Setelah mandi, aku mengganti pakaianku dan pergi naik sepeda yang baru aku beli sekitar satu bulan lalu. Dengan sepeda, 15 kilometer menuju tujuanku terasa cukup jauh, namun beban itu cukup baik untuk tubuhku yang masih dalam pemulihan.
Perjalananku akhir akhir ini membawaku ke rumah sakit yang baru dibangun di pinggiran kota Tokorozawa, prefektur Saitama.
Bangsal teratas dari rumah sakit, lokasi dimana dia berbaring dengan tenang.
Dua bulan lalu, di puncak lantai ke-75 dari «Aincrad», aku telah mengalahkan boss akhir «Holy Sword» Heathcliff, dan dengan melakukan itu berhasil menyelesaikan Game. Setelah itu, aku terbangun di kamar rumah sakit. Beserta itu, aku mendapati diriku kembali ke dunia nyata.
Namun dia, partnerku, orang terpenting bagiku, Asuna sang «Flash», ternyata tidak bangun.
Tak ada banyak kesulitan untuk bertanya tentang dia. Tak lama setelah aku tersadar di rumah sakit Tokyo, aku meninggalkan kamar rumah sakit, berjalan jalan dengan langkah tak stabil, dan segera ditemukan oleh perawat yang membawaku kembali. Beberapa menit kemudian, seorang pria berjas datang terburu buru mendatangiku sambil terengah engah. Dia menyatakan dirinya sebagai perwakilan dari «Kementrian Dalam Negeri – Divisi Tindakan Balasan SAO».
Organisasi dengan nama besar itu nampaknya dibentuk akhir akhir ini segera setelah insiden SAO berlangsung, namun dalam dua tahun itu, tak ada yang mereka bisa lakukan. Namun, itu juga tak terhindarkan. Kalau mereka dengan ceroboh mengutak atik server, tanpa membatalkan program perlindungan yang dibuat oleh programmer Kayaba Akihiko, dalang dari insiden ini, maka otak dari sepuluh ribu orang akan hancur. Tak ada yang bisa memikul tanggung jawab itu.
Mengumpulkan anggota, mereka membuat persiapan untuk mengobservasi baik baik status para korban yang berbaring di rumah sakit. Satu harapan mereka – secercah cahaya kecil, namun tugas yang berat – adalah mensurvei informasi pemain melalui data server.
Sehingga mereka mengikuti perkembanganku yang berada di garis depan, memperhitungkan level, posisi, dan peranku sebagai pemain vital dalam «Capture Group» yang mencoba menyelesaikan Sword Art Online. Sehingga, saat para pemain SAO mulai bangkit di seluruh negara, para agen Kementrian mulai menyerbu ke kamarku, berharap bisa memahami apa yang baru terjadi.
Aku mengungkapkan kondisiku pada pihak pemerintah dengan orang orang berkacamata hitam yang berada pada pandanganku. Aku akan beritahu mereka semua yang aku tahu. Sebagai gantinya, mereka akan memberitahuku semua yang aku ingin tahu.
Hal yang ingin kuketahui tentu saja tentang keberadaan Asuna. Setelah beberapa menit menelepon, pria berkacamata menoleh padaku dan berbicara, kebingungan nampak jelas di wajahnya.
“Yuuki Asuna telah dipindahkan ke institusi medis lain di Tokorozawa. Namun, dia belum bangun.......dan bukan dia saja, 300 pemain lain sepanjang negara juga belum terbangun.”
Awalnya mereka berpikir kalau ini hanyalah hasil dari spike lag yang terjadi pada server. Namun, jam telah berubah menjadi hari dengan Asuna dan yang lainnya tak juga terbangun.
Benar atau tidaknya rencana Akihiko Kayaba yang menghilang masih berlanjut menimbulkan kekacauan sepanjang dunia, namun pandanganku justru sebaliknya. Aku masih mengingat kehancuran Aincrad, yang diselimuti oleh matahari tenggelam berwarna merah.
Dia benar benar telah mengatakannya. Dia akan melepaskan semua pemain yang tersisa. Lebih jauh lagi, dia tak memiliki alasan untuk berbohong. Dia benar benar sudah membiarkan dirinya lenyap bersama dunia itu, aku sangat mempercayai hal itu.
Namun, entah itu insiden tak terduga atau adanya campur tangan dari seseorang, sever SAO, yang seharusnya sudah direset/diformat ulang, terus beroperasi. Nerve Gear Asuna juga bukan perkecualian, mengikat jiwanya kedalam dunia itu. Apa yang terjadi di dalam sana, aku tak tahu, tapi kalau......kalau.....kalau saja aku bisa kembali ke dunia itu sekali lagi—
Kalau Suguha tahu apa yang kulakukan saat itu, dia pasti akan marah. Usai meninggalkan pesan, aku memasuki kamarku dan memasang Nerve Gear dan memulai client SAO. Namun, sebuah pesan error dengan dingin muncul di hadapan mataku, «Error: Tak bisa tersambung pada server».
Sekali rehabilitasku selesai, kebebasanku dalam bergerak sudah pulih kembali, dan dari saat itu sampai sekarang, aku terus menerus menengok Asuna.
Itu adalah waktu yang sulit bagiku. Perasaan dari seseorang yang lebih penting dari siapapun direbut secara tak beralasan dariku terasa sangat menyakitkan dari luka fisik atau mental apapun. Bahkan lebih menyakitkan bagi aku yang sekarang, yang tak ubahnya anak kecil tak berdaya.
Melanjutkan perjalanan 40 menit, mengayuh dengan lamban, aku keluar ke jalan utama dan berbelok ke jalan berbukit yang berangin. Tak lama kemudian, bangunan besar muncul di depanku. Itu adalah insitusi medis yang diatur secara pribadi, dan tampak bagai karya seni.
Penjaga keamanan di pintu masuk, sekarang sudah menjadi wajah familiar, tak lagi menanyakan alasan kedatanganku. Aku memparkir sepedaku di sudut parkiran besar. Di meja resepsi lantai pertama, yang memiliki penampilan seperti lobi kelas tinggi, aku diberi tanda masuk pengunjung. Aku menempelkannya di dadaku dan masuk ke dalam elevator.
Dalam beberapa detik, aku mencapai lantai teratas, lantai 18, dan pintu perlahan terbuka. Aku berjalan ke arah selatan sepanjang koridor kosong. Lantai ini memiliki banyak pasien jangka panjang, namun melihat orang lain disini adalah kejadian langka. Akhirnya, di sudut koridor, pintu berwarna hijau pucat tampak olehku. Ada sebuah lempeng nama tertempel di dinding di sebelah pintu.
«Yuuki Asuna», dibawah nama itu terdapat celah penggesek tipis, tempatku menggesekkan tanda pengenal. Aku melepas tanda masuk dari dadaku dan meluncurkannya sepanjang celah itu. Pintu bergeser membuka dengan suara elektronik kecil.
Melangkah ke dalam ruangan, aku terselimuti oleh aroma bunga menyegarkan. Bunga bunga segar yang tak cocok dengan musim dingin nampak menghiasi ruangan. Interior di dalam kamar rumah sakit yang luas ini ditutupi oleh korden, yang dengan perlahan kumasuki.
“Mohon izinkan dia bangun—“
Aku menyentuh kain, berdoa untuk keajaiban dan dengan lembut membuka korden ruangan.
Unit perawatan intensif tanpa akhir yang terpasang pada tubuhnya sama denganku – bahkan kasurnya juga sama. Cahaya matahari sedikit menyinari selimut putih, dan jatuh dengan lembut di wajah Asuna. Kalau aku tak tahu apa apa, aku pasti menganggap kalau dia hanya tertidur.
Saat aku pertama berkunjung, aku memiliki pemikiran ini: akankah dia tak setuju kalau aku melihatnya seperti ini? Kekhawatiran itu sudah berlalu sejak dulu. Wajahnya nampak sangat cantik.
Rambut kastanye tua indahnya, tergerai seperti air di kasur putih disekitarnya; kulit putih pucatnya, dengan semburat warna mawar di bibirnya.
Dari leher sampai tulang selangkanya, fiturnya nampak sama persis dengan yang terlihat di dunia itu. Bibir berwarna cherry muda. Alis panjangnya, bergetar seolah mereka akan membuka kapan saja. Kalau saja bukan karena helm itu, itu saja.
Nerve Gear. Tiga cahaya LCDnya yang berkilau dengan pucat berkelap kelip seperti bintang, bukti kalau ia masih beroperasi. Bahkan sekarang, jiwanya masih terjebak dalam suatu dunia. Aku menggenggam tangan kanan mungilnya dengan kedua tanganku, merasakan kehangatannya. Perasaan dari genggaman lembutnya terasa sama seperti sebelumnya. Aku menahan nafasku, mati matian menahan air mata yang hendak tumpah.......
“Asuna........”
Suara dering jam alarmnya membawaku kembali pada realita. Tanpa kusadari, waktu sudah tengah hari.
“Aku harus pergi, Asuna. Aku akan segera datang kembali.”
Aku kemudian mendengar suara pintu masuk yang bergeser membuka, dan aku mengalihkan perhatianku pada dua pria yang memasuki bangsal.
“Oh, Kirigaya-kun. Maaf sudah mengganggu.”
Seorang pria yang lebih tua berdiri di depannya dengan ekspresi wajah kalem, sambil memasukkan kartu di tangannya ke sakunya. Dari fisik dan penampilannya, dia nampak seperti pria yang bersemangat dan percaya diri, namun rambut abu abunya adalah hasil dari dua tahun mencemaskan putrinya. Ini adalah Ayah Asuna, Yuuki Shozou. Aku sudah mengetahui dari Asuna sebelumnya kalau ayahnya adalah pengusaha, namun itu tak membuatku terkejut sampai aku mengetahui bahwa dia adalah CEO dari perusahaan elektronik «RECTO».
Aku sedikit membungkukkan kepalaku dan berbicara.
“Hallo. Maaf sudah mengganggu, Yuuki-san.”
“Tak apa, tak apa. Melihatmu selalu datang seperti ini, seharusnya aku yang minta maaf. Aku yakin kalau anak itu pasti sangat senang.”
Dia berjalan ke bantal Asuna, dengan lembut membelai rambutnya sambil menatap sedih pada wajah Asuna. Tak lama kemudian, dia memperkenalkan pria yang berdiri di belakangnya.
“Ini adalah orang baru. Ia adalah direktur dari institut penelitian kami, Sugou-kun.”
Kesan pertamaku tentangnya adalah positif. Ia bertubuh tinggi, mengenakan jas abu abu gelap, dengan sepasang kacamata berbingkai kuning yang diseimbangkan diatas jembatan hidungnya. Matanya tersembunyi dibalik lensa tipisnya, dan senyum lembutnya menyempurnakan semua imej itu. Aku membayangkan kalau dia mungkin berumur 30-an.
Dia mengulurkan tangannya sambil berkata.
“Senang bertemu denganmu. Aku Sogou Nobuyuki. Kamu pasti sang Pahlawan Kirigaya-kun itu.”
“Kirigaya kazuto. Senang bertemu anda.”
Aku menjabat tangan Sogou dan menolehkan kepalaku untuk melirik arah Yuuki Shozou, tangannya menopang kepalanya yang agak sedikit jatuh.
“Tentang itu, maaf. Server SAO sudah ditutup. Insiden ini hampir seperti yang sering kamu lihat di TV. Dia adalah putra paling terpercayaku. Untuk sementara waktu ini, dia masih belum membuat kontak dengan keluarga.”
“Presiden, masalah ini adalah—“
Sogou melepaskan tangannya, dan menoleh pada Shouzou untuk berbicara.
“Bulan depan, saya ingin memberitahu semua orang.”
“Begitukah? Tapi apa tak apa apa? Kau masih muda, hidupmu baru saja dimulai......”
“Saya sudah berubah pikiran. Saya ingin mengambil keuntungan di saat ini ketika Asuna masih cantik......dan membuatnya mengenakan gaun pengantin.”
“Sepertinya kau sudah memikirkan hal itu masak masak.”
“Kalau begitu, aku permisi dulu. Sampai jumpa Kirigaya-kun.”
Dia menganggukkan kepalanya, berbalik dan berjalan keluar dari pintu, menutup pintu di belakangnya. Satu satunya lelaki yang tersisa di ruangan ini hanya Sogou dan aku.
Sogou Nobuyuki perlahan bergerak ke sisi ranjang, berdiri berlawanan dariku. Dia membelai rambut kastanye Asuna, membuat suara kecil saat tangan kanannya bergerak sepanjang rambutnya. Hal itu membuatkua merasa agak jijik.
“Saat kau berada dalam Game, kau hidup bersama Asuna, kan?” Ujar Nobuyuki-san.
“.....uhm......”
“Kalau begitu, maka hubungan diantara kita mungkin agak rumit.”
Sogou melihat ke atas, dan kami membuat kontak mata. Pada saat itu, aku menyadari kalau kesanku terhadap pria ini tak mungkin terlalu jauh dari kebenaran.
Melalui kacamata tipisnya, pupil kecilnya memberiku kesan seorang sanpaku, bibir meruncing dalam senyuman. Itu semua memberikan perasaan dingin tak berperasaan. Keringat dingin menetes di punggungku.
“Tentang yang baru kukatakan.......”
Sugou memasang senyum bosan.
“Yakni, pernikahan Asuna denganku.”
Aku tak bisa memahami kata katanya. Apa yang dia baru katakan? Ucapan Sugou membuat seluruh tubuhku diserbu perasaan dingin. Setelah beberapa saat kesunyian, aku akhirnya berkata,”Apa kau pikir aku akan membiarkanmu lolos dengan itu?”
“Oh, sudah tentu. Untuk menerima persetujuannya dalam kondisi semacam ini akan cukup mustahil. Di atas kertas, aku adalah putra adopsi dari keluarga Yuuki. Namun kenyataannya, dia sudah cukup lama membenciku.”
Jemari Sugou mendekati bibir Asuna.
“Hentikan!”
Aku tanpa sadar menggenggam tangan Sugou, menjauhkannya dari wajah Asuna.
Merasa marah, aku berteriak “Brengsek kau.....kau berani memanfaatkan kondisi Asuna!?”
“Memanfaatkan? Bukan bukan, ini masih di dalam batas. Jujur saja, Kirigaya-kun. Apa kau tahu yang terjadi pada perusahaan SAO, «Argas»?”
“Kudengar mereka bangkrut.”
“Benar. Biaya pengembangan, serta biaya semua kerugian yang membuat mereka berhutang banyak, dan perusahaan itu akhirnya bangkrut. Sehingga, perawatan server SAO sekarang dibawah tanggung jawab departemen teknologi FullDive RECTO. Lebih tepatnya, departemenku.”
Dari sisi lain ranjang, Sugou menoleh untuk menatapku. Memasang senyum iblis, dia bergerak mendekat ke pipi Asuna.
“Anggap saja begini, dia masih hidup karena aku mengizinkannya. Sehingga, tidakkah menurutmu aku pantas mendapat balasan untuk semua kerja kerasku? Apa aku salah?”
Mendengar hal itu hanya memperkuat penolakanku.
Pria ini ingin memanfaatkan situasi Asuna, memakai hidupnya demi ambisi pribadinya sendiri.
Berbalik dan berdiri, melihat dengan tegas ke arahku, senyum lenyap dari wajahnya. Dengan nada dingin, dia berbicara padaku.
“Aku tak tahu apa yang terjadi padamu dan Asuna dalam Game, tapi aku ingin kau enyah dari hidupnya dari sekarang. Kuharap kau tak membuat kontak masa depan dengan Yuuki dan keluarganya.”
Aku meremas tinjuku, marah pada ketidakmampuanku untuk berbuat sesuatu. Aku merasa begitu payah.
Beberapa momen kesunyian berlalu. Kemudian, Sugou berbicara dengan nada menghina.
“Upacara pernikahan akan diselenggarakan minggu depan tepat disini di bangsal ini. Kuharap kau akan datang. Hargailah pertemuan terakhirmu ini, Pahlawan-kun.”
Aku ingin pedang. Aku akan menembus jantungnya dan merobek dadanya. Aku tak tahu apa dia bisa melihat kemarahan dalam diriku, tapi dia menepuk nepuk bahuku, berbalik dan dengan santai meninggalkan ruangan.
Saat aku pulang, memori pertemuan kami masih terasa segar dalam pikiranku. Aku berbaring di ranjangku dan menatap dinding dalam kegelisahan.
“Yakni, pernikahan Asuna denganku.”
“Dia masih hidup karena aku mengizinkannya.”
Pertemuanku dengan Sugou terus terulang dan terulang dalam kepalaku, seperti film yang tiada habisnya. Hatiku terasa seperti gumpalan logam yang memerah membara.
Namun----------Ini semua mungkin karena rasa kesadaran diriku yang terlalu kuat.
Sugou adalah orang yang selalu paling dekat pada keluarga Yuuki. Ini juga alasan dia bisa menjadi tunangan Asuna. Dipercaya sepenuh hati oleh Yuuki Shouzou, dia juga membawa tanggung jawab besar pada Recto. Asuna mungkin diatur untuk menikah dengan pria ini jauh sebelum kami bertemu di Aincrad. Dibandingkan dia, waktu kami bersama mungkin tak lebih dari ilusi. Penghinaan karena harus menyerahkan Asuna demi hasrat pria itu, yang menurutku, tak ubahnya lelucon anak anak.
Bagi kami, kota terapung Aincrad adalah dunia nyata. Sumpah yang telah kami buat disana, kata kata, semuanya berbinar dengan kecemerlangan seperti berlian.
“Aku ingin tetap di sisi Kirito selamanya-------“
Kata kata dan senyum Asuna dengan perlahan melintasi pikiranku.
“Maafkan aku.......maafkan aku, Asuna......aku tak bisa berbuat apa apa.”
Air mata kesedihan mengalir di pipiku, potsu, potsu ke atas tinjuku yang tergenggam.
* * *
“Onii-chan, kamar mandinya sudah kosong!”
Suguha berteriak ke kamar Kazuto, yang terletak di lantai kedua, namun tak ada respon.
Sore itu, setelah kembali dari rumah sakit, Kazuto terus mengunci dirinya di dalam kamar, tak mau turun bahkan untuk makan malam.
Suguha menempatkan tangannya di kenop pintu, namun ragu ragu. Kalau dia belum tertidur maka mungkin dia terkena demam, pikir Suguha, memperkuat keyakinannya sambil memutar gagang pintu.
Kacha--. Pintu terbuka dan menampakkan ruangan gelap.
Dia pasti sedang tertidur, pikir Suguha, dan saat dia hendak berbalik meninggalkan ruangan, embusan udara angin terasa sedikit bertiup, membuatnya menggigil. Jendela nampaknya terbuka. Sepertinya tak ada cara lain, pikirnya, sambil menggeleng kepalanya.
Dia berjalan berjingkat jingkat sepanjang ruangan, menuju ke arah jendela......hanya untuk mendapati kakaknya tengah meringkuk di atas ranjang, dengan kondisi masih bangun.
“Ah, Onii-chan, maaf. Kukira kamu sudah tidur.” Adalah respon gugup Suguha.
Setelah beberapa momen kesunyian, Kazuto membalas dalam suara tanpa emosi, “Maaf, tapi bisa tolong biarkan aku sendiri?”
“Tapi, tapi, ruangan ini terasa dingin.....”
Suguha mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Kazuto. Tangannya terasa dingin bagai es.
“Ini nggak bagus. Tanganmu membeku; kamu akan demam kalau begini. Lekaslah mandi.”
Sejumlah cahaya menembus masuk melalui korden dari lampu jalanan, menyinari wajah Kazuto. Pada momen ini, Suguha menyadari sesuatu yang telah terjadi pada kakaknya.
“Apa yang terjadi?”
“Bukan apa apa.”
Balasannya seperti bisikan yang tercekik.
“Tapi.....”
Tanpa menunggu Suguha selesai bicara, Kazuto mengubur wajahnya di kedua tangannya. Menyembunyikan dirinya dari Suguha, dan dengan tanda penistaan diri, dia berkata, “Aku sungguh tak berguna. Belum begitu lama saat aku bersumpah untuk tak lagi mengatakan kata kata kekalahan semacam itu.......”
Di tengah kata katanya, Suguha sudah menyadari apa yang telah terjadi. Berbicara dengan suara pelan dan bergetar, dia bertanya “Orang itu.......Asuna-san.....apa yang terjadi padanya?”
Tubuh Kazuto mengejang. Dalam suara pelan, terisi rasa sakit, dia menjawab, “Asuna.....telah pergi entah kemana......tempat yang jauh. Tempat.....dimana tanganku tak bisa menjangkaunya......”
Kali ini Suguha merasa jelas. Melihat Kazuto, yang menangis seperti anak anak di depannya, hati Suguha tersentuh.
Ia menutup jendela, menutup korden, dan menyalakan pemanas ruangan, kemudian duduk di sisinya. Ia ragu ragu untuk sesaat, sebelum menggenggam tangan dingin Kazuto lagi. Tubuh meringkuk Kazuto nampak rileks dalam sekejap.
Suguha berbisik di telinganya.
“Jangan sedih. Kalau dia memang sangat kamu cintai, kamu tak boleh menyerah semudah itu.”
Kata kata itu tak datang dengan mudah, dan mengucapkannya, hatinya seolah telah teriris oleh pedang. Perasaan dari jauh di dalam hatinya melahirkan rasa sakit ini. Aku menyukai Kazuto Onii-chan, adalah perasaan yang datang menerpa Suguha kali ini.
“---------Aku juga. Aku tak bisa membohongi diriku lagi.”
Suguha menopang kakaknya, dengan lembut menurunkannya ke ranjangnya. Mengambil selimut ranjangnya, ia dengan lembut menaruhnya di atas tubuh Kazuto.
Berapa lama dia memeganginya, dia sendiri tak tahu, namun tangisan kesedihan Kazuto mulai menjadi suara tidur penuh damai. Suguha menutup matanya, hatinya perlahan berbisik pada dirinya.
“—Satu satunya pilihanku adalah menyerah. Yang bisa kulakukan hanyalah mengubur perasaan ini jauh, jauh di dalam hatiku.”
Karena di dalam hati Kazuto, dia sudah ada disana.
Air mata perlahan mengalir di pipi Suguha, kemudian jatuh ke seprai ranjang, sebelum akhirnya lenyap dengan cepat.
0 komentar:
Posting Komentar