Kirito menunjuk ke sini dan ke sana seraya menjelaskan geografi lantai empat puluh tujuh tanpa berhenti. Silica merasa hangat hanya dengan mendengarkan suara yang kalem itu.
"Dan setelah kamu melewati jembatan ini kamu bisa melihat bu..."
Tiba-tiba Kirito berhenti bicara.
"...?"
"Shh..."
Saat dia mengangkat kepalanya, dia melihat expresi Kirito was hard dan dia sedang menaruh sebuah jari di bibirnya. Dia membelalak ke arah pintu dengan tatapan tajam.
Kirito langsung beraksi. Dia melompat dari kasur dengan kecepatan cahaya dan membuka pintunya.
"Siapa disitu...!?"
Silica dapat mendengar suara langkah orang lari. Dia berlari menyusul dan melihat keluar dari bawah badan Kirito, dimana dia melihat bayangan seseorang sedang berlari menuruni tangga.
"I-itu tadi apa!!?"
"...Kupikir dia tadi menguping."
"Apa...? Tapi kita ga bisa mendengar apa-apa dari balik tembok kan?"
"Bisa kalau level mengupingnya cukup tinggi. Walaupun... tidak banyak... orang yang melatih skill ini..."
Kirito menutup pintunya dan berjalan kembali ke kamarnya. Dia duduk di kasur dengan ekspresi merenung di wajahnya. Silica duduk di sebelahnya and membelitkan kedua tangannya ke sekeliling badannya. Dia diliputi oleh rasa takut yang tidak bisa ia jelaskan.
"Kenapa orang itu menguping...?"
"Kita akan tahu sebentar lagi, mungkin. Aku punya pesan untuk dikirim, bisa kamu menunggu sebentar?"
Kirito tersenyum kecil sebelum dia menutup map kristal itu dan membuka sebuah layar. Dia mulai menggerakkan jari-jarinya di atas sebuah keyboard holografik.
Silica menggelut di kasur Kirito. Sebuah kenangan lama dari dunia nyata kembali padanya. Ayahnya adalah seorang reporter. Dia selalu berada di depan sebuah PC lama, mengetikkan sesuatu dengan ekspresi serius. Silica suka memperhatikan punggung ayahnya saat dia melakukan itu.
Silica tidak merasa takut lagi. Saat dia mengamati wajah Kirito dari belakang, rasanya seakan dia diliputi kehangatan yang telah dilupakannya begitu lama. Sebelum ia mengetahuinya, matanya sudah terpejam dengan sendirinya.
Silica terbangun mendengar bunyi bising yang berdering di telinganya. Itu adalah alarm pagi yang hanya bisa didengar olehnya. Waktu yang diaturnya adalah jam tujuh pagi.
Dia membuka selimutnya lalu duduk. Biasanya ia sulit untuk bangun pagi-pagi, namun hari ini dia bisa membuka matanya dengan perasaan baik. Kepalanya terasa segar, seakan semuanya telah tercuci bersih oleh tidurnya yang lelap.
Setelah meregangkan badannya, Silica baru saja akan turun dari tempat tidur ketika ia membeku.
Ada seseorang yang sedang tidur terlentang; cahaya matahari pagi yang melalui jendela menyinarinya. Persis saat Silica menarik nafas untuk berteriak, disangkanya orang itu seorang penyusup, dia ingat dimana ia jatuh tertidur tadi malam.
---Aku, di kamar Kirito onii-chan...
Segera setelah dia menyadari fakta tersebut, wajahnya memanas seperti telah terkena serangan nafas api. Karena di SAO emosi ditampilkan agak berlebihan, mungkin uap memang benar-benar keluar dari wajahnya saat ini. Tampaknya Kirito membiarkan Silica tidur di kasur sedangkan ia tidur di lantai. Silica mengerang sambil menutupi mukanya karena rasa malu dan sesal.
Setelah berhasil menenangkan dirinya selama beberapa lusin detik, Silica diam-diam turun dari tempat tidur dan berdiri. Kemudian dia berjalan ke arah Kirito dengan langkah kaki tak bersuara lalu menatap wajahnya.
Wajah tidur sang swordsman hitam itu terlihat begitu tidak berdosa hingga Silica tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. Silica kira dia beberapa tahun lebih tua darinya karena tatapannya yang tajam. Namun yang mengejutkan, ketika Silica melihatnya seperti sekarang ini, dia tidak tampak seberbeda itu dengannya.
Menyenangkan bagi Silica untuk mengamati wajah tidurnya; tapi ia tidak bisa begini terus, jadi dia dengan lembut menggoyangkan bahunya lalu berkata padanya.
"Kirito onii-chan, sudah pagi~."
Kirito membuka matanya lebar-lebar lalu berkedip beberapa kali begitu dia menatap wajah Silica dengan tatapan kosong selama beberapa saat. Kemudian ekspresinya berubah menjadi malu dengan cepat.
"Ah... Ma-maaf!"
Dia tiba-tiba menundukkan kepalanya.
"Aku ingin membangunkan onii-chan tapi onii-chan tidurnya nyenyak banget... dan aku ga bisa membuka pintu ke kamar onii-chan, jadi..."
Kamar yang disewa pemain diatur oleh sistem agar tidak bisa ditembus, jadi tidak mungkin kalian bisa masuk ke dalamnya kecuali kalian adalah teman pemain tersebut. Silica dengan cepat mengibaskan tangannya dan bilang:
"Enggak, enggak, aku yang harusnya minta maaf! Sudah mengambil tempat tidurnya onii-chan... "
"Enggak, gapapa kok. Kita ga akan nyeri otot bagaimanapun kita tidur ini."
Setelah berdiri, Kirito merenggangkan lehernya, yang membuat bunyi retak-retak, kontradiksi dengan kata-kata yang baru ia ucapkan. Dia kemudian mengangkat tangannya dan merenggangkannya. Dia memandang Silica seakan dia baru saja terpikir sesuatu sebelum membuka mulutnya:
"...Omong-omong, selamat pagi."
"Se-selamat pagi."
Keduanya melihat satu sama lain dan tersenyum.
Hari sudah terang ketika mereka melangkah keluar setelah menyantap makanan sebagai persiapan menjelajahi «Bukit Kenangan» di lantai empat puluh tujuh. Pemain-pemain yang bersiap memulai harinya dan para pemain yang baru kembali dari petualangan malam mereka mempunyai ekspresi yang kontras.
Setelah mengisi persediaan ramuan mereka di sebuah toko di sebelah penginapan mereka, keduanya berjalan menuju gerbang plasa. Untungnya, mereka berhasil mencapai gerbang teleport tanpa harus bertemu dengan orang-orang yang ingin merekrut Silica ke dalam kelompoknya seperti kemarin. Persis sebelum dia akan mulai berlari ke area teleport yang berwarna biru berkilauan, Silica berhenti.
"Ah... aku ga tahu nama desa di lantai empat puluh tujuh..."
Dia baru akan memeriksa petanya ketika Kirito menawarkan tangan kanannya.
"Tidak apa-apa. Aku akan mengatur tempatnya."
Silica merasa berterima kasih seraya dia menggenggam tangan Kirito.
"Teleport! Floria!"
Segera setelah Kirito berkata, sebuah cahaya membutakan meliputi mereka berdua.
Setelah cahaya tersebut pudar, diikuti terasanya sebuah perasaan transportasi, warna-warna yang tak terhitung banyaknya meledak di pengelihatan Silica.
"Uwa..."
Tanpa sadar dia bersorak.
Gerbang plasa lantai empat puluh tujuh dibanjiri oleh bunga-bunga. Dua jalan kecil memotong plasa itu dengan bentuk palang. Disamping itu, sisa tempat yang ada seluruhnya ditempati oleh petak-petak bunga, setiap petak bunga tersebut dikelilingi oleh bata-bata merah dan dipenuhi dengan bunga yang tidak diketahui Silica.
"Indahnya..."
"Lantai ini juga disebut «Taman Bunga», karena bukan hanya desanya tapi juga seluruh lantainya dilimpahi bunga-bunga. Kalau kita punya waktu, kita juga bisa pergi ke «Hutan Bunga Raksasa» di utara..."
"Aku ingin bisa datang ke sana lain waktu."
Silica tersenyum pada Kirito sebelum dia membungkuk di depan sebuah petak bunga. Dia mendekatkan wajahnya ke sebuah bunga kebiru-biruan yang serupa dengan cornflower lalu menghirup aromanya.
Bunga tersebut dibuat dengan detil yang mengejutkan: mulai dari vena-vena bunganya, kelima kelopaknya, benang sarinya yang putih, sampai tangkainya yang hijau.
Tentu saja tidak semua benda di Aincrad, termasuk taman bunga ini, dan seluruh tanaman serta bangunan lain, digambarkan sedetil tadi setiap saat. Kalau mereka membuatnya seperti itu, maka mainframe SAO sekalipun, setinggi apapun performanya, akan kekurangan sumber daya untuk sistemnya.
Untuk menghindari hal tersebut sembari tetap memberikan para pemain lingkungan yang sedetil dan semirip mungkin dengan kenyataan, SAO menggunakan «Sistem Pemfokusan Digital». Sistem itu merupakan sistem yang menampilkan detil yang lebih halus dari sebuah objek hanya saat seorang pemain menunjukkan ketertarikannya dan fokus dengan objek itu.
Setelah Silica mendengar tentang sistem ini, dia menjadi takut kalau ketertarikannya pada suatu benda akan membebani sistem SAO; tetapi dia tidak bisa menahan dirinya sendiri saat ini dan tetap memandangi bunga yang bermacam-macam itu.
Ketika dia akhirnya berhasil menghentikan dirinya berjalan tanpa sadar sambil menikmati aroma harum di sekitarnya, Silica memandang sekelilingnya.
Kebanyakan orang yang berada disini adalah pasangan pria dan wanita. Semuanya saling bercakap-cakap dengan senang, entah sambil berpegangan tangan atau sambil bergandengan lengan. Sepertinya tempat ini sudah menjadi tempat-tempat semacam itu. Silica memandang Kirito, yang sedang melamun disampingnya.
---Apa kita juga kelihatan seperti itu...?
Setelah memikirkan hal ini, Silica berkata dengan keras untuk menutupi fakta kalau mukanya memerah:
"Ayo-ayo kita cepat pergi ke luar!"
"Hah? Ah, iya."
Kirito terpaku berkedap-kedip untuk beberapa detik sebelum dia mengangguk dan mulai berjalan disamping Silica.
Mereka meninggalkan gerbang plasa hanya untuk menemukan bahwa jalan utama desa tersebut pun diselimuti oleh bunga-bunga. Seraya mereka berdua berjalan beriringan, Silica ingat saat dia pertama kali bertemu Kirito. Dia tak percaya baru satu hari terlewati sejak saat itu. Swordsman itu sudah menjadi sosok yang penting di hatinya.
Silica melirik ke arahnya dan bertanya-tanya bagaimana perasaannya, namun Kirito masih diliputi perasaan misterius dan sulit untuk menebak apa yang ada di pikirannya. Silica ragu-ragu untuk beberapa saat sebelum dia mempersiapkan diri dan membuka mulutnya:
"Ermm... Kirito onii-chan. Boleh aku bertanya tentang adik perempuanmu..."
"Ke-kenapa tiba-tiba?"
"Kirito onii-chan bilang aku mengingatkanmu pada dia. Jadi, aku penasaran saja..."
Membicarakan dunia nyata adalah salah satu hal yang paling tabu di Aincrad. Ada banyak alasan, tapi yang terbesar adalah jika gagasan bahwa 'dunia ini virtual dan karenanya adalah dunia palsu' mengakar di dalam pikiran para pemain, maka mereka tidak akan bisa terima kalau «kematian» di SAO sebagai kenyataan.
Tapi Silica ingin bertanya tentang adik perempuan Kirito, yang kata Kirito mirip dengannya. Dia ingin tahu apakah Kirito menginginkan sesuatu darinya sebagai seorang adik perempuan.
"...Kita...ga sedekat itu kok..."
Kirito mulai bicara.
"Aku pernah bilang dia itu adik perempuanku, tapi sebenarnya dia itu sepupuku. Karena suatu keadaan, dia tumbuh besar bersama dengan keluargaku sejak lahir. Dia ga tahu ini sih. Yah, mungkin karena ini... tapi aku terus menjaga jarak darinya tanpa maksud yang jelas. Aku bahkan menghindari untuk bertemu dengannya di rumah."
Kirito mendesah kecil.
"...Ditambah lagi, kita punya kakek yang keras. Dia memaksaku ikut dojo kendo waktu aku berumur delapan tahun, tapi aku tidak bisa benar-benar berminat melakukannya lalu berhenti setelah dua tahun. Kakekku memukulku lumayan keras... tapi saat dia melakukan itu, adikku mulai menangis dan melindungiku dengan bilang kalau dia bahkan akan melakukan bagianku supaya kakekku berhenti. Setelah itu, aku mulai main komputer dan tenggelam di dalamnya, tapi adikku benar-benar mengabdikan dirinya buat kendo dan bahkan berhasil sampai cukup jauh di kejuaraan nasional sebelum kakekku meninggal. Itu sudah cukup untuk menyenangkan bahkan dia sekalipun... Tapi aku selalu merasa bersalah; aku selalu ingin tahu kalau adikku benar-benar ingin melakukannya dan apa dia benci padaku. Karena itulah aku terus menghindarinya... dan akhirnya kita jadi seperti ini."
Kirito berhenti bicara dan melirik wajah Silica.
"Jadi mungkin aku menyelamatkanmu untuk memuaskan diriku sendiri, untuk menebus masa laluku... Maaf."
Silica masih anak-anak jadi dia tidak bisa mengerti benar semua perkataan Kirito. Namun karena beberapa alasan, dia merasa seakan dia dapat mengerti adik perempuan Kirito itu.
"...Adiknya Onii-chan... dia ga benci Onii-chan. Kalau dia tidak menyukainya, maka dia ga mungkin bisa sebaik itu. Kemungkinan besar dia sangat suka kendo."
Selagi Silica berucap, memilih kata-katanya dengan hati-hati, Kirito tersenyum.
"Kayaknya aku terus yang dihibur... Apa benar seperti itu? ...Baguslah kalau benar seperti itu."
Silica merasa sesuatu yang hangat menjalar di hatinya. Dia senang Kirito telah terbuka padanya.
Keduanya segera tiba di gerbang masuk utara desa itu. Bunga putih yang tak terhitung tumbuh dari tumbuhan merambat yang melilit busur logam langsing berwarna perak. Jalan utama desa melewatinya dan terus merentang hingga menjadi jalan besar yang dikelilingi bukit-bukit hijau sebelum menghilang dalam kabut.
"Yah... petualangan kita akhirnya dimulai."
"Iya."
Silica menjauh dari lengan Kirito, memantapkan ekspresinya, lalu mengangguk.
"Dengan level dan equipment kamu, monster-monster di sekitar sini harusnya tidak terlalu susah untuk dikalahkan. Tapi…”
Seraya berkata, Kirito mengobrak-abrik kantong yang bergantung di ikat pinggangnya, mengeluarkan sebuah kristal berwarna biru langit, dan kemudian meletakkannya di tangan Silica. Benda itu adalah Kristal Teleport.
"Kita ga tahu apa yang akan terjadi di lapangan nanti. Jadi camkan ini dalam pikiranmu. Kalau terjadi sesuatu yang diluar perkiraan dan aku menyuruhmu untuk kabur, maka gunakan kristal itu untuk pergi. Desa manapun ga masalah. Kamu ga usah mengkhawatirkanku."
"Ta-tapi..."
"Janjilah padaku. Aku... pernah menghancurkan satu kelompok. Aku ga mau mengulangi kesalahan yang sama lagi."
Ekspresi Kirito begitu serius hingga Silica tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengangguk. Setelah Kirito menerima jawabannya dia tersenyum lega.
"Kalau begitu, ayo berangkat!"
"Oke!"
Silica memastikan pisaunya sudah melengkapi sisinya lalu memantapkan keyakinan dalam pikirannya; setidaknya dia tidak akan kebingungan seperti kemarin dan dia akan bertarung sebaik-baiknya.
Tetapi---
"Kya-aaaaaa!? Itu apa--!? Itu, itu kelihatan mengerikan-----!!"
Mereka bertemu monster pertama hanya dalam beberapa menit setelah mereka mulai berjalan ke arah utara di medan perburuan lantai empat puluh tujuh.
"U-uwaa!! Pergi sana----!"
Makhluk yang muncul dan berjalan menembus semak-semak memiliki bentuk yang tak pernah terbayangkan oleh Silica. «Sebuah bunga berjalan» mungkin deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkannya. Dengan batang hijau tua yang setebal lengan manusia dan berdiri dengan akar-akarnya yang terbagi di beberapa tempat. Batang atau badannya menopang sebuah bunga kuning besar yang serupa dengan bunga matahari. Mulutnya terbuka, gigi-giginya menyembur keluar, mengungkapkan kilasan-kilasan merah dari dalamnya.
Tanaman itu memiliki dua cabang yang menjalar dari bagian tengah batangnya, yang mengingatkan orang pada lengan yang dimiliki binatang. Tampaknya, tanaman itu menggunakan lengan-lengan tersebut beserta mulutnya untuk menyerang. Tanaman pemakan orang itu berlari menuju Silica dengan tersenyum sambil mengayunkan lengan-lengannya yang mirip tentakel. Makhluk yang terlihat seperti karikatur yang sangat aneh ini membuat Silica merasa jijik.
"Kubilang pergi---!"
Silica mengayunkan pisaunya dengan liar dengan matanya hampir tertutup. Kirito, yang berdiri di sebelahnya, berkata dengan suara bingung:
"Te-tenang saja. Monster itu sangat lemah. Kalau kamu mengincar bagian putih tepat di bawah bunganya, maka kamu dengan mudah bisa..."
"Ta-tapi itu kelihatan mengerikan--!"
"Kalau makhluk itu saja terlihat mengerikan maka perjalanan ini akan susah. Ada juga monster yang punya banyak bunga, ada yang terlihat seperti tumbuhan karnivora, dan bahkan ada yang punya banyak tentakel lengket...
"Kya----!!"
Sambil berteriak saat Kirito berbicara, Silica mengaktifkan sebuah skill pedang; tentu saja, skill itu hanya memotong udara kosong. Selama jeda yang singkat setelahnya, dua tentakel membelit kedua kaki Silica lalu mengangkatnya dengan kekuatan yang mengejutkan.
"Uwah!?"
Silica mendapati dirinya tergantung terbalik beserta penglihatannya sementara roknya, setia dengan gravitasi virtual, merosot ke bawah.
"Uaaa!?"
Dia dengan cepat menahan ujung roknya dan mencoba memotong cabang yang menjalar itu. Namun karena posisinya yang memalukan, upayanya itu tidak begitu berhasil. Silica berteriak dengan wajah merah:
"Ki-Kirito onii-chan, tolong! Jangan lihat saja dan tolong aku!!"
"I-Itu sedikit sulit."
Dengan tangan kirinya menutupi kedua matanya, Kirito menjawab dengan ekspresi tidak nyaman sementara bunga raksasa itu terus mengayunkan Silica kesana kemari.
"Berhenti!"
Silica tidak punya pilihan selain melepaskan roknya, menggenggam cabang menjalar itu, dan memotongnya. Bagian belakang leher bunga tersebut masuk ke dalam jangkauannya begitu dia jatuh lalu dia menggunakan sebuah skill pedang. Kali ini skill itu mengenai sasarannya, dan seraya kepalanya jatuh, seluruh badannya meledak lalu lenyap. Silica, yang mendarat dengan halus diantara hujan debris[21] poligon, langsung bertanya pada Kirito segera setelah dia berbalik.
"...Tadi lihat ya?"
Swordsman hitam itu memandang Silica melalui celah-celah diantara jari-jarinya dan menjawab:
"...Enggak, aku ga lihat."
Mereka membutuhkan lima pertarungan lagi sampai terbiasa dengan monster-monster disini sebelum mempercepat ritme mereka; walau Silica hampir pingsan saat sebuah monster yang mirip anemon laut mencengkramnya dengan tentakel yang lengket.
Kirito tidak berpartisipasi banyak dalam pertarungan dan kebanyakan dia hanya membantu Silica, sekali-sekali menahan sekarang saat Silica dalam bahaya. Experience kelompok terbagi sesuai dengan jumlah damage yang diberikan setiap anggota kelompok ke monster. Karena Silica mengalahkan monster-monster berlevel tinggi, dia memperoleh poin experience beberapa kali lebih cepat dari biasanya dan dia pun lekas naik level.
Selagi mereka terus mengikuti jalan batu bata merah yang tak berujung, muncul sebuah jembatan yang melewati sungai kecil. Setelahnya terlihat sebuah bukit besar, dan jalan tersebut tampak menuju ke puncaknya.
"Itulah «Bukit Kenangan»."
"Sepertinya tidak ada persimpangan jalan."
"Iya. Kita cuma harus terus naik, jadi ga perlu khawatir akan tersesat. Tapi katanya ada banyak monster. Kita berhati-hati saja."
"Oke!"
Sebentar, sebentar lagi dia bisa menghidupkan Fina. Begitu Silica memikirkan ini, langkah kakinya refleks makin cepat.
Saat mereka mulai berjalan melalui jalan menanjak yang penuh dengan bunga-bunga yang sedang mekar, mereka dihadang lagi oleh monster-monster seperti yang telah diprediksi. Monster-monster berjenis tumbuhan itu juga jauh lebih besar, tetapi pisau hitam Silica ternyata jauh lebih kuat dari yang ia kira, membuatnya bisa mengalahkan kebanyakan dari mereka hanya dengan sebuah combo.
Tapi kemampuan Kirito bahkan lebih mengejutkan lagi.
Silica telah menduga kalau dia adalah swordsman yang levelnya lumayan tinggi setelah menyaksikannya mengalahkan dua Kera Mabuk dengan sebuah ayunan pedang. Namun setelah naik dua belas lantai sekalipun, dia masih tidak kehilangan ketenangannya sedikitpun. Ketika sejumlah besar monster muncul, dia menolong Silica dengan mengalahkan mereka semua kecuali satu.
Seraya mereka melanjutkan perjalanan, Silica tidak dapat berhenti bertanya-tanya apa yang dilakukan pemain berlevel setinggi itu di lantai tiga puluh lima.
Berdasarkan perkataannya, sepertinya ia punya sesuatu yang harus ia lakukan di «Hutan Pengembaraan». Namun Silica tidak pernah mendengar kalau ada monster atau item langka disitu.
Akan kutanya dia setelah petualangan ini selesai--- pikir Silica selagi dia mengayunkan pisaunya; selagi dia melakukan ini pun, jalan yang sempit itu perlahan-lahan makin curam. Merekapun terus menembus hutan yang lebat itu sambil mengalahkan monster-monster yang makin lama semakin agresif---
Mereka telah sampai di puncak bukit.
"Uwa--!"
Silica menahan diri sambil dia berlari beberapa langkah ke depan dan berseru.
Taman langit--- tempat ini memang benar-benar sesuai dengan namanya. Ruang terbuka yang dikelilingi hutan lebat itu penuh dengan bunga-bunga yang saling berdesakan satu sama lain selagi mereka mekar.
"Akhirnya kita sampai."
Ujar Kirito seraya dia berjalan ke arah Silica dan menyarungkan pedangnya.
"Bunganya... disini...?"
"Iya. Ada batu di tengah-tengah dan diatasnya..."
Silica sudah berlari bahkan sebelum Kirito selesai bicara. Dia memang bisa melihat sebuah batu putih yang bersinar di tengah-tengah petak-petak bunga itu. Dia berlari kesana, mengambil nafas pendek, dan kemudian dengan hati-hati memeriksa bagian atas batu yang setinggi dadanya itu.
"Huh......?"
Tetapi tidak ada apa-apa disana. Hanya ada sedikit rumput di tengah-tengah lekukan batu tersebut; tidak ada sesuatu apapun yang dapat disebut sebagai bunga.
"Bunganya... Bunganya ga ada, Kirito onii-chan!"
Dia berteriak pada Kirito, yang telah berlari ke sisinya. Air mata mulai bermunculan di matanya.
"Ga mungkin... ---Ah, lihat."
Silica mengikuti tatapan Kirito dan memandang lagi batu tersebut. Kemudian---
"Ah..."
Sebuah tunas kecil tumbuh di tengah-tengah rumput yang lembut itu. Begitu Silica melihatnya, sistem fokus menjadi aktif dan tanaman muda itu pun terlihat lebih detil. Dua daun putih terbuka bagai sebuah kerang dan sebuah batang tumbuh darinya dengan cepat.
Batang itu meninggi dalam sekejap, persis seperti yang ia lihat saat pelajaran sains bertahun-tahun lalu, kemudian sebuah kuncup kecil muncul di ujungnya. Kuncup kecil berbentuk tetesan hujan itu memancarkan cahaya berwarna putih mutiara.
Selagi Kirito dan Silica mengamatinya sambil menahan nafas, ujung kuncup tersebut mulai terbuka; kemudian--- dengan bunyi mirip gemerincing lonceng, kuncup itupun terbuka. Sebuah bintik cahaya menari-nari di udara.
Keduanya terpaku mengamati tumbuhnya sebuah bunga putih tanpa bergerak sedikitpun. Tujuh kelopak bunga menggapai keluar seperti sinar bintang, dan dari tengah-tengahnya terpancar kilauan cahaya, bercampur dengan cahaya langit.
Silica memandang Kirito, ia merasa kalau seharusnya ia tidak menyentuh bunga ini. Kirito tersenyum lembut lalu mengangguk.
Silica membalas dengan anggukan dan kemudian menyentuh bunga itu dengan tangan kanannya. Saat ia menyentuhnya, batang yang setipis benang sutra itu hancur seakan seperti terbuat dari es, dan hanya tinggal bunganya yang tertinggal di tangan Silica. Dia kemudian menyentuh bunga itu dengan halus seraya bernafas lembut. Layar namanya muncul tanpa suara. «Bunga Pneuma»---
"Sekarang... kita bisa menghidupkan Fina lagi..."
"Ya. Kamu cuma harus meneteskan tetesan air dalam bunga itu ke hati Fina. Tapi ada banyak monster yang kuat disini, jadi lebih baik melakukannya setelah kita kembali ke desa. Lebih baik kita sabar sedikit dan lekas pulang sekarang.
"Oke!"
Silica mengangguk lalu membuka layar utamanya sebelum menaruh bunganya disana. Dia memastikan bunga itu berada di inventaris item sebelum menutup layar tersebut.
Sesungguhnya, dia ingin menggunakan sebuah kristal teleport untuk langsung kembali ke desa, namun Silica menahan dirinya dan mulai berjalan. Sudah menjadi aturan tidak tertulis untuk tidak pernah menggunakan kristal yang mahal itu kecuali keadaannya benar-benar berbahaya.
Untungnya, mereka tidak berjumpa dengan banyak monster saat perjalanan pulang. Tidak lama kemudian mereka sampai di tepi sungai setelah turun dengan tempo yang cepat.
Sekarang aku bisa bertemu Fina paling lama sejam lagi---
Silica memeluk dadanya, yang terasa seperti mau meledak, dan persis sebelum menyebrangi jembatan---
Tiba-tiba Kirito memegang bahunya. Dia menoleh ke belakang, jantungnya berdetak kencang, dan melihat Kirito membelalak ke arah kumpulan pepohonan yang tebal di seberang jembatan dengan ekspresi yang menakutkan. Kemudian dia membuka mulutnya lalu berkata dengan suara yang rendah dan menegangkan:
"---Kalian yang bersembunyi untuk menyergap kami, keluar sekarang juga."
"Apa...!?"
Silica segera melihat tepi lain sungai tersebut, namun disana tidak ada siapa-siapa. Setelah beberapa detik yang menegangkan, dedaunan mulai bergerak dengan suara gemerisik. Muncul sebuah kursor yang mewakili pemain. Warnanya hijau, jadi dia bukan kriminal.
Anehnya --- orang yang muncul di seberang jembatan pendek itu adalah seseorang yang dikenal Silica.
Rambut merah api, dengan bibir berwarna sama; petarung bertombak itu memegang sebuah tombak berbentuk palang yang ramping dan memakai armor berwarna hitam yang bersinar seperti lapisan email.
"Ro-Rosalia-san...!? Kenapa kamu ada di tempat seperti..."
Rosalia tersenyum miring dan mengabaikan pertanyaan Silica yang matanya terbuka lebar dengan dipenuhi rasa terkejut.
"Ga nyangka ternyata kau bisa tahu persembunyianku; sepertinya skill scanmu lumayan tinggi, swordsman. Apa aku sedikit meremehkanmu?"
Lalu dia berpaling ke arah Silica:
"Sepertinya kamu dengan beruntung berhasil dapetin «Bunga Pneuma». Selamat, Silica."
Silica, yang tidak dapat memahami tujuan Rosalia yang sebenarnya, mundur beberapa langkah ke belakang. Dia merasakan perasaan buruk yang tidak dapat dijelaskan tentang ini.
Rosalia tidak mengkhianati ekspektasinya dan mulai berbicara sedetik kemudian:
"Serahkan bunga itu sekarang juga."
Silica tidak tahu harus berkata apa.
"...!? Apa... kamu bilang apa...?"
Kemudian, Kirito, yang dari tadi diam saja, melangkah maju dan membuka mulutnya:
"Aku ga bisa membiarkanmu melakukan itu, Rosalia-san. Enggak--- harusnya aku memanggilmu pemimpin guild oranye «Titan's Hand»."
Alis Rosalia mengerut naik dan senyum menghilang dari wajahnya.
Dalam SAO, pemain-pemain yang melakukan tindakan yang dianggap kriminal, seperti mencuri, menyakiti pemain lain, atau membunuh mereka, warna kursornya berubah dari hijau menjadi oranye. Karenanya, orang-orang menyebut para kriminal individu sebagai pemain oranye dan guild yang terdiri dari mereka sebagai guild oranye. Silica tahu tentang ini, tetapi dia belum pernah bertemu mereka sebelumnya.
Tetapi kursor HP Rosalia, yang bisa dia lihat tepat di depan matanya, berwarna hijau bagaimanapun cara dia melihatnya. Silica menengadah ke wajah Kirito, yang berdiri disampingnya, dan bertanya dengan suara kering:
"Hei... tapi... lihatlah... barnya Rosalia-san, warnanya hijau..."
"Di guild oranye sekalipun, seringkali tidak semua anggotanya oranye. Anggota-anggota yang hijau mencari mangsa dan bersembunyi diantara kelompok mereka sebelum memancing mereka ke tempat penyergapan. Orang yang semalam menguping pembicaraan kita pasti anggota kelompoknya juga."
"A-apa..."
Silica memandang Rosalia dengan rasa terkejut dan benci.
"Ka---kalau gitu, alasan dia bergabung dengan kelompokku selama dua minggu terakhir adalah..."
Rosalia sekali lagi tersenyum berbisa dan berkata:
"Iya~ Aku mengecek sekuat apa kelompok itu, dan disaat bersamaan menunggu mereka gemuk dengan uang yang mereka dapat dari berpetualang. Sebenarnya, aku akan mengurus mereka hari ini."
Dia menjilat lidahnya sambil tetap menatap Silica.
"Aku sedang keheranan kenapa orang yang paling ingin kuburu tiba-tiba pergi, terus aku dengar kamu ingin dapetin item langka. «Bunga Pneuma» sekarang ini lumayan mahal. Ngumpulin informasi itu ternyata memang penting~"
Kemudian dia berhenti bicara sesaat, memandang Kirito, lalu mengangkat bahunya.
"Tapi swordsman, kau bermain dengan bocah ini walaupun kau tahu itu? Kau ini bodoh ya? Atau kau benar-benar naksir dia?"
Muka Silica memerah dengan amarah mendengar penghinaan Rosalia. Tangannya bergerak untuk mengambil pisaunya. Namun Kirito memegang pundaknya.
"Enggak, bukan hal semacam itu."
Ujar Kirito, suaranya dingin.
"Aku juga sedang mencarimu, Rosalia-san."
"---Apa maksudmu?"
"Kau yang menyerang guild «Silver Flag» sepuluh hari lalu di lantai tiga puluh delapan, kan? Dimana empat aggotanya tewas dan cuma ketuanya yang selamat."
"Ah~, para gelandangan itu?"
Rosalia bahkan tidak bergeming saat dia mengangguk.
"Ketuanya itu... dia mencari seseorang untuk membalaskan dendam timnya di gerbang plasa di garis depan, menangis dari pagi hingga malam."
Rasa dingin yang menakutkan terasa dari ucapan Kirito. Rasanya seperti pedang es yang telah diasah untuk memotong apapun yang mendekat.
"Tapi waktu aku menerima permohonannya, dia tidak memintaku untuk membunuhmu. Ia hanya minta kepadaku untuk menjebloskan kalian semua ke penjara di Kastil Besi Hitam --- bisakah kau mengerti perasaannya?"
"Tidak sama sekali."
Rosalia menjawab seperti dia tidak peduli sama sekali.
"Apa? Kenapa kau serius banget? Kau bodoh ya? Bagaimanapun ga ada bukti kalau orang itu mati di kehidupan nyata kalau kau bunuh mereka disini. Lagipula, ini ga akan jadi perbuatan kriminal saat kita kembali ke dunia nyata. Kita bahkan ga tahu apa kita bisa kembali, tapi disini kau ngomongin keadilan dan aturan; itu bahkan ga lucu. Aku paling benci orang sepertimu --- orang yang bawa-bawa logika aneh saat mereka datang ke dunia ini."
Mata Rosalia makin dipenuhi rasa marah.
"Jadi, kau ingin mengatakan padaku kalau kau menganggap serius ucapan seseorang yang bahkan ga bisa mati dengan benar dan mencari kami? Kau benar-benar ga punya kerjaan ya. Yah, kuakui aku termakan umpanmu. Tapi... apa kau benar-benar berpikir kalau kau bisa berbuat sesuatu hanya dengan dua orang...?"
Sebuah senyum kejam muncul di mukanya lalu Rosalia melambaikan tangannya dua kali di udara.
Pada saat itu juga, pepohonan di sisi lain tepi sungai itu bergoncang kasar, dan sekelompok orang muncul dari baliknya. Kursor-kursor memasuki penglihatan Silica satu demi satu. Kebanyakan oranye. Jumlahnya mereka mencapai sepuluh orang. Kalau saja mereka menyebrangi jembatan itu tanpa sadar bahwa mereka akan disergap, maka mereka sudah terkepung sekarang. Ada seorang hijau lagi diantara para pemain oranye--- gaya rambut jabriknya, tak diragukan lagi, sama dengan yang mereka lihat kemarin malam di penginapan.
Para bandit yang baru muncul semuanya dalah pemain pria yang berpakaian norak. Mereka semua memiliki aksesori berwarna perak dan sub-equipment bergantungan di sekujur tubuhnya.
Silica bersembunyi dibalik mantel Kirito begitu rasa muak semakin meliputinya. Dia berbisik pelan:
"Ki-Kirito onii-chan... musuhnya terlalu banyak. Kita harus lari...!"
"Tenang saja. Siapkan saja kristal kamu sampai kuberi tanda untuk lari."
Kirito menjawab dengan suara kalem, membelai rambut Silica, kemudian berjalan ke sisi lain jembatan tersebut. Silica hanya terdiam dengan kaget. Ini terlalu nekat. Pikir Silica, lalu dia memanggil Kirito:
"Kirito onii-chan...!"
Begitu suaranya terdengar---
"Kirito...?"
Gumam salah satu bandit. Senyumnya memudar dan dia terpana; bola matanya bergerak dari satu sisi ke sisi lain seperti sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Pakaian itu... pedang satu tangan tanpa perisai... «The Black Swordsman»...?"
Wajahnya berubah pucat seraya dia melangkah mundur.
"Ini serius Rosalia-san! Bajingan itu... dia seorang beater dan... clearer...!"
Mendengar kalimat itu, ekspresi seluruh anggota lainnya mengeras kaget. Silica juga terkejut. Dia hanya menatap bahu Kirito, yang tidak bisa dibilang lebar, benar-benar tercengang.
Silica tahu bahwa dia adalah pemain yang berlevel cukup tinggi setelah melihatnya bertarung. Namun dia bahkan tidak pernah bermimpi kalau dia adalah salah seorang «Clearer», grup elit dari para pemain kelas atas yang bertarung di dungeon garis depan, dimana tidak seorangpun pernah menjejakkan kakinya, dan bahkan mengalahkan para bos. Dia pernah dengar bahwa mereka berkonsentrasi sepenuhnya untuk menyelesaikan SAO, dan bahkan sangat sulit untuk bertemu mereka di lantai pertengahan---
Rosalia sekalipun terdiam disana dengan mulut terbuka untuk beberapa detik sebelum dia tersadar dan berteriak:
"Ke-kenapa seorang clearer berkeliaran di sekitar sini!? Dia mungkin cuma menyebut dirinya sendiri begitu untuk menakuti kita! Yang dipakainya hanyalah sebuah cosplay. Dan--- kalau pun dia benar-benar «The Black Swordsman», dia pasti kalah dengan orang sebanyak ini!!"
Sepertinya semangat mereka telah dikembalikan oleh kata-katanya, pengguna kapak raksasa yang berdiri di depan para pemain oranye itu menyahut:
"I-iya! Kalau dia seorang clearer pastinya dia punya banyak item dan uang juga kan!? Ini bener-bener kesempatan besar!"
Semua bandit itu sepakat lalu mengeluarkan senjata mereka. Kepingan-kepingan logam itu mengilatkan cahaya jahat.
"Kirito onii-chan... kita ga mungkin menang, ayo lari!!"
Silica berteriak mati-matian dengan kristal tergenggam erat di tangannya. Seperti yang dikatakan Rosalia, Kirito tidak mungkin menang melawan musuh sebanyak ini sekuat apapun dia. Tapi Kirito tidak bergerak. Ia bahkan tidak mengeluarkan senjatanya.
Sepertinya mereka menganggapnya sebagai bentuk kepasrahan; kesembilan pemain tersebut, tidak termasuk Rosalia dan pemain hijau lain, seluruhnya mengeluarkan senjata mereka dan berpacu satu sama lain untuk menyerang Kirito. Mereka menerjang melewati jembatan kecil itu dan lalu---
"Yiaaa!!"
"Mati kauuu!!"
Mereka mengepung Kirito, yang kepalanya tertunduk, dalam formasi setengah lingkaran sebelum mereka semua menyerangnya dengan senjata masing-masing. Badan Kirito bergetar hebat akibat kekuatan sembilan serangan itu.
"Tidak---!!"
Silica berteriak sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Enggak! Berhenti! Kirito onii-chan akan, m...mati!!"
Tapi mereka tidak mendengarkan.
Beberapa dari mereka tertawa gila, sementara yang lain terus mengucapkan sumpah serapah selagi mereka menyerang Kirito bagai dimabukkan oleh rasa kejam. Rosalia, yang berdiri di tengah-tengah jembatan, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya selagi dia menatap tragedi tersebut sambil menjilati jarinya.
Silica menyeka air matanya lalu menggenggam gagang pisaunya. Dia tahu kalau dia tidak dapat berbuat apa-apa sekalipun ia ikut bertarung, tapi dia tidak lagi bisa untuk hanya berdiri disitu dan menonton. Kemudian, persis sebelum dia melangkah ke arah Kirito--- dia menyadari sesuatu dan berhenti.
Bar HP Kirito tidak berkurang.
Tidak, sebenarnya bar HP itu hanya berkurang sedikit sekali, meskipun digempur hujan serangan yang tidak berkesudahan. Itupun akan terisi kembali setelah beberapa detik.
Bandit-bandit itu akhirnya sadar kalau swordsman hitam di depan mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan tumbang. Ekspresi bingung muncul di wajah mereka.
"Kalian pada ngapain sih!? Bunuh dia!!"
Mendengar perintah Rosalia, hujan serangan pun berlanjut selama beberapa detik kemudian. Namun situasinya tidak berubah.
"Hei... apa yang terjadi...?"
Salah satu bandit membuat wajah seakan dia telah melihat sesuatu yang benar-benar ganjil sebelum dia berhenti bergerak dan melangkah mundur. Keterkejutannya itu dengan cepat menyebar ke delapan orang lainnya, yang kemudian berhenti menyerang lalu menjauhkan diri mereka dari Kirito.
Tempat itu hening seketika, kemudian di tengahnya, Kirito pelan-pelan mengangkat kepalanya. Sebuah suara pelan terdengar:
"---Sekitar 400 setiap 10 detik? Itu jumlah damage yang kalian bersembilan berikan padaku. Aku level 78, HP ku 14,500… ditambah aku otomatis mendapat 600 poin setiap 10 detik dengan «Battle Healing». Kalian semua tidak akan bisa mengalahkanku walau terus memukulku berjam-jam."
Bandit-bandit itu terdiam di tempat dengan mulut terbuka lebar, seperti terkena syok. Akhirnya, si pengguna dua pedang, yang sepertinya adalah wakil ketua mereka, berkata dengan suara kering.
"Ini... apa benar bisa begini...? Ini bahkan sama sekali ga masuk akal..."
"Iya lah."
Kirito pun mengeluarkan ucapan ini:
"Cuma perbedaan angka saja akan membuat perbedaan kekuatan yang sangat besar; itulah bagian ga masuk akal dari sistem level MMORPG!"
Para bandit itu melangkah mundur, seakan mereka terintimidasi oleh suara Kirito, yang tampak seperti menyembunyikan sesuatu dibaliknya. Wajah-wajah kaget mereka digantikan dengan muka ketakutan.
"Che."
Rosalia menggerutu lalu kemudian mengeluarkan sebuah kristal teleport dari pinggangnya. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi dan membuka mulutnya:
"Teleport---"
Bahkan sebelum dia dapat menyelesaikan kalimatnya, udara tampak bergetar selama sepersekian detik dan kemudian Kirito sudah berdiri tepat di depannya.
"Ack..."
Begitu Rosalia membeku sesaat, Kirito merebut kristal dari tangannya, lalu menggenggam kerahnya dan menariknya kembali ke arah bandit-bandit lainnya.
"Le-lepaskan aku!! Kau ingin melakukan apa brengsek!!"
Kirito melemparnya ke arah sekelompok bandit tersebut, yang sedang berdiri terpana, dan kemudian mulai mengobrak-abrik kantongnya tanpa berkata apa-apa. Kristal yang dikeluarkannya juga berwarna biru. Tapi warnanya jauh lebih tua daripada kristal teleport.
"Orang yang memintaku melakukan ini membeli kristal koridor ini dengan semua uang yang dimilikinya. Katanya dia sudah mengatur Kastil Besi Hitam sebagai tempat keluarnya.. Jadi aku akan menteleport kalian semua ke penjara, terus «The Army» bisa mengurus sisanya dari situ."
Rosalia, yang sedang duduk di bawah, terdiam selama beberapa saat sebelum dia tersenyum seperti itu hanya gertakan.
"—Dan kalau aku bilang aku ga mau?"
"Akan kubunuh kalian semua."
Senyum di wajahnya membeku begitu mendengar jawaban singkat Kirito.
"—adalah yang ingin kukatakan... tapi jika begitu maka aku akan menggunakan ini."
Kirito mengambil sebuah pisau kecil dari dalam mantelnya. Jika diperhatikan dengan seksama, terlihat sebuah cairan hijau yang samar-samar di permukaannya.
"Racun pelumpuh; ini racun level lima, jadi kalian ga akan bisa bergerak untuk sekitar sepuluh menit. Waktu segitu cukup untuk memasukkan kalian semua ke koridor... Jalan sendiri, atau kujebloskan; itu pilihanmu."
Tidak ada yang menggertak sekarang. Setelah melihat mereka semua menundukkan kepalanya tanpa suara, Kirito melepaskan pisaunya, mengangkat kristal biru tua itu tinggi-tinggi, kemudian berteriak.
"Koridor terbukalah!"
Kristal itu pecah berkeping-keping dalam sekejap lalu muncul sebuah pusaran biru cahaya.
"Dasar sial..."
Pengguna kapak yang berpostur tinggi adalah yang pertama berjalan ke koridor dengan bahu tergantung. Sisa pemain-pemain oranye kemudian lenyap di dalam cahaya satu demi satu, beberapa dengan diam, beberapa lagi sambil menyumpah-nyumpah ketika berjalan memasukinya. Setelah pemain hijau yang mengumpulkan informasi mengikuti mereka, yang tersisa hanyalah Rosalia.
Bandit berambut merah itu mencoba bergerak sekalipun tidak bahkan setelah semua kawanannya lenyap ke koridor. Dia duduk dengan kaki bersila dan menatap Kirito seperti mau menantangnya.
"...Yah, coba saja kalau bisa. Kalau kau menyakiti pemain hijau kau akan menjadi pemain oranye..."
Kirito menggenggam kerahnya bahkan sebelum ia selesai bicara.
"Kuberitahu kau: aku ini solo; menjadi oranye untuk sehari dua hari ga berarti apa-apa bagiku."
Kirito berkata dengan dingin sebelum menyeretnya ke koridor. Rosalia melawan dengan memukul-mukulkan lengan dan kakinya.
"Tunggu, kumohon, berhenti! Maafkan aku! Huh?! ...Ah, benar, kau, maukah kau bekerja denganku? Dengan kemampuanmu kita bisa mengalahkan guild manapun..."
Rosalia tidak pernah menyelesaikan perkataannya. Kirito melempar Rosalia ke koridor dengan kepala duluan. Setelah dia menghilang, koridor itu bersinar terang selama sesaat kemudian lenyap.
Semuanya menjadi tenang lagi.
Padang bunga yang penuh dengan suara-suara alami, kicauan burung dan aliran air, menjadi sepi kembali seakan semua yang baru saja terjadi hanyalah sebuah kebohongan. Tapi Silica tidak bisa bergerak. Kekagetannya terhadap identitas asli Kirito, kelegaannya terhadap perginya para bandit, semua emosi ini membanjir secara bersamaan, membuatnya tidak mampu untuk membuka mulutnya sekalipun.
Kirito memiringkan kepalanya dan diam-diam mengamati Silica yang sedang terkesima selama beberapa saat sebelum dia akhirnya mengatakan sesuatu hampir seperti bisikan:
"...Maaf, Silica. Sepertinya aku malah menggunakanmu sebagai umpan. Aku sudah mempertimbangkan untuk memberitahumu sendiri... tapi kupikir kamu akan ketakutan sehingga aku tidak jadi melakukannya."
Silica mati-matian mencoba menggelengkan kepalanya, namun ia tidak bisa; saking banyaknya pikiran-pikiran yang berputar membanjiri kepalanya.
"Aku akan mengantarmu ke desa."
Ujar Kirito lalu dia mulai berjalan. Silica entah bagaimana berhasil memaksa suaranya keluar menuju Kirito.
"Kakiku—kakiku tidak mau bergerak."
Kirito menengok ke belakang dan menawarkan tangan kanannya disertai sebuah senyuman; Silica akhirnya tersenyum begitu ia memegang erat tangan itu.
Keduanya tetap terdiam sampai mereka tiba di Weathercock Tavern di lantai tiga puluh lima. Ada banyak sekali hal yang ingin dikatakan Silica, tapi ia tak mampu mengatakannya, seakan ada batu koral yang tersangkut di kerongkongannya.
Ketika mereka naik ke lantai dua dan memasuki kamar Kirito, cahaya merah matahari terbenam sudah mengalir masuk melalui jendela. Silica akhirnya berhasil berbicara dengan suara gemetar kepada Kirito, yang sudah tampak seperti siluet hitam karena cahaya matahari.
"Kirito onii-chan... kamu mau pergi...?"
Setelah terdiam lama, siluet itu pun mengangguk pelan.
"Iya... aku sudah pergi dari garis depan selama lima hari. Aku harus kembali mulai menyelesaikan game ini lagi secepat mungkin..."
"...Benar juga..."
Sebenarnya, Silica ingin memintanya untuk membawa serta dirinya.
Tapi ia tidak bisa.
Levelnya Kirito 78. Levelnya dia 45. Dengan selisih level 33--- perbedaan yang memisahkan mereka jelas sangat menyakitkan. Jika dia mengikuti Kirito ke garis depan, Silica akan mati dalam sekejap. Walaupun mereka berada dalam game yang sama, dinding yang lebih tinggi dari apapun di kehidupan nyata berdiri diantara dunia mereka yang begitu berbeda.
"...A...Aku..."
Silica menggigit bibirnya dan mati-matian berusaha untuk menahan emosinya yang terancam meluap; dua aliran air mata yang terbentuk sebagai hasil dari perasaannya itu lalu bergulir menuruni pipinya.
Tiba-tiba, dia merasakan tangan Kirito di pundaknya. Sebuah suara pelan yang lembut berbisik tepat disampingnya:
"Level itu cuma angka-angka. Kekuatan di dunia ini tak lebih dari sebuah ilusi. Ada hal-hal yang jauh lebih penting dari itu. Jadi ayo kita bertemu lagi di dunia nyata. Kalau kita bertemu lagi, kita akan bisa berteman lagi."
Sebenarnya, Silica ingin bersandar ke Kirito di depannya. Namun begitu ia merasakan ucapan Kirito menyebarkan kehangatannya dalam hatinya yang sedang hancur, ia menyadari kalau dia tidak boleh berharap lebih darinya. Kemudian dia menutup matanya dan bergumam:
"Oke. Ini—ini janji ya."
Dia memisahkan dirinya dari Kirito, menatap wajahnya, dan akhirnya dia bisa tersenyum dengan sungguh-sungguh. Kirito juga tersenyum lalu berkata:
"Jadi, ayo kita panggil Fina."
"Oke!"
Silica mengangguk lalu melambaikan tangan kanannya untuk memunculkan layar utama. Dia menggulung inventaris itemnya dan mengeluarkan «Fina's Heart».
Dia meletakkan bulu biru langit yang keluar dari layar di meja lalu dia juga mengeluarkan «Bunga Pneuma».
Dengan bunga putih mutiara di tangannya, dia menutup layar itu lalu memandang Kirito.
"Yang harus kamu lakukan hanyalah meneteskan tetesan air yang ada di tengah-tengah bunga itu ke bulu Fina. Setelah kamu melakukan itu Fina akan kembali."
"Oke..."
Sambil memandangi bulu biru langit itu, Silica berbisik dalam pikirannya.
Fina... aku punya banyak sekali cerita untukmu; tentang petualangan menakjubkan yang kualami hari ini... dan tentang orang yang menyelamatkanmu, orang yang menjadi kakakku hanya untuk sehari.
Dengan air mata di matanya, Silica memiringkan bunga di tangan kanannya menuju bulu tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar