ah, dia sudah kembali… ke dunia nyata.”
“Begitu… itu benar-benar… bagus…”
Yui menutup matanya dan menyandarkan pipinya di dadaku. Aku samar-samar merasakan bayangan kesepian darinya dan dengan lembut mengusap rambutnya.
“- Secepatnya, kami akan datang menemuimu lagi. Tapi… apa yang akan terjadi, dunia ini…”
Setelah gumamanku, Yui tersenyum lebar dan berkata.
“Program intiku bukan bagian dari tempat ini tapi tersimpan dalam NERvGear Papa. Kita akan selalu bersama. – Oh, tapi ada yang aneh…”
“Ada apa?”
“Sebuah data yang agak besar sudah ditranfer ke dalam penyimpanan memori NERvGear Papa… meskipun sepertinya tidak aktif…”
“Hmmm…”
Aku memiringkan kepalaku, tapi mengenyampingkan pertanyaannya dulu. Sebetulnya, ada yang harus aku lakukan terlebih dahulu.
“- Well, aku akan pergi. Menemui Mama mu,”
“Iya. Papa – aku mencintaimu.”
Meneteskan air mata kecil, aku memeluk Yui kuat-kuat sambil mengusap-usap kepalanya dan melambaikan tangan kananku.
Sesaat sebelum aku menekan tombolnya, aku berhenti dan melihat dunia yang diwarnai oleh warna matahari sore. Dunia ini yang diperintah oleh seorang raja palsu, apa yang akan terjadi pada dunia ini setelah dia tidak ada? Hatiku sakit ketika aku memikirkan Lyfa dan pemain lain yang sangat mencintai dunia ini.
Aku dengan lembut mencium pipi Yui dan menekan tombolnya. Cahaya melingkar menyebar dalam penglihatanku, cahaya itu menyelimuti kesadaranku dan membawaku naik lebih tinggi.
Aku merasa sangat lelah ketika aku membuka mata. Di depan mataku wajah Suguha terlihat dengan ekspresi yang cemas. Ketika mata kami bertemu ia segera berdiri.
“M, maaf karena memasuki kamarmu tanpa permisi. Karena onii-chan lama tidak kembali, aku jadi khawatir…”
Kata Suguha, dengan pipi yang agak merona sambil duduk di tepi tempat tidurku. Setelah sedikit time lag [27] anggota gerakku terasa ‘tersambung’ kembali dan aku mendorong tubuh bagian atasku bangun dengan paksa.
“Maaf aku terlambat.”
“…apa semuanya sidah berakhir?”
“-Iya… Selesai… Semuanya…”
Untuk sesaat aku menatap langit-langit sebelum menjawab. Berada dalam situasi berbahaya di dunia virtual dan tertangkap, tapi kali ini terkurung tanpa mampu menyelesaikannya, bukan sesuatu yang dapat aku ceritakan pada Suguha. Suatu saat mungkin aku akan menceritakan semuanya padanya, tapi sekarang aku tidak ingin membuatnya bertambah khawatir. Adikku satu-satunya ini yang sudah menyelamatkanku berkali-kali.
Larut malam itu di dalam hutan, aku bertemu anak perempuan berambut hijau, dan petualangan baruku dimulai – selama perjalanan yang panjang, dia selalu bersamaku. Dia menunjukkanku jalan, mengajarkanku tentang sekelilingku dan melindungiku dengan pedangnya. Jika dia tidak mengenalkanku pada kedua penguasan dan berteman dengan mereka, aku pasti tidak akan bisa menerobos dinding ksatria penjaga itu.
Kalau diingat kembali, aku menerima bantuan dari banyak orang. Tapi tentu saja, bantuan paling besar datang dari gadis di anak perempuan di depanku ini. Ketika aku Kirito dan dia adalah Lyfa, dan ketika aku Kazuto dan dia adalah Suguha, dia menolongku dan mendukungku, tapi pada saat yang sama pundaknya yang kecil menanggung kesedihan yang mendalam.
Sekali lagi aku menatap wajah Suguha, wajahnya memiliki baik keaktivan seorang anak laki-laki yang mempesona maupun tunas baru pubertas. Aku mengulurkan tanganku dan dengan lembut menepuk kepalanya, Suguha tersenyum kecil malu-malu.
“Benar-benar terima kasih banyak, Sugu. Kalau kau tidak ada disini, aku tidak akan bisa berbuat apa-apa.”
Wajah Suguha menjadi bertambah merah dan dia menundukan kepalanya. Dia ragu beberapa saat, lalu membuat keputusan dan menyandarkan pipinya ke dadaku.
“Iya… aku senang. Di dunia Onii-chan, aku bisa menolong onii-chan.”
Bisik Suguha sambil matanya terpejam. Dengan tangan kananku, aku dengan lembut memeluknya punggungnya dan memberinya pelukan erat yang singkat.
Setelah aku melepasnya, Suguha menatapku dan berkata.
“Lalu… kau mendapatkannya kembali, ‘kan? Orang itu – Asuna-san…”
“Iya. Akhirnya – akhirnya dia kembali… Sugu, aku…”
“Iya. Pergilah, dia juga pasti menunggu Onii-chan.”
“Maaf, aku akan menceritakan semuanya saat aku kembali.”
Aku menepuk kepala Suguha dan berdiri.
Aku berganti bau dalam waktu yang bisa memenangkan rekor, tapi berhenti sebentar di beranda memakai jaket. Diluar sudah benar-benar gelap. Jarum pada jam dinding antic yang menggantung di ruang tamu menunjukkan waktu sedikit kurang dari jam 9 malam. Jam besuk sudah lama selesai, tapi situasi ya situasi. Kalau aku menceritakan keadaannya di nurse station[28] , aku mungkin bisa masuk.
Suguha segera berlari kepadaku, ‘aku buatkan ini’, dan memberiku sebuah sandwich tebal. Aku menerimanya dengan penuh syukur dan menggigitnya, lalu membuka pintu dan berjalan menuju halaman.
“Di, dingin…”
Aku merundukkan kepalaku ketika aku menyadari udara dinginnya menembus jaketku. Suguha menengadah ke langit malam yang gelap dan berkata.
“Ah… salju.”
“Oh…”
Benar, ada dua atau tiga serpihan salju yang terbang turun. Aku sempat ragu sebentar apakah harus memanggil taksi. Kalau aku melakukannya, aku harus menunggu lalu berjalan ke jalan utama untuk menemukannya, jadi akan lebih cepat kalau aku menggunakan sepedaku saja.
“Hati-hati… katakan halo pada Asuna dari ku.”
“Ya. Lain kali, aku akan memperkenalkanmu dengan benar.”
Aku melambaikan tangan pada Suguha dan duduk di atas sepeda gunungku, lalu mulai mengayuh.
Aku membiarkan sepedaku melaju dalam kecepatan tinggi, dan kecepatan yang gila meniup pikiranku keluar dari kepalaku sementara aku melaju melalui Saitama selatan. Salju perlahan-lahan turun semakin banyak tapi tidak menumpuk, dan jalanan yang lengang sangat membantu.
Aku ingin sampai pada Asuna di rumah sakit secepat mungkin – tapi pada saat yang sama aku juga merasa takut terhadap apa yang mungkin aku temukan. Selama dua bulan belakangan, aku sudah mendatangi kamar itu begitu sering, selalu merasakan kekecewaan. Berpikir apa ia akan menjadi patung dingin seperti itu, aku menggenggam tangannya sementara ia terpenjara dalam tidur. Aku terus memanggil namanya meskipun itu tidak pernah tersampaikan.
Seperti ini, sambil menuruni jalan, aku bahkan mengingat setiap jaraknya, menemukannya di dunia peri, mengalahkan sang raja palsu, dan membebaskannya dari rantai yang membelenggunya mungkin saja hanya khayalanku.
Jika aku mendatangi kamarnya di rumah sakit beberapa menit kemudian dan Asuna belum terbangun.
Jiwanya tidak lagi berada di ALfheim, tapi dia masih tidak kembali ke dunia nyata – lagi ia mungkin menghilang ke suatu tempat yang tak dikenal.
Bukan hanya salju yang menghantam wajahku dalam gelapnya malam yang menyebabkan udara yang sangat dingin menjalar di punggungku. Tidak, tidak mungkin ada yang seperti itu. system yang mengatur dunia yang bernama kenyataan tidak mungkin sebegitu kejamnya.
Sementara pikiranku yang kusut tumpang tindih aku terus mengayuh sepeda. Aku berbelok ke kanan di jalan raya menuju jalan yang menanjak. Roda sepeda gunungku berperan menjadi sekop dan bertolak ke salju tipis di atas aspal, mempercepat laju sepedaku.
Tidak lama kemudian, bayangan sebuah bangunan besar muncul di depanku. Sebagian besar lampunya sudah padam, tapi cahaya biru berkelebat dari helipad di atap yang seperti will-o-the-wips[29] mencoba untuk menarik korbannya ke kastil kegelapan.
Sebuah pagar besi tinggi muncul setelah aku mendaki jalan berbukit. Aku mengayuh sepanjang pagar itu selama puluhan detik selanjutnya. Aku akhirnya mencapai gerbang depan, dilindungi oleh tonggak gerbang yang tinggi.
Karena tempat ini merupakan fasilitas medis yang sangat terspesialisasi, tempat ini tidak menerima kasus gawat darurat. Gerbangnya sudah tertutup rapat dan di pos penjaganya sudah tidak ada orang. Aku mengayuh melewati pintu masuk tempat parker utama dan masuk ke pintu masuk khusus staff yang kecil.
Aku memarkirkan sepedaku diujung lapangan parkir. Terlalu mengesalkan untuk menguncinya dulu jadi aku langsung lari saja. Dalam cahaya orange yang dipendarkan oleh lampu sorot natrium aku bisa melihat bahwa lapangan parkir benar-benar kosong. Keheningannya hanya dipecahkan oleh salju yang turun dari langit, mewarnai dunia menjadi putih. Aku terus berlari sambil mengeluarkan kepulan uap dengan napasku yang kasar.
Separuh jalan di lapangan parkir yang luas, saat aku akan melewati antara sebuah mobil van tinggi yang berwarna gelap dan sebuah sedan putih, pada saat itu.
Aku hampir bertabrakan dengan sosok seseorang berlari dari belakang mobil van.
“Ah…”
‘Maaf,’ adalah apa yang hendak aku katakan sambil mencoba menghindar, sesuatu melintasi penglihatanku –
Flash – sebuah kilatan logam yang jelas mengiris ke arahku.
“—!?”
Segera setelahnya, panas merekah dari lengan kananku, tepat di bawah siku. Pada saat yang sama, banyak warna putih beterbangan. Itu bukan serpihan salju. Warna putih itu adalah bulu-bulu halus warna putih. Insulasi jaket musim dinginku.
Aku mundur dengan oleng, entah bagaimana menabrak bagian belakang sedan putih dan berhasil berhenti.
Aku tidak dapat memahami situasi saat ini. Sambil masih terkejut, aku melihat ke arah bayangan hitam yang berjarak sekitar dua meter dariku. Bayangan itu adalah seorang lelaki. Dia memakai setelan yang hampir hitam. Dia memegang sesuatu yang panjang, tipis, dan putih dalam tangan kanannya. Benda itu bersinar redup di bawah cahaya lampu sorot.
Sebuah pisau. Pisau survival yang besar. Tapi, kenapa.
Wajahku membeku saat aku merasakan tatapan lelaki yang berada dibalik bayangan van itu. dia menggerakkan bibirnya, tetapi yang keluar adalah bisikan yang parau.
“Kau terlambat, Kirito-kun. Apa jadinya kalau aku sampai masuk angin?”
Suara itu. suara yang bernada tinggi dan lengket.
“Su… Sugou…”
Aku terkesiap, pada saat aku menyebut namanya, lelaki itu mengambil satu langkah ke depan. Lampu-lampu natrium menerangi wajahnya.
Dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu, rambutnya yang disisir rapi sudah jadi berantakan dan ada janggut yang berusia beberapa hari menutupi rahangnya yang tajam. Dasinya hampir lepas dan menggantung kendur di lehernya.
Dan juga – mata-mata yang aneh mengintaiku dari balik kacamata berbinkai logam. Alasannya langsung terlihat. Meskipun matanya terbuka selebar mungkin, mata kirinya sudah berdilatasi menyesuaikan diri dengan kegelapan malam hari sementara mata kanannya kecil dan berkontraksi. Di World Tree itu adalah bagian yang ditusuk oleh pedangku.
“Kau melakukan hal yang kejam, Kirito-kun.”
Kata Sugou dengan suara yang serak.
“Rasa sakitnya belum hilang. Yah, ada berbagai macam obat yang bagus, jadi tidak masalah.”
Tangan kananny merogoh ke dalam saku setelannya, mengambil beberapa kapsul dan melemparnya ke dalam mulutnya. Dengan suara ‘kacha kacha’ dia mulai mengunyah dan Sugou mengambil satu langkah lagi mendekatiku. Akhirnya berhasil keluar dari kekagetanku, aku mampu menggerakkan bibirku yang kering.
“- Sugou, kau sudah tamat. Kau sudah terlalu jauh untuk menutupi kejahatanmu. Terima saja hukumanmu dengan patuh.”
“Tamat? Apa? Tidak ada yang berakhir. Yah, Recto sedang tidak stabil sekarang. Aku akan pergi ke Amerika. Ada banyak perusahaan yang menginginkan keahlianku. Aku sudah mengumpulkan banyak data. Jika aku menggunakannya untuk menuntaskan studiku, aku akan menjadi raja sebenarnya – Tuhan yang sebenarnya – Tuhan dunia nyata ini.”
- Dia tidak waras. Bukan, mungkin dia sudah rusak dalam waktu yang lama.
“Sebelum itu, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan. Pertama, aku akan membunuhmu, Kirito-kun.”
Setelah dia selesai bicara dengan suara yang tertahan dengan ekspresi yang tidak berubah, Sugou dengan cepat mendekatiku, pisau di tangan kanannya dengan santai bergerak ke arah mataku.
“…!!”
Aku bertolak dari aspal dengan kaki kananku, mencoba menghindarinya. Akan tetapi, karena salju di bawah sepatuku, aku terpeleset dan kehilangan keseimbangan, jatuh di lapangan parkir. Aku terjatuh dengan sisi kiriku menghantam tanah, memaksa udara keluar dari tubuhku.
Sugou melihat padaku dengan pupil yang sepertinya tidak bisa fokus.
“Hei, berdiri.”
Setelah itu, dia menendangku di paha dengan ujung sepatu mahalnya. Dua kali. Tiga kali. Rasa sakit yang panas menjalari tulang belakangku, bergema di belakang kepalaku. Rasa sakitnya juga bergema ke lengan kananku menciptakan nyeri yang tajam. Aku akhirnya menyadari ternyata ada luka sobekan tidak hanya pada jaketku tetapi juga pada lenganku.
Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa bersuara. Pisau survival yang sedang dipegang Sugou – bilah pisau yang panjangnya lebih dari 20 cm, tekanan berat dari alat pembunuh itu, membuatku membeku.
Membunuh – Aku – dengan pisau itu?
Pikiranku yang terpecah mengalir dan hilang. Bilah pisau itu, menusuk tubuhku tanpa suara, dengan mematikan – sebagai kata-kata menjelma mengambil nyawaku dengan luka yang fatal, aku membayangkan saat yang sekejap itu lagi dan lagi. Selain hal itu, tak ada yang bisa kulakukan.
Nyeri di tangan kananku menjadi rasa panas yang tumpul. Beberapa tetes cairan gelap menetes dari celah antara kerah tangan jaketku dan sarung tanganku. Aku mulai membayangkan darah mengalir dari tubuhku tanpa henti. Gambaran «kematian» yang jelas dan nyata yang bukan nilai numeric dalam bentuk HP bar.
“Hoi, berdiri. Cepat berdiri.”
Sugou seperti mesin menendang dan menginjak kaki ku terus menerus.
“Kau, apa yang kau bilang padaku disana. Jangan kabur? Jangan ragu? Ayo selesaikan ini? Kau mengatakannya dengan sombong.”
Aku mendengarnya berbisik, suara Sugou dipenuhioleh kegilaan yang sama dengan suara yang kudengar dalam kegelapan di seberang sana.
“Kau ‘ngerti sekarang? Seorang bocah sepertimu yang tidak punya kemampuan selain main game, dan tidak punya kekuatan yang sesungguhnya sama sekali. Itulah yang disebut sampah rendahan. Walau begitu, kau menggagalkan aku, aku yang hebat ini… sudah sewajarnya, hukuman untuk dosamu adalah kematian. Tidak ada yang lebih cocok selain kematian.”
Setelah bicara dalam nada yang tidak berubah, Sugou menjejakkan kaki kirinya di atas perutku, dan merubah pusat gravitasinya. Dari tekanan fisik dan tekanan mental yang diberikannya saat dia mengeluarkan kegilaannya, aku tak bisa bernapas.
Aku menatap wajah Sugou selam dia mendekat, mengambil napas yang dangkal dan tidak teratur. Sambil membungkuk, Sugou memegang pisau itu dalam tangan kanannya dan mengangkatnya tinggi di atas kepalanya.
Tanpa berkedip, dia mengayunkannya ke bawah.
“—gh”
Suara yang kakku keluar dari balik tenggorokanku – Bersamaan dengan suara logam yang redup, ujung pisaunya menggores pipiku dan menghujam ke aspal pada waktu yang sama.
“Ah… mata kananku agak buram, bidikanku jadi melenceng.”
Sugou bergumam sambil mengangkat pisau kembali tinggi-tinggi.
Tepian pisaunya berkilatan dalam cahaya lampu natrium, dan menggambar garis berwarna jingga dalam kegelapan.
Mungkin karena ia menusuk aspal, ujung pisaunya sedikit pecah. Rusaknya itu memberikan kesan lebih nyata pada pisaunya sebagai sebuah senjata. Daripada sebuah senjata yang terbuat dari polygon, ia terbuat dari molekul logam yang dipadatkan, berat dan dingin, dan bilah pedang yang benar mematikan.
Semuanya terlihat melambat. Salju yang turun dari langit. Uap yang keluar dari mulut Sugou. Pisau yang turun ke arahku. Kerlipan cahaya berwarna jingga yang terpantul pada gerigi yang diukir pada pisau.
Itu mengingatkanku, dulu pernah ada senjata bergerigi seperti itu…
Sebuah potongan memori yang tidak berarti mengalir ke permukaan dari pikiranku yang sudah berhenti.
Apakah itu? Senjta itu sejenis item pisau belati yang dijual di level pertengahan di Aincrad. Seingatku, senjata itu disebut «Sword Breaker». Kalau kalian menangkis senjata lawan dengan bagian yang seperti gergaji, ada sedikit bonus untuk meningkatkan kesempatan untuk merusak senjata mereka. karena sepertinya menarik, aku menaruh skill tersebut dalam skill slot dan menggunakannya untuk beberapa waktu, tapi tidak puas dengannya karena kemampuan ofensifnya yang rendah.
Senjata yang dipegang Sugou saat ini lebih kecil dari itu. ia bahkan tidak bisa disebut belati. Tidak – benda seperti itu bahkan tidak bisa disebut sebagai senjata. Benda itu adalah alat untuk pekerjaan sehari-hari. Bukan sesuatu yang seorang pendekar pedang akan gunakan untuk bertarung.
Di dalam telingaku, aku mendengar kata-kata Sugou dari beberapa detik yang lalu.
Kekuatan yang sebenarnya, tidak punya apapun yang seperti itu -.
Ya… benar. Bahkan tidak perlu dikatakan. Tapi memangnya kau siapa, mengatakan kau akan membunuhku, Sugou? Seorang ahli pengguna pisau? Ahli ilmu bela diri?
Aku melihat ke balik kacamata Sugou, matanya yang kecil seperti diwarnai warna darah. Kegirangan. Kegilaan. Tapi mata-mata itu juga mengandung sesuatu yang lain. Itu adalah mata seseorang yang mencoba untuk melarikan diri. Itu adalah mata seseorang yang jatuh ke dalam keputus-asaan dalam situasi mematikan, dikepung oleh gerombolan monster dalam penjara bawah tanah, mata orang yang mengayunkan pedangnya mati-matian, mencoba untuk menahan kenyataan.
Orang ini sama dengan aku yang dulu. Terus menerus mengejar kekuatan, tapi tidak bisa mendapatkannya, hanya maju dengan langkah yang jelek.
“…Mati, kau bocah sialan!!!!”
Teriakan Sugou menarik kesadaranku kembali dari dunia yang bergerak lambat.
Aku mengangkat tangan kiriku seperti magnet dan menangkap pergelangan tangan kanan Sugou saat dia mengayunkan pisaunya. Pada waktu yang sama, aku mengulurkan tangan kananku dan mendorongkan ibu jariku ke bagian cekung tenggorokannya di sebelah dasi yang longgar.
“Guu!!”
Dengan suara seperti dengkuran, Sugou melengkung ke belakang. Aku memutar tubuhku, memegang tangan kanan Sugou dengan kedua tanganku, dan membantingkan tangannya ke aspal yang membeku dengan segenap tenaga. Tangannya mengendur bersama teriakan, dan pisaunya menggelinding ke jalan.
Berteriak dengan suara yang melemgking seperti peluit, Sugou melompat menuju arah pisau terjatuh. Aku melenturkan kaki kananku, kubiarkan kakiku terbang, sol sepatuku menghantam rahangnya. Aku mengambil pisaunya dan menggunakan gaya tolaknya untuk berdiri.
“Sugou…”
Dari tenggorokanku keluar suara yang parau sekali membuatku hampir tidak percaya bahwa itu adalah suaraku sendiri.
Melalui sarung tangan di tangan kananku, aku merasakan hawa kehadiran pisau yang keras dan dingin itu. benda itu merupakan senjata yang buruk. Terlalu ringan, jangkauannya pun sangat kecil.
“Tapi cukup untuk membunuhmu.”
Setelah berbisik seperti itu, aku berpaling pada Sugou yang menengadah melihatku dengan wajah kosong sambil duduk di atas jalanan di lapangan parkir yang dilapisi aspal, lalu dengan garang melompat ke arahnya.
Aku renggut rambut dan kepalanya dengan tangan kiriku dan menabrakkannya ke pintu mobil van. Dengan suara yang tumpul, bodi mobil yang terbuat dari alumunium itu penyok, dan kacamatanya terlepas.
Mulut Sugou ternganga lebar. Mengincar tenggorokannya, aku menggerakkan tangan kananku yang memegang pisau tanpa ragu -.
“Guu… Uuu…!”
Aku menghentikan tanganku disitu, menggeretakkan gigi.
“Iii! Hiii! Iiiii!”
Sugou membuat suara yang sama dengan suara yang dikeluarkannya di dunia itu sepuluh menit yang lalu, dengan teriakan bernada tinggi itu.
Sudah sewajarnya orang ini mati. Sudah sewajarnya dia dihukum. Semuanya akan selesai jika aku meneruskan tangan kananku. Ini adalah penyelesaiannya. Pemenang dan yang kalah akan dengan jelas ditentukan.
Akan tetapi -.
Aku sudah bukan pendekar pedang. Dunia itu yang segalanya ditentukan oleh kemampuan pedang seseorang sudah ditinggalkan di masa lalu.
“Hiiiii….”
Mendadak, mata Sugou berputar ke atas, memperlihatkan bagian putihnya. Teriakannya putus, dan tubuhnya kehilangan tenaga seperti mesin yang diputuskan dari listrik.
Tangan kiriku juga kehilangan tenaga. Tergelincir dari tanganku, pisau itu menggelinding ke atas perut Sugou.
Aku juga mengundurkan tangan kiriku dan berdiri.
Aku berpikir kalau aku harus melihat lelaki itu bahkan satu detik lebih lama, impuls untuk membunuh akan mendidih, dan aku tidak akan dapat menahannya lagi.
Aku menarik dasinya dan membalikkannya berbaring pada perutnya, dan mengikat kedua tangannya di balik punggungnya. Aku taruh pisauya di atas mobil van. Aku memutar tubuhku, dan kembali melanjutkan berjalan. Aku terhuyung-huyung, selangkah demi selangkah, menyeret kakiku sambil mulai berlari menyeberangi lapangan parkir.
Aku butuh lima menit untuk menaiki tangga lebar di depan pintu masuk. Aku berhenti dan mengambil napas dalam. Aku menunduk melihat badanku, yang akhirnya berhasil aku kendalikan.
Aku dalam keadaan yang buruk, kotor oleh salju dan pasir. Luka di pipi kiri dan lengan kananku sepertinya sudah berhenti berdarah, meski masih terasa sakit.
Aku berdiri di depan pintu otomatis. Namun, tidak ada tanda-tanda ppintu tersebut akan membuka. Aku melihat menembus kaca, lobby utamanya berpenerangan redup, tetapi penerangan biasa dinyalakan di balik meja resepsionis. Aku melihat dari sisi ke sisi. Aku menemukan sebuah pintu ayun kecil di ujung kiri, dan untungnya, pintu itu terbuka saat aku mendorongnya.
Kesunyian mengisi gedung itu. aku menyeberangi barisan bangku yang teratur yang membaris di lobby yang luas.
Tidak ada orang di meja depan, tapi di dalam nursing station yang berdekatan, aku mendengar percakapan yang menyenangkan. Berdoa agar bendengar suara yang ramah, aku membuka mulutku.
“Um… Permisi!”
Beberapa detik setelah suaraku bergema, sebuah pintu terbuka dan dua orang perawat dengan seragam berwarna hijau muda keluar. Keduanya memperlihatkan ekspresi curiga yang berubah menjadi syok ketika mereka melihatku baik-baik.
“- Apa yang terjadi padamu!?”
Perawat muda yang tinggi dengan rambutnya ditumpuk di atas kepalanya berseru. Ternyata, perdarahan di wajahku sepertinya lebih banyak dari yang aku kira. Aku menunjuk ke arah pintu masuk dan berkata:
“Aku diserang oleh seorang lelaki dengan pisau di lapangan parkir. Aku meninggalkannya pingsan di balik sebuah sedan putih.”
Ketegangan menjalari wajah kedua wanita itu. perawat yang lebih tua menjalankan sebuah mesin di belakang counter, memegang mikrofon kecil dekat wajahnya.
“Security, tolong datang ke nurse station lantai 1, segera.”
Sepertinya ada petugas keamanan yang berpatroli di dekat sini, dan seorang lelaki dengan seragam warna biru segera muncul dengan suara langkahnya berlari. Ekspresi pria itu jadi serius setelah mendengar penjelasan perawat. Penjaga itu pergi ke pintu masuk sambil berbicara pada walkie-talkie. Perawat yang muda mengikutinya.
Setelah melihat luka di pipiku selama sekitar semenit, perawat yang tinggal berkata:
“Kamu, keluarganya Yuuki-san yang di lantai duabelas ‘kan? Apa lukamu hanya ini saja?”
Sepertinya ada sedikit kesalahpahaman, tapi aku mengangguk tanpa keinginan untuk mengoreksinya.
“Begitu. Saya akan panggilkan dokter, tunggula disini.”
Dia berlari dengan suara ‘pitter patter’ segera setelah berkata demikian.
Aku mengambil napas dalam-dalam dan melihat ke sekeliling. Memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sekitarku, aku menyandar ke counter dan mengambil salah satu kartu pass untuk tamu dari dalamnya. Aku berputar kea rah yang berlawanan dengan arah perawat itu pergi, ke bagian rawat inap yang telah kulewati berkali-kali sebelumnya, dan memaksa kakiku untuk berlari.
Elevator nya berhenti di lantai 1. Saat aku menekan tombolnya, pintunya terbuka dengan bunyi lonceng yang pelan. Aku bersandar pada dinding dalamnya dan menekan tombol untuk ke lantai paling atas. Meskipun percepatannya lambat untuk elevator sebuah rumah sakit, lututku seperti hampir patah karena tambahan sedikit beban. Aku mati-matian mempertahankan tubuhku berdiri.
Setelah apa yang kurasakan sebagai beberapa detik yang panjang, elevatornya berhenti dan pintunya terbuka. Aku jatuh keluar elevator ke koridor didepannya.
Ruangan Asuna hanya beberapa puluh meter jauhnya, tapi jaraknya seperti tak berujung. Aku menyangga tubuhku, yang seperti akan jatuh, ke dinding dan bergerak maju. Setelah berbelok ke kiri pada koridor berbentuk huruf L, di depanku, aku melihat sebuah pintu putih.
Langkah demi langkah, aku berjalan.
Sama seperti waktu itu -.
Ketika aku kemabli ke dunia nyata dari akhir dunia virtual yang dikelilingi langit matahari terbenam, aku bangun di sebuah rumah sakit lain, berjuang untuk berjalan dengan kaki yang layu. Dalam pencarianku pada Asuna, tak ada yang bisa kulakukan selain berjalan. Koridor waktu itu, seperti tersambung ke tempat ini.
Aku akhirnya bisa bertemu dengannya. Waktunya sudah tiba.
Saat jarak yang tersisa semakin mengecil, bermacam perasaan tumbuh dengan cepat dalam hatiku. Pernapasanku menjadi cepat. Ujung penglihatanku berwarna putih. Meskipun begitu, aku tidak mengalah untuk jatuh disini. Aku berjalan. Dengan sepenuh hati, menaruh kakiku di depanku.
Tidak menyadari ada dimana aku sampai aku sampai di depan sebuah pintu, aku berhenti tepat sebelum menabraknya.
Dibaliknya, adalah Asuna—. Itu adalah satu-satunya yang aku pikirkan sampai titik itu.
Mengangkat tangan kananku yang gemetar, kartunya tergelincir dari tanganku karena keringat. Aku mengambil kartunya kembali dan memasukkannya ke celah di pelat besi di pintu kali ini. Menahan napas, dengan cepat aku menggesekkannya.
Warna lampu indikatornya berubah, dan pintunya terbuka dengan suara motor yang halus.
Dengan lembut, wangi bunga mengalir dari dalam.
Penerangan ruangannya telah digelapkan. Cahaya putih yang redup masuk melalui jendela, dipantulkan oleh salju di luar.
Bagian tengah ruangan ditutupi oleh tirai yang besar. Ada tempat tidur gel dibaliknya.
Aku tidak bisa bergerak. Tidak bisa melanjutkan. Aku tidak bisa bersuara.
Tiba-tiba, suara yang tidak terduga terdengar dalam telingaku.
‘Hei – dia menunggumu.’
Aku merasa seperti ada tangan lembut yang mendorong pundakku.
Yui? Suguha? Di tiga dunia, itu adalah suara orang yang menolongku. Aku mengambil selangkah maju dengan kaki kananku. Lalu selangkah lagi, dan selangkah lagi.
Aku berdiri di depan tirai, mengulurkan tanganku, dan mengambil tepinya.
Dan menariknya.
Dengan suara yang halus, seperti angin yangmelintas di atas padang rumput yang luas, selubung putih itu bergoyang dan menyingkir.
“…Ah.”
Suara yang kecil keluar dari tenggorokanku.
Seorang gadis dalam baju pemeriksaan medis yang tipis yang mirip gaun putih salju, duduk di tempat tidur membelakangiku, melihat keluar jendela yang gelap di sisi seberang. Rambut panjangnya yang berkilauan melayang-layang dalam cahaya salju yang menari. Kedua tangannya beristirahat didepannya, memegang benda berkilau berwarna biru yang berbentuk seperti telur.
NERvGear. Mahkota duri yang mengikat gadis itu telah menyelesaikan tugasnya dan tidak bersuara.
“Asuna.”
Aku berbisik dalam suara yang hampir tidak berbunyi. Tubuh gadis itu berguncang hebat – menggerakkan udara yang dipenuhi aroma bunga, dan berputar.
Masih mencoba bangun dari tidur yang panjang, mata berwarna hazelnya dipenuhi kilauan saat dia menatap lurus padaku.
Berapa kali aku memimpikan hal ini terjadi? Berapa banyak aku berdoa agar hal ini terjadi?
Dari bibirnya yang berwarna lembut dan basah, muncul senyuman yang lembut.
“Kirito-kun.”
Ini adalah pertama kalinya aku mendengarnya, suara itu. suaranya sangat berbeda dengan yang kudengar setiap hari di dunia itu. meskipun begitu, menggetarkan udara, menggetarkan pendengaranku, suara itu yang mencapai kesadaranku, berkali-kali, ribuan bahkan jutaan kali lebih indah.
Asuna memindahkan tangan kirinya dari NERvGear dan mengulurkannya ke arahku. Itu saja membutuhkan tenaga yang membuatnya gemetar.
Seperti menyentuh patung salju, aku dengan lembut, lembut sekali mengambil tangan itu. tangannya begitu kecil dan kurus membuat hatiku sakit. Namun, tangannya hangat. Seakan mencoba untuk menyembuhkan setiap luka, kehangatannya mengalir dari sentuhan itu. tenaga tanap diduga meninggalkan kakiku, dan aku menjatuhkan diriku ke sisi tempat tidur.
Asuna mengulurkan tangan kanannya, dengan lembut menyentuh pipiku yang terluka, dia memiringkan kepalanya bertanya-tanya.
“Ah… pertarungan terakhir, yang paling akhir baru saja berakhir. Selesai…”
Sambil berkata demikian, dari kedua mataku, akhirnya mengalir air mata. Tetesannya membasahi pipku, mengalir ke jari-jari Asuna, dan bercahaya dalam cahaya yang berasal dari jendela.
“…Maaf, aku belum bisa mendengar dengan baik. Tapi… aku mengerti, kata-kata Kirito-kun.”
Asuna mengusap pipiku dengan penuh perhatian dan berbisik. Jiwaku bergetar saat aku mendengar suara itu.
“Selesai sudah… akhirnya… akhirnya… Aku bisa bertemu denganmu.”
Air mata yang bersinar perak mengalir menuruni pipi Asuna. Matanya yang basah, menatap mataku seakan sedang menyampaikan perasaannya, dia berkata:
“Senang bertemu denganmu, Aku Yuuki Asuna. — Aku pulang, Kirito-kun.”
Aku menjawab, menghentikan tangisan yang keluar dari tenggorokanku.
“Aku Kirigaya Kazuto… Selamat datang, Asuna.”
Wajah kami saling mendekat dan bibir kami saling menyentuh. Dengan lembut. Lalu lagi. Dengan kuat.
Aku melingkarkan lenganku mengelilingi tubuhnya yang lemah dan memeluknya.
Jiwanya pergi berkelana. Dari satu dunia ke dunia lain. Dari kehidupan yang ini ke kehidupan selanjutnya.
Dan, kerinduan pada seseorang. Dengan kuat saling memanggil.
Dahulu kala, dalam sebuah kastil besar yang melayang di udara, seorang pemuda yang bermimpi menjadi pendekar pedang, bertemu seorang gadis yang pandai memasak, dan jatuh cinta. Walau mereka sudah tidak ada, hati mereka setelah perjalanan yang tak berujung, akhirnya bertemu kembali.
Saat aku mengusap-usap punggung Asuna sementara dia menangis, aku melihat ke jendela dengan mata yang penuh air mata. Dalam salju yang semakin lebat, aku merasa aku melihat dua bayangan bersebelahan.
Satu, dengan dua pedang di belakang punggungnya dan berpakaian dibalut mantel hitam panjang.
Yang lain, seorang gadis berpakaian dengan seragam ksatria merah dan putih, dengan pedang rapier menggantung di pinggangnya.
Mereka tersenyum, berpegangan tangan sambil berbalik dan perlahan bergerak menjauh.
0 komentar:
Posting Komentar