Kincir air yang besar itu berputar dengan mantap, memenuhi seluruh toko dengan suara menenangkan.
Walaupun ini hanya rumah kecil untuk digunakan kelas support diantara perumahan khusus pemain, harganya naik seperti pasang karena kincir air itu. Saat aku pertama menemukan rumah ini di distrik utama Lindus di lantai 48, pikiranku tiba-tiba berkata 'ini dia!', tepat sebelum harganya mengejutkanku.
Sejak saat itu, aku mulai bekerja keras membanting tulang, meminjam uang dari berbagai tempat, dan berhasil mengumpulkan tiga juta Coll hanya dalam dua bulan. Kalau ini adalah dunia nyata, tubuhku akan dipenuhi otot dari semua pengalamanku memukulkan palu, dan tangan kananku akan penuh dengan kapalan tebal.
Tapi semua itu terbayar sudah, aku memperoleh sertifikatnya hanya selangkah lebih dulu dari pesaingku dan membuka "Toko Senjata Spesial Lizbet" di rumah berkincir air ini. Ini terjadi tiga bulan lalu saat musim semi yang sejuk.
Setelah meminum kopi pagiku dengan cepat --- untungnya ini Aincrad --- sambil mendengarkan berputarnya kincir air seperti mendengarkan BGM, aku memakai seragam blacksmithku dan melirik pantulanku di cermin besar yang tergantung di dinding.
Meskipun aku menyebutnya seragam blacksmith, sebenarnya pakaianku ini sekedar mirip pun tidak, tapi pakaianku ini sebenarnya lebih mirip seragam pelayan wanita: sebuah atasan merah tua dengan lengan baju yang menggembung dan sebuah rok layang dengan warna yang sama, ditambah sebuah celemek putih bersih diatasnya dan sebuah pita merah di dadaku.
Bukan aku yang memilih pakaian ini; seorang pelanggan setia sekaligus temanku lah yang memilihnya. Menurutnya, 'wajahmu baby face jadi pakaian kaku ga cocok buatmu.'
Nah itulah yang dia bilang, dan aku tuh seperti 'urus urusanmu sendiri!' Tapi penjualan naik dua kali lipat sejak aku mulai memakai seragam ini, jadi aku ga punya pilihan selain terus memakainya.
Nasehatnya tidak berhenti di pakaianku, tapi bahkan sampai juga ke rambutku; sekarang rambutku sudah dirombak menjadi sangat pink dan halus. Tapi berdasarkan respon pelanggan, sepertinya penampilan ini cocok denganku.
Aku, Lisbeth si blacksmith, berumur lima belas saat aku pertama kali masuk ke SAO. Dulu di dunia nyata kudengar aku terlihat lebih muda dari usiaku, tapi di dunia ini aku bahkan terlihat lebih muda lagi. Ketika rambut merah mudaku, mata besarku yang biru, dan bibirku yang mungil dikombinasikan dengan celemek bergaya kuno, pantulanku di cermin terlihat hampir seperti boneka.
Karena di dunia lain aku hanya anak SMP yang tidak peduli dengan mode, jurangnya pun makin melebar. Entah bagaimana aku telah terbiasa dengan penampilanku, namun karena kepribadianku tidak berubah sama mudahnya, aku sudah beberapa kali menakuti pelangganku dengan tingkahku dari waktu ke waktu.
Aku memeriksa apa ada yang terlupa kusiapkan sebelum aku ke bagian depan toko dan membalik tanda 'TUTUP'. Aku memandang beberapa pemain yang telah menunggu bukanya tokoku, lalu memperlihatkan senyum terbaikku dan menyapa mereka.
"Selamat pagi! Silakan!"
Sebenarnya, belum terlalu lama sejak aku bisa melakukan ini secara alami.
Mengelola sebuah toko sudah menjadi mimpiku sejak lama, tapi melakukannya di dalam game ternyata sangat berbeda dengan di dunia nyata. Aku mengalami sendiri bagaimana susahnya penyambutan dan pelayanan ketika aku pertama mulai sebagai pedagang jalanan dengan sebuah penginapan sebagai markasku.
Karena menahan senyum terlalu sulit bagiku, aku memutuskan untuk menang melalui kualitas, dan sepertinya menaikkan level skill weaponsmithku adalah jawabannya, terbukti dengan banyaknya pelanggan setiaku yang terus menggunakan senjataku bahkan setelah aku membuka toko ini. Setelah selesai menyapa mereka, aku meninggalkan resepsionis ke pegawai NPC ku lalu menyembunyikan diri di ruang kerja yang tersambung ke toko milikku. Ada sekitar sepuluh item yang harus kubuat hari ini.
Segera setelah aku menarik tuas di dinding, kekuatan mekanik dari kincir air mulai digunakan oleh puputan untuk meniupkan udara ke kompor arang, pemoles pun mulai berputar. Aku mengeluarkan sebongkah logam mahal dari inventarisku dan memasukkannya ke kompor arang yang baru mulai memanas. Setelah cukup panas, aku memindahkannya ke landasan tempa menggunakan sepasang penjepit. Aku berlutut dengan satu kaki dan menggenggam paluku, lalu memanggil menu pop-up dan memilih benda yang ingin kubuat. Sekarang yang harus kulakukan hanyalah memukul bongkahan logam itu sebanyak jumlah yang diperlukan dan benda itu pun tertempa. Tidak ada teknik yang diperlukan untuk ini dan kualitas senjata yang dihasilkan pun acak; tapi kupikir hasil akhirnya bergantung dengan sekuat apa konsentrasiku, jadi aku menegangkan semua otot-ototku dan mengangkat palunya pelan-pelan. Kemudian, persis saat aku akan menghantam logam itu---
"Hei, Lis!"
"Ahh!"
Pintu ruang kerjaku terbuka dengan keras dan aku pun meleset; alih-alih membentur logam, aku malah mengenai alas tempaku dengan dentang yang menyedihkan dan percikan-percikan bunga api.
Begitu aku mengangkat kepalaku, pengacau itu sedang menggaruk kepalanya dan tersenyum dengan lidahnya terjulur keluar.
"Maaf~ Lain kali aku akan hati-hati."
"Kira-kira udah berapa kali ya aku dengar kata-kata itu--- ...Yah, seenggaknya ini terjadi sebelum aku mulai."
Aku berdiri sambil menghela nafas panjang dan mengembalikan bongkahan logam itu ke dalam kompor arang sebelum menempatkan kedua tanganku di pinggang dan berbalik. Kemudian aku memandang gadis yang sedikit lebih tinggi dariku.
"...Hei, Asuna."
Sahabatku dan seorang pelanggan setia, si pengguna rapier Asuna, berjalan melintasi ruangan ke arahku lalu duduk di atas sebuah kursi kayu. Lalu dia menekan rambut coklat kemerah-merahannya yang panjang yang melewati bahunya dengan tangannya. Semua pergerakannya seperti bersinar, seakan dia adalah seorang bintang film, dan membuatku terpana meskipun aku sudah lama mengenalnya.
Aku pun duduk di kursi di depan alas tempaku itu dan menyandarkan paluku ke dinding.
"...Jadi, hari ini ada apa? Kamu dateng lebih pagi dari biasanya."
"Ah, aku ingin kamu merawat ini."
Asuna mengeluarkan rapiernya, dengan bilahnya masih disarungkan, kemudian melemparnya. Aku menangkapnya dengan satu tangan lalu menariknya keluar. Rapier itu sedikit tumpul karena sudah lama digunakan, namun tidak cukup tumpul untuk menyebabkan masalah memotong pada bilahnya.
"Kondisinya masih lumayan bagus kan? Terlalu awal untuk dirawat."
"Iya kamu benar. Tapi aku ingin ini jadi benar-benar berkilau."
"Hmmm?"
Aku menatap Asuna dengan teliti. Pakaian ksatrianya yang putih bercorak palang merah dan rok mininya tetap sama seperti biasanya, namun sepatunya bersinar seperti baru dan dia bahkan memakai sepasang anting perak.
"Kamu lagi aneh~ Aku baru kepikiran sekarang, hari kan ini hari kerja. Gimana tentang kuota clearing guild kamu? Bukannya kamu bilang kalian lagi kesusahan di lantai enam puluh tiga?"
Mendengar ucapanku, Asuna tersenyum malu:
"Ya--- aku dapet cuti hari ini. Karena nanti aku punya janji dengan seseorang..."
"Ohh~!"
Aku bergeser mendekat ke Asuna sambil tetap duduk di kursiku.
"Kasih tahu aku dong. Kamu mau ketemu siapa?"
"Ra-rahasia!"
Asuna memerah dan menghindari tatapanku. Aku menyilangkan lenganku, menggangguk, lalu berkata:
"Ah~ Kupikir aneh kamu menjadi lebih cerah belakangan ini. Jadi akhirnya kamu dapet pacar."
"Eng-enggak kayak gitu!!"
Pipi Asuna memerah makin tua. Dia terbatuk lalu menanyakanku sebuah pertanyaan sambil sedikit melirik-lirik:
"...Apa aku, bener-bener seberbeda itu sekarang...?"
"Tentu saja~ Waktu aku pertama ketemu kamu, kamu selalu berkonsentrasi menyelesaikan dungeon! Waktu itu kupikir kamu sedikit terlalu kaku, tapi kemudian, mulai musim semi ini, kamu mulai berubah sedikit; seperti beristirahat dari menyelesaikan game waktu hari kerja --- dulu kamu ga akan pernah melakukan itu."
"Be-bener ...mungkin aku memang telah terpengaruh...
"Jadi, siapa dia? Aku kenal ga?"
"Ku... kurasa enggak... kayaknya."
"Lain kali bawa dia kesini."
"Ga kayak gitu! Ini masih, yah... satu arah..."
"Hmm...?"
Kali ini aku benar-benar terkejut. Asuna adalah sub-leader dari guild terkuat, KoB, dan salah satu dari lima cewek tercantik di Aincrad. Laki-laki yang menginginkan perhatian Asuna ada sebanyak bintang di langit, tapi aku bahkan tidak pernah membayangkan kalau kebalikannya itu ada.
"Begini lho, dia orang yang bener-bener aneh."
Ucap Asuna dengan kedua matanya merenung ke dalam kejauhan. Senyum lembut terlihat di bibirnya. Kalau ini adalah komik percintaan, maka sekarang di latarnya akan ada kelopak-kelopak bunga.
"Menurutku dia ga bisa ditebak, atau dia cuma melakukan semuanya dalam temponya sendiri... tapi walaupun begitu, dia bener-bener kuat."
"Oh, lebih kuat dari kamu?"
"Iya, beneran; kalau kita duel, aku bertahan semenit saja ga akan bisa."
"Ohh~ Aku bisa menghitung orang yang mampu melakukan itu dengan jari."
Segera setelah aku mulai memeriksa daftar clearer di kepalaku, Asuna mulai mengibaskan tangannya.
"Ah, jangan bayangkan dia~!"
"Yah, aku menantikan untuk segera melihatnya. Dan kalau begitu ceritanya, aku akan mengandalkanmu untuk promosi juga!"
"Kamu ga pernah melewatkan kesempatan ya. Akan kukenalkan dia ---ah, oh! Cepet dirawat!"
"Iya, iya. Akan kuselesaikan sekarang juga jadi tunggu sebentar."
Aku berdiri dengan rapier Asuna di tanganku dan berjalan ke pemoles yang berputar di pojok ruangan.
Aku mengeluarkan pedang tipis itu dari sarungnya. Senjata ini dikategorikan sebagai «Rapier» dengan nama unik «Lambent Light». Termasuk salah satu pedang terbaik yang pernah kubuat. Walau aku menggunakan bahan mentah terbaik, palu terbaik, alas tempa terbaik, dan segalanya yang terbaik sekalipun, kualitas senjata yang dihasilkan masih berbeda-beda dikarenakan faktor acak. Karena itulah, aku hanya bisa membuat pedang berkualitas seperti ini setiap sekitar tiga bulan.
Pelan-pelan aku menempelkan pedang itu ke pemoles dengan kedua tanganku. Teknik yang terlibat dalam memoles senjata juga tidak ada, tapi aku tidak berniat untuk mengabaikannya.
Aku meluncurkan pedang itu dari pangkal hingga ujungnya. Bunga-bunga api berlompatan keluar dengan terang, suara metalik terdengar, dan di saat yang bersamaan kilau gemerlapan kembali ke pedang tersebut. Begitu proses pemolesan selesai, rapier itu kembali ke ke penampilan keperak-perakannya, bersinar dengan cahaya matahari pagi.
Aku menyarungkan bilahnya lagi dan melemparkannya ke Asuna. Lalu aku menangkap koin perak 100 coll yang dilemparkannya pada saat yang bersamaan dengan ujung-ujung jariku.
"Makasih!"
"Aku juga akan memintamu memperbaiki armorku nanti... tapi aku kehabisan waktu sekarang jadi daaah!"
Asuna berdiri dan menggantung rapier itu di sisi pinggangnya.
"Aku penasaran dia seperti apa sih~ Mungkin aku harus ikut pergi."
"Ehh, ja-jangan!"
"Hahaha, aku bercanda. Tapi lain kali bawa dia ya."
"Se-segera."
Asuna melambaikan tangannya dan keluar dari ruang kerjaku seakan dia melarikan diri. Aku menghela nafas panjang dan roboh lagi ke kursiku.
"...Pasti enak."
Aku tersenyum dengan sedikit pahit mendengar ucapan yang terlontar dari mulutku.
Satu setengah tahun sudah lewat sejak aku datang ke dunia ini. Karena kepribadianku, aku tidak bersenang-senang dan malah menuangkan segalanya untuk mengembangkan tokoku hingga seperti sekarang ini. Tetapi sekarang aku telah memiliki sebuah toko dan hampir menyempurnakan skill smithku, aku juga mulai merindukan pertemanan lagi, kemungkinan besar karena aku tidak punya tujuan yang jelas lagi.
Karena tidak ada banyak perempuan di Aincrad, lumayan banyak lelaki yang mencoba mendekatiku, tapi karena beberapa alasan aku tidak pernah merasa ingin menanggapinya. Jadi ketika topik ini dibicarakan aku merasa cukup iri pada Asuna.
"Kapan ya aku bakal ngerasain «Pertemuan Bersejarah» juga~"
Aku bergumam, lalu menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menghilangkan pikiran-pikiran aneh ini dan berdiri. Aku mengambil bongkahan logam yang sekarang sudah merah panas, mengeluarkannya dari kompor arang dan meletakkannya kembali ke alas tempa. Sepertinya dialah yang akan menjadi rekanku untuk sementara waktu ini. Dengan pikiran-pikiran ini bergelayutan di kepalaku, kuangkat paluku dan menghantamkannya. Hiiyaa.
Bunyi berirama logam yang menggaung di ruang kerjaku biasanya membuat pikiranku jernih, tapi hari ini ganjalan-ganjalan di hatiku itu tidak mau pergi.
Siang keesokan harinya dia mengunjungi toko milikku.
Aku menyelesaikan semua pesanan senjata kemarin dan sekarang aku terlelap di kursi batu di depan toko.
Aku bermimpi. Mimpi tentang saat aku masih SD. Dulu aku anak yang rajin dan pendiam, tapi aku punya kebiasaan tertidur saat pelajaran siang pertama. Guru-guru sering mencecarku karena tertidur.
Saat itu aku mengagumi guru lelaki muda ini yang baru saja lulus dari universitas. Aku masih merasa malu ketika ditegur, namun untuk beberapa alasan aku sangat menyukai caranya dia membangunkanku. Dia akan menggoyang-goyangkan bahuku dengan pelan dan bicara dengan suara yang pelan dan halus---
"Erm, maaf tapi..."
"I-iya, maafkan aku!"
"Wha?!"
Aku berteriak dan melompat seperti pegas. Didepanku berdiri seorang pemain laki-laki dengan ekpresi terkejut terpasang di wajahnya.
"Huh...?"
Aku melihat sekelilingku. Yang terlihat bukanlah ruang kelas yang berisi barisan-barisan meja. Pepohonan yang tertanam di sepanjang jalan, jalur air yang mengiringi jalanan batu yang luas, halaman yang tertutup rerumputan; rumah keduaku, Lindus.
Tampaknya aku tadi melamun untuk pertama kalinya setelah beberapa lama. Aku batuk untuk menyembunyikan rasa maluku dan menyambut orang yang kelihatannya adalah pelanggan.
"Se-selamat datang. Kamu mencari senjata?"
"Erm, iya."
Pemuda itu mengangguk.
Dia tidak terlihat seperti seseorang yang berlevel sangat tinggi. Dia tampak hanya sedikit lebih tua dariku; rambut hitam dengan baju, celana, dan sepatu yang simpel. Satu-satunya persenjataan yang dia miliki hanyalah pedang satu tangan di punggungnya. Senjata-senjata di tokoku memerlukan stats yang tinggi dan aku khawatir apa levelnya dia cukup tinggi, tapi aku tidak memperlihatkan kekhawatiranku dan memandunya ke dalam toko.
"Bagian pedang satu tangan di sebelah sana."
Melihatku menunjuk ke arah bagian senjata-senjata dasar, dia tersenyum sedikit canggung dan berkata.
"Ah, begini, aku ingin memesan yang buatan sendiri..."
Aku makin tambah khawatir. Bahkan senjata pesanan yang termurah pun, yang butuh bahan-bahan khusus untuk menempanya, berharga lebih dari seratus ribu coll. Kalau dia mulai panik mendengar harganya, aku juga jadi malu, jadi kucoba menghindari situasi itu.
"Harga logam sekarang lagi agak tinggi, jadi kupikir harganya akan sedikit mahal..."
Begitu kuberitahu, pemuda berpakaian serba hitam itu mengucapkan hal yang sama sekali tak bisa dipercaya dengan ekpresi cuek.
"Ga usah khawatir terhadap harganya. Tolong tempa saja pedang terbaik yang kamu bisa sekarang."
"..."
Aku terbelalak menatap wajahnya selama beberapa saat kemudian entah bagaimana aku berhasil membuka mulutku.
"...Yaa, walau kamu bilang begitu... aku harus punya gambaran tentang kualitasnya..."
Intonasiku sedikit lebih kasar dari biasanya, tapi nampaknya dia tidak peduli dengan itu dan hanya mengangguk.
"Bener juga. Kalo gitu..."
Dia mengambil pedang di punggungnya, masih disarungkan, dan memberikannya padaku.
"Gimana kalau pedang dengan kualitas sama atau lebih bagus dari yang ini?"
Tidak terlihat seperti senjata yang hebat. Gagangnya dililit oleh bahan kulit berwarna hitam; warna yang sama dengan pangkalnya. Tapi saat aku mengambilnya dengan tangan kananku---
Berat!!
Aku hampir menjatuhkannya. Persyaratan stat kekuatannya luar biasa tinggi. Sebagai seorang blacksmith dan pengguna gada, aku cukup percaya diri dengan kekuatanku. Tapi aku ga akan pernah bisa mengayunkan pedang ini.
Dengan ragu-ragu aku menariknya dari sarungnya dan pedang yang hampir hitam sempurna itu berkilat. Aku tahu pedang ini adalah pedang berkualitas tinggi hanya dengan melihatnya sekilas. Kuklik pedang itu dengan jariku untuk memanggil layar popup: kategori «Pedang-Panjang/Satu Tangan», nama uniknya «Elucidator». Tidak ada nama pembuatnya, berarti pedang ini bukanlah buatan seorang blacksmith.
Kalian bisa memisahkan semua senjata di Aincrad menjadi dua kelompok.
Satu adalah "Buatan pemain", artinya senjata yang dibuat oleh kami, para blacksmith. Yang satunya lagi adalah senjata yang diperoleh dari berpetualang sebagai "Benda yang dijatuhkan monster". Tak perlu dikatakan lagi, para blacksmith tidak begitu suka senjata-senjata yang dijatuhkan itu. Aku bahkan tidak bisa memulai untuk menghitung semua nama seperti 'Tidak bernama' atau 'Tidak bermerek' yang diberikan pada senjata-senjata tersebut.
Tetapi pedang ini tampak seperti benda yang sangat langka diantara benda yang dijatuhkan monster. Jika kalian membandingkan kualitas rata-rata senjata buatan pemain dan senjata yang dijatuhkan monster, yang lebih baik adalah yang pertama. Tapi sekali-sekali, «Pedang Setan» seperti ini muncul — begitulah yang kudengar.
Bagaimanapun, harga diriku sekarang menjadi taruhannya. Sebagai seorang blacksmith, ga mungkin aku akan kalah dengan senjata jatuhan. Aku mengembalikan pedang yang berat itu dan mengambil sebuah pedang panjang yang tergantung di dinding belakang toko. Aku menempa pedang ini sebulan lalu dan inilah pedang terbaik yang bisa kutempa sekarang. Pedang yang kutarik dari sarungnya itu dibubuhi warna kemerah-merahan, seakan-akan diliputi oleh api.
"Ini pedang terbaik di tokoku sekarang. Kemungkinan besar ga akan kalah dengan pedangmu."
Dia mengambil pedang itu tanpa bicara, mengayunkannya dengan satu tangan, kemudian memiringkan kepalanya.
"Sedikit enteng ya."
"...Aku menggunakan logam tipe kecepatan untuk membuatnya..."
"Hmm..."
Ekpresi curiga terlihat di wajahnya dan dia mengayunkan pedang itu beberapa kali lagi sebelum memalingkan tatapannya ke arahku dan bertanya.
"Boleh aku mengetesnya sedikit?"
"Tes apanya...?"
"Ketahanan."
Pemuda itu menarik pedangnya, yang ia pegang di tangan kirinya dari tadi, lalu meletakkannya di atas konter. Kemudian dia berdiri di sampingnya dan perlahan-lahan mengangkat pedang yang kemerah-merahan dengan lengan kanannya.
Menyadari apa yang ingin dia lakukan, aku mencoba menghentikannya.
"Tu-tunggu! Kalau kamu lakukan itu pedangnya akan rusak!"
"Kalau pedang ini rusak semudah itu maka ini tidak berguna. Kalau itu terjadi akan kuurus nanti."
"Itu..."
Itu benar-benar gila, adalah yang ingin kukatakan, tapi kuhentikan diriku. Dia memegang pedangnya di atas kepalanya dan matanya bersinar tajam. Segera, pedang itu mulai bersinar dengan cahaya biru.
"Hyah!"
Dengan sebuah pekikan, dia mengayunkan pedang itu dengan kecepatan luar biasa. Kedua pedang tersebut saling beradu satu sama lain sebelum aku sempat berkedip, dan dentumannya bergema keras di dalam toko. Karena kilatan yang dihasilkannya terlalu terang, aku memicingkan mataku untuk melihatnya, lalu mundur selangkah ke belakang...
Bilahnya terbelah dua dengan rapi dan telah benar-benar hancur.
---Pedang karya terbaikku.
"AHHHHHH!!"
Aku berteriak dan buru-buru menggapai tangan kanannya. Kuambil setengah bagian yang tersisa dan memeriksanya dengan hati-hati dari semua sudut.
...Reparasi... sudah tidak mungkin.
Begitu sampai pada kesimpulan itu bahuku terkulai lemas, setengah yang sisanya lagi berhamburan menjadi pecahan poligon. Setelah beberapa detik yang hening lewat, aku mengangkat kepalaku pelan-pelan.
"Wha...wha..."
Aku menggenggam kerahnya selagi bibirku gemetaran.
"Kamu mau ngapain sekarang---!! Ini rusak---!!"
"Ma-maaf! Aku ga pernah mengira kalau pedang yang kuayun akan patah..."
...Snap.
"Dengan kata lain, kamu ingin mengatakan kalau pedangku lebih lemah dari yang kamu kira!?"
"Errr---ummm--- yaa, iya."
"Ah!! Sekarang kamu langsung jujur gitu aja!?"
Aku lepaskan kerahnya, kuletakkan kedua tanganku di pinggul dan menegakkan dadaku.
"Ku--- kuberitahu kamu! Kalau aku punya bahan yang tepat aku bisa membuat senjata-senjata yang bisa mematahkan pedangmu sebanyak apapun yang aku mau!"
"—Oh?"
Dia tersenyum mendengar ucapan yang kukatakan dalam kondisi marah itu.
"Kalau begitu aku ingin memintamu untuk membuatnya; sesuatu yang bisa mematahkan pedang ini begitu saja."
Dia mengambil pedang di konter dan menyarungkannya. Darah akhirnya menyerbu naik ke kepalaku dan---
"Jadi gitu ya!? Oke! Kalo gitu kamu bantuin juga! Mulai dengan membantuku mendapatkan bahan-bahannya!"
Aku tahu kalau aku baru saja membuat kesalahan, tapi nasi sudah menjadi bubur. Ga mungkin aku mundur sekarang. Tapi dia tidak bergeming sama sekali dan mencermatiku dengan kasar.
"...Begini, aku tidak keberatan, tapi bukannya lebih baik kalau aku pergi sendiri? Akan jadi masalah kalau kamu menyulitkanku."
"Argh--!!"
Ternyata orang yang sehebat ini dalam memanas-manasi orang benar-benar ada. Aku mengibas-ngibaskan tanganku dengan liar dan protes seperti anak kecil.
"Ja-jangan meremehkanku! Begini begini, aku seorang pengguna gada!"
"Whew~"
Pemuda itu bersiul. Sekarang dia cuma asyik sendiri.
"Kalau begitu, aku akan menantikannya. ---Omong-omong, akan kubayar pedang yang kupatahkan."
"Ga usah melakukan itu! Inget aja kalau aku membuat pedang yang lebih bagus dari pedangmu, akan kubuat kamu membayar segunung!"
"Oke, sebanyak apapun yang kamu mau. ---Aku Kirito. Kuharap kita berteman baik sampai pedangnya selesai."
Aku menyilangkan tanganku dan membuang pandangan.
"Kuharap kita berteman baik, Kirito."
"Uwa, kamu langsung memanggil namaku seperti itu? Yah, aku oke oke saja sih. Kuharap kita berteman baik, Lisbeth."
"Kaaah--!!"
---kesan pertama terburuk yang pernah ada untuk membentuk sebuah kelompok.
Bagian 2
Rumor tentang «Logam Itu» mulai beredar diantara para blacksmith sekitar sepuluh hari yang lalu. Tentu saja, tujuan utama SAO adalah mencapai lantai teratas dan mengalahkan gamenya. Tapi selain itu, terdapat juga berbagai jenis quest lainnya: misi dari para NPC, misi pengawalan, mencari harta karun, dan lain-lain. Tetapi karena hadiahnya biasanya termasuk equipment yang diinginkan, kebanyakan quest tersebut memiliki waktu jeda setelah diselesaikan sebelum tersedia lagi. Bahkan ada juga quest yang hanya bisa diselesaikan sekali saja, alhasil quest itu pun benar-benar menarik perhatian para pemain.
Salah satu dari misi-misi semacam itu ditemukan di dusun kecil di sudut lantai 55. Seorang NPC kepala desa berjanggut putih berkata--- Ada naga putih yang hidup di pegunungan bagian barat, yang menyantap kristal setiap hari sebagai makanannya dan menimbunnya dalam jumlah besar di dalam perutnya hingga menciptakan suatu logam yang langka dan sangat berharga. Jelas ini adalah misi yang hadiahnya berupa bahan material yang menakjubkan, jadi sejumlah besar orang langsung membentuk kelompok penyerangan yang bisa mengalahkan naga tersebut dengan mudahnya. ---Namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Naga itu hanya menjatuhkan sedikit Coll dan beberapa equipment berkualitas rendah, yang bahkan tidak bisa menutupi biaya ramuan penyembuh dan kristal yang digunakan.
Setelah itu, semua orang menduga kalau logam itu hanya berpeluang untuk dijatuhkan, oleh karena itu banyak kelompok berbicara pada tetua tadi dan mengalahkan naga tersebut, tapi masih belum ada orang yang menemukan logam itu. Dalam seminggu, tak terhitung banyaknya jumlah naga putih yang terbunuh, tetapi tidak ada kelompok yang berhasil menemukan logam itu. Seseorang akhirnya mengusulkan bahwa ada kondisi khusus yang harus dipenuhi, jadi sekarang semua orang berusaha keras untuk mencari tahu apa kondisi yang dimaksud.
Setelah mendengarkan penjelasanku, pemuda yang bernama Kirito, yang menghirup teh yang tidak ingin kubuat, yang duduk di kursi ruang kerjaku dengan kakinya disilangkan, menjawab 'ah...' dan mengangguk pelan.
"Aku juga pernah denger tentang ini. Sepertinya memang ada kemungkinan memperoleh material langka. Tapi sejauh ini belum ada orang yang mendapatkannya kan? Apa kita bisa mendapatkan sesuatu kalau kita pergi sekarang?"
"Diantara teori-teori yang beredar, salah satunya mengklaim kalau 'harus ada blacksmith di dalam kelompok', karena tidak banyak blacksmith yang melatih skill bertarung mereka dengan baik."
"Jadi itu sebabnya; kedengarannya bener juga sih--- kalau benar begitu, kita harus segera berangkat."
"......"
Aku menatap wajah Kirito dengan marah.
"Aku heran kamu bisa hidup sampai hari ini dengan akal sehat yang kurang kayak gitu. Ini bukan berburu goblin! Kita harus membentuk kelompok yang bagus dan..."
"Tapi kalau kita melakukan itu, maka nantinya jika material itu jatuh pun, ada kemungkinan kita ga akan mendapatkannya kan? Naga putih itu ada di lantai berapa?"
"...Lantai 55."
"Heh--- Kalau gitu aku sendirian pun bisa; kamu bahkan ga perlu bantuin."
"...Kamu ini kuat banget, apa cuma bodoh banget? Biarlah, aku ga peduli, pemandangan kamu menangis sambil teleport melarikan diri juga kedengaran lumayan menarik."
Kirito hanya tergelak, menghabiskan tehnya tanpa membalas, dan menaruh cangkirnya kembali di atas meja.
"Aku siap berangkat kapan aja; gimana dengan kamu, Lisbet?"
"Ah--- sudahlah, karena kamu ga akan menambahkan sebutan kehormatan juga, panggil aja aku Lis... gunung naga putih itu ga terlalu besar, jadi kita harusnya bisa kembali hari ini juga. Aku bersiap-siap dulu sebentar ya."
Setelah membuka layar pengaturan-ku, pertama aku memasangkan armor sederhana di atas rok-ku, lalu memastikan kalau gada milikku berada di dalam inventaris dan aku memiliki cukup ramuan dan kristal.
Aku menutup layar itu dan berkata oke, kemudian Kirito kembali berdiri. Untungnya, tidak ada pelanggan yang terlihat selama kita menuju pintu toko dari ruang kerjaku. Aku lekas membalik tanda di pintu.
Aku mengangkat kepalaku dan melihat keluar; cahaya matahari yang masuk masih terang, jadi masih ada waktu lumayan banyak sebelum hari menjadi gelap. Apakah kita akan mendapatkan logam itu atau tidak--- yang terakhir sepertinya lebih mungkin bagaimanapun aku memikirkannya--- Aku tidak ingin pulang terlalu malam.
Walaupun begitu.
---Bagaimana aku berakhir di situasi aneh ini...
Setelah meninggalkan toko, aku berjalan menuju gerbang plasa sambil merenung.
Aku pastinya punya kesan buruk terhadap lelaki berpakaian serba hitam yang berjalan dengan santainya di sampingku--- seperti yang seharusnya. Bukan saja apapun yang dikatakannya membuatku marah, dia juga seorang megalomaniak yang sombong, dan yang paling penting, dia menghancurkan mahakaryaku.
Tapi tetap saja, aku berjalan beriringan dengan orang yang baru saja kukenal. Kita bahkan membentuk sebuah kelompok dan bersiap untuk memburu monster di lantai lain; ini benar-benar seperti--- seperti ken...
Sampai disini, aku langsung memutus pemikiran itu dengan paksa. Aku belum pernah mengalami hal seperti ini sampai sekarang. Walau aku lumayan dekat dengan beberapa pemain laki-laki, aku selalu membuat alasan untuk menghindar pergi bersama mereka hanya berdua saja. Aku ingin memastikan kalau orang pertama yang berpasangan denganku adalah orang yang benar-benar kusukai, setidaknya begitulah rencanaku.
Tapi ketika aku sadar, aku sudah bersama orang aneh ini... kenapa bisa sampai kayak gini sih!
Sama sekali tidak menyadari kegalauanku, Kirito melihat seorang penjual makanan di dekat gerbang plasa dan buru-buru mendatanginya. Sewaktu ia berbalik, di mulutnya sudah ada sebuah hot dog raksasa.
"Kaamu vau nuga?"
...Pergolakan batinku seketika dipenuhi dengan rasa tak berdaya dan aku merasa seperti orang idiot karena menjadi satu-satunya yang galau. Jadi aku berteriak membalas:
"Iya!"
Rasa renyah hot dog itu--- lebih tepatnya, makanan misterius yang terlihat seperti hot dog--- masih tersisa di mulutku ketika ketika sampai di dusun yang dirumorkan itu di lantai 55.
Kita juga tidak bermasalah dengan monster-monster di sini.
Mempertimbangkan bahwa garis depannya adalah lantai 63 sekarang, monster-monster disini lumayan kuat. Tapi levelku sekitar 65, dan si sombong Kirito itu harusnya sekuat itu juga, jadi kita melalui pertempuran-pertempuran nyaris sama sekali tidak terluka.
Satu-satunya kesalahan adalah tema lantai ini melibatkan padang es dan salju---
"Achoo!"
Aku bersin dengan keras segera setelah kita memasuki desa kecil itu dan rileks. Dikarenakan semua lantai lainnya sedang berada ada di awal musim panas, aku menjadi lengah. Bukan saja tanah disini dilapisi salju, namun setiap bangunan masih memiliki stalagtit es raksasa bergantung di atapnya.
Dinginnya musim salju yang menusuk tulang ini menyebabkan seluruh badanku menggigil hebat. Kirito, yang berdiri di sampingku, memasang ekspresi menjengkelkan dan berkata:
"...Kamu ga bawa baju lagi?"
"...Enggak."
Kemudian, Kirito yang tampaknya berpakaian tipis itu mengoperasikan layarnya. Terwujudlah sebuah mantel bulu hitam, yang dipakaikannya pada kepalaku.
"...Kamu sendiri gapapa?"
"Ini semua cuma masalah tekad."
Setiap kalimat yang diucapkan orang ini membuatku kesal. Tetapi mantel bulu itu terlihat cukup hangat, jadi aku tidak mampu menolaknya dan memakainya dengan cepat. Aku menghela nafas lega begitu dinginnya terpaan angin itu menghilang seketika.
"Umm... menurut kamu rumahnya tetua itu yang mana?"
Mendengar ucapan Kirito, aku mengamati desa kecil ini, dan menemukan sebuah rumah yang besarnya tidak biasa di seberang plasa utama.
"Rumahnya yang itu kan?"
"Iya."
Kita berdua mengangguk dan mulai berjalan.
---Beberapa menit kemudian.
Sesuai prediksi, kita menemukan NPC tetua berjanggut putih dan sukses mengawali pembicaraan. Ceritanya penuh dengan detil-detil tidak berguna yang dimulai dari masa kanak-kanaknya yang panjang dan membosankan, masuk ke tahun-tahun remajanya, melewati hari-hari kesusahannya saat dewasa, dan kemudian tiba-tiba menyebutkan seekor naga putih di pegunungan di barat. Ketika dia akhirnya selesai, cahaya oranye matahari terbenam sudah telanjur meliputi seluruh desa.
Kita meninggalkan rumah tetua desa itu merasa benar-benar kehabisan tenaga. Salju yang menutupi rumah-rumah ternodai oranye oleh matahari terbenam. Benar-benar pemandangan yang indah tiada tara, namun---
"...Aku ga pernah mengira kalau menerima quest aja menghabiskan waktu sebanyak itu..."
"Tidak bisa dipercaya... yah, sekarang gimana? Apa kita nunggu sampai besok aja?"
Aku memalingkan kepalaku dan memandang Kirito.
"Hmmm--- tapi kudengar naga putih itu nokturnal. Apa gunungnya yang itu?"
Memandang arah yang ditunjuk oleh Kirito, aku melihat sebuah puncak putih yang mencakar langit. Walau aku mengatakan seperti itu, batasan struktural Aincrad berarti tingginya tidak mungkin melebihi 100 meter, jadi mendakinya seharusnya tidak sulit.
"Oke, ayo kita pergi. Aku juga ingin cepat-cepat melihat muka nangismu."
"Asal jangan terpukau dengan skill pedangku yang hebat aja."
Kita berdua membuang muka dari satu sama lain dengan sebuah 'hmph'. Tapi entah mengapa, bagaimana ya, meskipun aku berdebat dengan Kirito, hatiku mulai terasa sedikit goyah---
Aku menggelengkan kepalaku dengan paksa demi menghilangkan pikiran-pikiran bodoh ini dan kemudian mulai merintis jalanku melewati salju.
Meskipun kecuraman gunung naga putih itu terlihat berbahaya dari jauh, ternyata sebenarnya sangat mudah didaki.
Sewaktu kupikirkan lagi, banyak tim dadakan yang berhasil melakukan ini tanpa masalah, jadi ga mungkin pendakian ini susah.
Walaupun sudah petang, yang mempengaruhi kekuatan monster yang muncul, monster terkuat yang mungkin muncul sekarang hanyalah tengkorak es bernama «Tulang Beku». Apalagi, monster bertipe tulang bukanlah tandingan bagi gada milikku. Aku dengan mudah terus meremukkan mereka dengan suara rekah yang jelas.
Setelah berjalan melalui jalanan berlapis salju selama beberapa lusin menit dan berbelok menuju tebing es yang curam, kita sudah mencapai puncaknya.
Bagian bawah lantai selanjutnya sangatlah dekat. Tiang-tiang raksasa dari pilar-pilar kristal yang rekah menonjol dari lapisan salju yang tebal. Cahaya ungu dari matahari terbenam terbiaskan oleh tiang-tiang ini dan terhambur menjadi spektrum warna-warni pelangi, melukis pemandangan yang hanya bisa digambarkan dalam mimpi-mimpi.
"Waah...!"
Begitu aku bersorak tanpa ditahan dan akan berlari ke sana, Kirito menggenggam kerahku untuk menghentikanku.
"Oi... Kamu ngapain!"
"Hei, siap-siap memakai kristal dulu."
Menghadapi ekspresinya yang sangat serius, aku hanya bisa mengangguk tanpa perlawanan. Aku mewujudkan kristalnya lalu menaruhnya ke dalam kantong celemekku.
"Dan juga, dari sekarang akan mulai berbahaya, jadi sebaiknya aku melanjutkan sendiri saja. Begitu naga putihnya muncul, sembunyi aja dibalik pilar kristal sebelah sana dan jangan sekali-kali keluar."
"...Kenapa? Levelku juga lumayan tinggi! Aku juga mau membantu!"
"Enggak!"
Bola mata Kirito yang hitam menatap langsung kedua mataku. Begitu pandangan kita bertemu, aku mengerti bahwa orang ini benar-benar khawatir terhadap keselamatanku dari lubuk hatinya, jadi aku menghela desahan panjang dan mengalah. Aku tidak berkata apapun dan hanya mengangguk kecil.
Sebuah senyuman menjalar di wajah Kirito selagi dia membelai kepalaku dan berkata "ya sudahlah, ayo pergi." Aku hanya terus mengangguk.
Rasanya seperti atmosfernya tiba-tiba berubah sama sekali.
Setelah berpergian sejauh ini dengan Kirito, apa mungkin perasaanku berubah? Atau aku terbawa suasana--- yang manapun, aku sama sekali tidak merasa kalau ini adalah pertemuan yang mengancam nyawa.
Lebih dari setengah pengalamanku adalah menempa senjata, jadi aku belum pernah memasuki medan tempur yang kejam.
Tapi aku merasa orang ini berbeda. Dia punya tatapan yang hanya dimiliki oleh orang yang bertarung setiap hari di tempat paling berbahaya yang mungkin.
Aku terus berjalan dengan emosi campur aduk sebelum sebentar kemudian kita tiba di bagian tengah puncak.
Dengan cepat kita melihat kesana-kemari, tapi tidak menemukan tanda apapun dari naga putih. Namun, kita melihat sebuah wilayah yang tersegel oleh pilar-pilar kristal---
"Wow..."
Di situ terdapat sebuah mulut gua raksasa yang berdiameter setidaknya sepuluh meter. Cahaya yang terpantul di dinding menjangkau jauh ke dalam lubang, sementara kegelapan yang tak tertembus menutupi wilayah yang lebih dalam lagi.
"Dalem banget..."
Kirito menendang sebuah bongkahan kecil kristal ke dalam lubang itu. Kristal yang jatuh itu berkilau sesaat sebelum sama sekali menghilang tanpa suara.
"Jangan jatuh."
"Ga bakalan!"
Tidak lama setelah aku menjawab, sebuah lengkingan liar yang tajam menembus keluar dari gua itu dan menjalar ke seluruh gunung melalui udara yang ternoda biru oleh matahari terbenam.
"Sembunyi di balik situ!"
Kirito menunjuk ke arah sebuah pilar raksasa terdekat dan berbicara dengan nada memerintah. Aku buru-buru mengikuti instruksinya sambil melambai berlebihan pada bayangan Kirito dan berteriak:
"Hei... serangan naga putih itu adalah sayatan menggunakan kedua cakar, tiupan yang membekukan, dan serangan badai salju... h- hati-hati!"
Setelah dengan cepat menambahkan kalimat terakhir itu, aku melihat Kirito, yang menjaga punggungnya tetap ke arahku, sok keren memberi tanda oke dengan tangan kirinya. Ruang kosong di depannya mulai bergetar, dan sebuah sosok besar meledak keluar dari lubang tersebut.
Berbagai macam poligon-poligon besar berbentuk aneh muncul dalam aliran yang berkelanjutan. Selagi terus bermunculan--- mereka saling bersambungan satu dengan yang lain dan identitas sosok besar itu pun makin jelas. Jeritan yang menggentarkan orang menggaung tak terkendali sekali lagi. Tak terhitung banyaknya beling yang terhambur keluar ke semua arah sebelum menghilang ke dalam sinar cahaya.
Seekor naga putih yang ditutupi semacam sisik dari beling es muncul. Pelan-pelan dia mengepakkan sayapnya yang besar selagi melayang-layang di langit. Situasinya menakutkan--- atau mungkin lebih pantas digambarkan sebagai sangat sangat indah. Dia membelalak dengan matanya yang besar, terwarnai merah delima, memberikan tatapan merendahkan pada kita berdua.
Kirito dengan tenang menggapaikan tangannya menuju punggungnya dan menghunuskan pedang satu-tangannya yang hitam legam dengan nada sempurna. Kemudian, seakan suara itu mengirimkan sebuah sinyal, sang naga putih membuka rahang raksasanya--- dan dengan suara keras, menyemprotkan gas putih yang bergelombang.
"Itu tiupannya! Lari dari situ!"
Meskipun aku berteriak, Kirito tidak bergeming. Dia berdiri tegak sempurna dan melambung ke atas dengan pedang di tangan kanannya.
Ga mungkin senjata setipis itu bisa menangkis sebuah serangan tiupan---
Segera setelah aku memikirkannya, pedang Kirito mulai berputar seperti kincir angin yang berpusat di tangannya. Berdasarkan efeknya yang berwarna hijau muda, pastilah itu sebuah skill pedang. Dalam hanya sedetik, pedang tersebut mencapai kecepatan yang tak terlihat oleh mata manusia dan tampak seperti perisai cahaya.
Tiupan es itu mengalir langsung ke arah perisai cahaya selagi memancarkan cahaya putih yang memusingkan, memaksaku untuk mengalihkan kedua mataku. Tapi, saat menghantam pedang-perisainya Kirito, udara dingin itu terhambur seperti teruapkan.
Aku lekas fokus pada badan Kirito untuk memastikan HP nya.
Mungkin memang mustahil untuk benar-benar menangkis tiupan itu, karena bar nyawanya pelan-pelan terkuras. Tapi yang mengejutkan adalah, luka yang diterimanya sudah pulih hanya dalam beberapa detik. Ini pasti skill bertarung «Battle Healing» yang levelnya sangat tinggi--- tapi untuk menaikkan skill ini, orang tersebut harus menerima luka pertarungan yang sangat banyak. Mempertibangkan lantai yang sekarang, mustahil melakukan itu tanpa membahayakan dirinya.
Kirito--- siapa dia...?
Baru sekarang aku mulai benar-benar penasaran mengenai identitas swordsman hitam ini. Kekuatannya yang tak masuk akal membuatnya terlihat seperti pemain kunci strategis. Tapi namanya tidak termasuk ke dalam daftar pemain guild terkuat yang didominasi KOB.
Saat ini, Kirito, yang telah memprediksi dengan akurat akhir dari serangan es yang gencar ini, mulai bergerak. Dia menerobos kabut bersalju dan meloncat menuju sang naga yang tengah mengambang di udara.
Normalnya, ketika menghadapi musuh yang terbang, seseorang harusnya menyerang pertama kali dengan tombak atau sejenis senjata lempar; hanya setelah senjata jarak jauh tersebut memukul jatuh musuh ke darat dahulu baru para pemakai senjata jarak dekat ikut bertarung. Tapi secara mengejutkan, Kirito terbang ke atas sampai dia hampir menyentuh kepala naga putih itu, dimana dia mulai mengawali kombinasi teknik pedang berturut-turut di udara.
Dengan dentingan tajam, serangan gencar Kirito menghantam torso naga putih pada kecepatan lebih cepat dari yang bisa diikuti mata manusia. Meski naga putih itu membalas dengan kedua cakarnya, perbedaan kemampuan mereka berdua terlalu jauh.
Saat Kirito sudah pelan-pelan mendarat ke tanah, bar HP naga putih itu sudah berkurang lebih dari sepertiganya.
---Ini pembantaian satu arah. Menonton pertarungan luar biasa ini membuat badanku tak henti-hentinya bergidik.
Tiba-tiba naga putih itu menyasar Kirito yang mendarat dan meletuskan tiupan esnya, tapi kali ini dia berlari untuk menghindari serangan itu dan kemudian kembali meloncat ke udara. Dengan suara yang berat dan dalam, sebuah serangan yang kuat menghantam sasarannya, dan darah naga putih itu pun berkurang signifikan.
Bar HP nya langsung berubah dari kuning ke merah, pertarungan itu harusnya berakhir hanya dengan satu atau dua serangan lagi. Aku memutuskan kali ini aku akan memuji kemampuan Kirito dengan jujur dan mengambil langkah maju dari balik pilar kristal.
Saat itu juga, seakan dia punya mata di belakang kepalanya, Kirito tiba-tiba berteriak:
"Idiot! Jangan keluar dulu!"
"Apa? Jelas-jelas sudah mau selesai kan? Cepet selesaikan aja deh..."
Begitu aku menjawab dengan suara keras---
Naga itu, terbang lebih tinggi lagi dari yang tadi, membentangkan penuh sayapnya. Begitu sayapnya terkepak ke depan, salju yang tepat di bawah naga itu meletup beterbangan.
"......?"
Aku berdiri membeku terkejut oleh adegan di hadapanku. Kirito menancapkan pedangnya ke tanah beberapa meter di depanku dan menggerakkan mulutnya seperti ingin memberitahuku sesuatu, namun sosoknya segera terhalangi oleh salju. Sesaat kemudian sebuah tekanan yang hebat, seperti sebuah dinding angin, menghantam dan dengan mudah meniupku ke udara.
Sial... serangan badai salju!
Saat aku terguling di udara, aku akhirnya ingat apa yang aku sendiri ucapkan mengenai serangan naga putih. Untungnya, skill ini daya serangnya tidak besar, jadi aku hampir tidak mendapat luka apapun. Aku membuka lebar kedua lenganku dan mengambil postur mendarat.
Tapi begitu saljunya menghilang--- tidak ada pijakan di tanah di hadapanku.
Itu lubang raksasa yang ada di puncak gunung. Aku telah tertiup ke udara tepat di atas lubang raksasa ini.
Pikiranku langsung berhenti; seluruh tubuhku benar-benar membeku.
"Kau pasti bercanda..."
Dengan pikiranku yang sama sekali lumpuh, aku hanya bisa menggumamkan kata-kata itu, seraya tangan kananku menggapai udara sia-sia---
---Sebuah tangan yang hanya ditutupi sarung tangan kulit berwarna hitam tiba-tiba menyambar jemariku.
Mataku yang tak fokus tiba-tiba terbelalak.
...!
Kirito, yang tadi menghadapi naga putih itu di tempat yang jauh, berpacu ke sini dengan kecepatan menakutkan dan melompat ke udara tanpa ragu-ragu. Dia menarik tangan kanannya untuk menggenggam tangan kananku lalu menarikku dalam dekapannya. Setelah itu dia melonggarkan lengan kanannya untuk melingkarkannya pada punggungku dan memelukku dengan erat.
"Pegangan yang kuat!"
Mendengar suara Kirito bergaung di samping telingaku, aku lupa diriku sendiri dan memeluk erat badannya dengan kedua lenganku. Kita mulai jatuh sekejap kemudian.
Di tengah mulut gua itu, kita berdua jatuh lurus ke bawah sambil berpelukan satu sama lain. Angin menderu-deru di telinga dan mantel kita berkibar liar.
Kalau lubang ini terus memanjang ke bawah sampai ke permukaan lantai, maka jatuh dari ketinggian ini artinya kematian yang pasti. Pikiran ini tiba-tiba melintas di benakku, tapi aku hanya tidak merasa ini benar-benar terjadi sekarang. Yang bisa kulakukan hanyalah terbengong menatap lingkaran cahaya putih yang menghilang.
Tiba-tiba, lengan kanan Kirito yang memakai pedang mulai bergerak. Dia mengangkat pedang itu dengan paksa dan mengayunnya ke depan. Sebuah kilatan cahaya meletup, ditemani oleh gema keras 'clang' dari logam yang saling berbenturan.
Gaya tolaknya mengubah lintasan jatuh kita, mendorong kita menuju dinding gua. Dinding beku yang biru pelan-pelan mendekat, dan aku tak bisa berbuat apapun selain menggigit gigiku. Kita akan tabrakan---!
Tepat sebelum kita akan membentur dinding, Kirito mengangkat pedang di tangan kanannya sekali lagi dan menusukkannya ke dinding dengan kekuatan penuh. Percikan api meledak keluar seakan senjata itu membentur batu asah. Serangan tiba-tiba itu mengurangi kecepatan jatuh kita, namun tidak mampu untuk benar-benar menghentikan kita jatuh.
Suara lengkingan dari logam yang memotong berlanjut selagi pedang Kirito terus memotong dinding esnya. Aku memutar leherku untuk melihat ke bawah dan sadar bahwa kita sudah bisa melihat dasar gua yang tertutup salju. Aku mengamatinya makin dekat dan dekat, sampai hanya ada sekitar beberapa detik lagi yang tersisa sebelum kita tabrakan. Aku setidaknya ingin menahan diri dari berteriak, jadi aku menggigit bibirku dan memeluk erat Kirito.
Kirito melepaskan pedangnya, menggunakan kedua lengannya untuk memelukku dengan erat, dan memutar badannya supaya dia yang berada di bawah. Lalu---
Sebuah benturan. Suaranya amat keras.
Kepingan-kepingan salju yang terlempar ke udara oleh gaya yang dihasilkan oleh jatuhnya kita mulai mendarat dengan pelan di pipiku sebelum meleleh.
Sensasi dinginnya menarik kembali pikiran-pikiranku yang terpencar. Aku membuka mataku, dan pandanganku bertemu dengan bola mata hitam Kirito yang berbaring sangat dekat sekali dariku.
Kirito masih memelukku dengan erat; dia mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum lemah.
"...Masih hidup?"
Aku balas mengangguk dan menjawab:
"Iya, masih hidup."
Selama beberapa lusin detik--- atau mungkin beberapa menit, kita hanya berbaring diam dalam posisi itu. Panas dari tubuh Kirito membuatku bisa tenang dan mengosongkan pikiran.
Setelah beberapa saat, Kirito melepaskan lenganku dan kembali berdiri pelan-pelan. Pertama dia mengambil pedangnya yang jatuh dekat situ dan mengembalikannya ke inventarisnya, setelah itu menarik keluar sebuah botol yang sepertinya adalah ramuan penyembuh kelas atas dari kantong di pinggangnya, dia juga mengambil sebotol lagi untukku.
"Udah, minum aja."
"...Oke."
Aku mengangguk dan duduk untuk menerima ramuan itu sambil memeriksa bar HP ku sendiri. Aku masih punya sekitar sepertiga, tapi Kirito, yang langsung membentur tanah, sudah sampai di zona merah.
Aku menarik sumbatnya dan meneguk cairan manis itu dalam satu tarikan nafas, lalu berpaling pada Kirito. Masih dalam posisi rileks, aku mulai menggerakkan bibir yang kesulitan mengatakan hal baik.
"Ummm... ma-makasih udah menyelamatkanku..."
Kirito memperlihatkan dengan lemah seringainya yang biasa dan menjawab:
"Masih terlalu cepat berterima kasih kepadaku."
Dia melirik langit sesaat.
"...Syukurlah naga putih itu tidak mengejar kita, tapi gimana caranya kita keluar dari sini..."
"Eh... kita ga bisa teleport aja?"
Aku menggapai saku celemekku dan mengambil sebuah kristal biru berkilauan untuk menunjukkan pada Kirito. Tapi---
"Sepertinya itu ga bisa, perangkap ini dibuat khusus untuk pemain, aku ragu kita bisa keluar segampang itu."
"Kenapa bisa begini..."
Kirito mengisyaratkan padaku dengan matanya untuk mencobanya, jadi aku menggenggam kristal itu dengan erat dan memberi perintah:
"Teleport! Lindus!"
---Teriakanku menggema kosong pada dinding yang beku sebelum akhirnya menghilang. Kristal itu hanya terus berkedip dengan bisu.
Kirito meremas pelan bahuku tanpa membuat suara apapun.
"Kalau kupikir kita bisa memakai kristal, pastinya tadi sudah kupakai waktu kita jatuh. Tapi karena tempat ini rasanya adalah zona anti kristal..."
"..."
Kepalaku jatuh dalam keputusasaan; Kirito meletakkan tangannya di kepalaku dengan sebuah 'pat' dan mengusutkan rambutku.
"Udah udah, jangan nangis. Kalau kita ga bisa memakai kristal, pasti ada jalan lain untuk keluar dari sini."
"...Mungkin enggak, mungkin ini adalah lubang tak bisa keluar yang menjamin kematian... atau harus kubilang, kita sudah mati!"
"Hmmm, kamu bener juga."
Menonton Kirito mengangguk setuju sekali lagi membuatku kehilangan semua energi di badanku.
"Si... sikap kamu gimana! Kamu bisa sedikit lebih positif lagi ga sih?"
Setelah aku tiba-tiba berteriak, Kirito tersenyum dan berkata:
"Ekspresi marah itu jauh lebih seperti kamu, pertahankan terus ya!"
"Wha......"
Pipiku bersemi merah dan tubuhku membeku di tempat. Kirito lalu mengangkat tangannya dari kepalaku dan kembali berdiri.
"Yah, ayo kita coba beberapa hal. Ada ide?"
"..."
Aku tersenyum pahit pada Kirito, yang jelas-jelas tidak terpengaruh oleh situasi kita sekarang dan mempertahankan sikapnya yang biasa. Merasa sedikit lebih gembira, aku menampar pipiku dengan kedua tangan lalu berdiri.
Aku mengamati sekelilingku; bagian bawah gua ini adalah permukaan es yang datar dengan sedikit salju. Diameternya harusnya sekitar 10 meter persis seperti mulut gua. Dinding es di dekat puncaknya terus memantulkan cahaya matahari terbenam, namun tempat ini sebentar lagi akan benar-benar ditelan kegelapan.
Aku mengamati sekitarku, tetapi tidak ada jalan keluar yang kelihatan baik di dinding maupun di lantai. Aku menaruh kedua tanganku di pinggang, memeras otakku, dan memberi tahu Kirito ide pertama yang terpikir olehku.
"Mm... bisa kita minta tolong seseorang?"
Kirito menyangkalnya seketika:
"Uh–-- kayaknya tempat ini dianggap sebuah dungeon."
Pemain yang didaftarkan sebagai 'teman', seperti Asuna dalam kasusku, bisa berkomunikasi melalui sejenis pesan disebut 'pesan pribadi'. Tetapi, fungsi tersebut tidak bisa digunakan di dalam dungeon, 'sistem jejak' juga tidak bisa digunakan untuk menemukan mereka.
Aku membuka layar pesan dalam harapan buta, tapi seperti kata Kirito, memang tidak bisa.
"jadi... gimana kalau kita berteriak pada pemain lain yang datang memburu naga itu?"
"Kurasa kita sekitar 80 meter jauhnya dari atas, jadi kuduga suara kita ga akan mencapai sejauh itu."
"Kurasa iya... Tunggu! Sekarang kamu yang ngasih ide!"
Ketika aku mengecam Kirito, kesal karena dia terus menerus menyangkal ide-ideku, dia menjawab dengan sesuatu yang tak masuk akal:
"Lari di dinding."
"......Kamu idiot ya?"
"Yaaa, ayo kita cari tahu."
Selagi aku menatapnya dengan ekspresi tercengang, Kirito berjalan ke salah satu sisi gua dan mulai berlari menuju dinding di sisi yang berlawanan dengan kecepatan yang tak wajar. Salju beterbangan dari lantai dan badai angin menerpa mukaku.
Persis sebelum dia menabrak dinding, Kirito menundukkan badannya dan melompat ke atas dengan gaya ledakan. Dia menginjak dinding di ketinggian yang tak bisa dipercaya dan kemudian mulai berlari secara diagonal di dinding tersebut.
"Ya tuhan..."
Selagi aku menonton dengan kagum, Kirito sudah jauh di atasku dan berlari ke atas dalam pola spiral di dinding seperti salah satu ninja dari film kelas tiga. Siluetnya semakin kecil dan kecil---
Lalu, ketika dia sepertiga perjalanan ke atas, tiba-tiba dia terpeleset.
"Ahhhhhhhh!!!"
Kirito menggelepar selagi dia jatuh menuju kepalaku.
"Kyaaaaa!!!"
Begitu aku mengelak mundur sambil berteriak, muncul lubang berbentuk manusia tepat di tempat aku berdiri tadi. Semenit kemudian, setelah Kirito menghabiskan ramuan kesehatannya yang kedua, aku duduk di sampingnya dan mengeluh.
"Aku tahu kamu itu idiot, tapi aku ga pernah kebayang kalau kamu sebodoh ini..."
"Aku bisa berhasil kalau ancang-ancangnya lebih panjang lagi."
"Ga mungkin."
Aku langsung membalas dengan pelan.
Kirito mengabaikan ucapanku dan kembali memasukkan botol ramuan yang kosong ke kantongnya. Setelah merenggangkan lengannya, dia berkata:
"Yah, udah terlalu gelap, jadi kita berkemah di sini aja.
Untungnya, kupikir ga akan ada monster yang akan muncul di lubang ini."
Matahari sudah terbenam, dan dasar lubang ini sudah menjadi lumayan gelap.
"Sepertinya iya..."
"Kalau begitu..."
Kirito membuka sebuah layar dan mewujudkan beberapa barang. Sebuah lentera, panci, beberapa kantong kecil yang aku tidak tahu gunanya apa, dan dua gelas pun muncul.
"...Kamu selalu bawa-bawa ini?"
"Aku cenderung lumayan sering berkemah di luar."
Ujarnya dengan ekspresi begitu serius hingga aku tidak berpikir kalau dia bercanda.
Dia mengklik lenteranya; lentera itu menyala dengan suara fwoosh dan menerangi sekitarnya dengan cahaya oranye yang lembut. Kirito menaruh pancinya di atas lentera itu, kemudian memasukkan beberapa bongkah salju sebelum menuangkan isi kantong kecil tadi. Dia menutup panci itu dengan tutupnya dan meng-dobel klik-nya; sebuah layar timer memasak pun muncul.
0 komentar:
Posting Komentar