Tidurku yang manis dan nyaman terganggu oleh rasa hangat yang tiba tiba.
Aku masih belum benar benar bangun, namun ada kehangatan aneh mengalir padaku, seperti cahaya matahari yang menembus cabang pohon, membelai pipiku.
Mataku tertutup, dan aku memeluk sosok tidurnya. Kami berada sangat dekat sampai aku bisa merasakan nafasnya, jadi aku membuka sedikit mata—
“Uwwahh!?”
Aku segera berteriak, dan melompat sekitar lima puluh senti. Tubuhku terlempar dalam posisi duduk, dan dengan cepat melihat ke sekeliling.
Inilah yang selalu kulihat dalam mimpiku. Aincrad, lantai kedua puluh dua dari hutan rumahku – mustahil.
Bagian dari realita ada disini, kamarku dan ranjangku. Namun, selain aku, ada orang lain disini.
Aku dibuat membisu. Usai bangun secara penuh, aku dengan cepat bangun dan meletakkan selimut kembali di tempatnya. Dengan rambut hitam pendeknya, alis tebalnya, Suguha berbaring dalam piyamanya, tertidur di atas bantalku.
“Kenapa.....kenapa ini......”
Setelah berpikir baik baik, aku akhirnya ingat apa yang terjadi tadi malam. Benar sekali, tadi malam setelah kembali dari rumah sakit, nampaknya aku sempat berbicara sedikit dengan Suguha. Diantara keputusasaan dan rasa sakit yang membuatku menangis, dia menghiburku, dan akhirnya, aku tertidur.
“Astaga, seperti anak kecil saja.”
Setelah merasa sedikit malu, aku menatap Suguha, yang masih tertidur pulas. Dia tak seharusnya melakukan ini.
Aku tiba tiba ingat kalau hal yang sama dengan ini pernah terjadi di dunia “itu”. Suguha sangat mirip dengan gadis penjinak hewan yang kutemui di sekitar lantai ke empatpuluh. Dia, juga, menyelinap ke ranjangku, yang membuatku sama kelimpungannya.
Aku tersenyum sambil mengingat itu. pertemuanku dengan Asuna dan Sogou Nobuyuki terus membuatku kepikiran, namun rasa sakit menusuk nusuk di hatiku perlahan lenyap sejak tadi malam.
Memoriku di dunia itu – kota terapung Aincrad – adalah harta karun penting bagiku. Memori bahagia, memori sedih – terlalu banyak untuk dihitung – namun semua memori itu nyata, dan tak akan kuanggap selain itu, termasuk kesepakatan diantara Asuna dan aku untuk bertemu bersama di dunia ini sekali lagi. pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan.
Saat aku tengah memikirkan itu, dari depanku, gumaman ngelindur Suguha mencapai telingaku.
“Menyerah.......itu nggak boleh.....”
“Yang kamu katakan itu sangat betul.” Aku berbisik balik.
Kemudian, sambil duduk, aku menyentil wajah Suguha dengan jariku.
“Hei, bangun, ini sudah pagi.”
“Hmmph.”
Dia mengeluarkan erangan tidak senang. Aku menyibak selimutnya dan mencubit pipinya.
“Ayo bangun, ini sudah siang.”
Suguha akhirnya membuka matanya.
“Ah. Selamat pagi, Onii-chan,” Dia bergumam, sambil dengan malas memanjat naik dari selimut.
Kemudian, dia menatapku dengan terkejut dan dengan cepat melirik sekitar ruangan. Matanya yang nampak ngantuk dan setengah terbuka, mendadak terbuka lebar dan pipinya tersipu merah.
“Ah! Um, aku.....”
Telinganya memerah, tubuhnya menjadi kaku, dan ia mendadak melompat dan lari dari ruangan secepat mungkin.
“Ya ampun.”
Aku menggeleng kepalaku dan berdiri untuk membuka jendela, menghirup dalam dalam udara dingin untuk membuang semua rasa lelahku.
«Berita» sampai saat aku mengambil baju ganti untuk mandi.
Terdapat nada bersuara elektronik dan aku bisa melihat peringatan e-mail berkilat, jadi aku duduk dan bermain dengan EL Terminal.
Sejak dua tahun aku tertidur, struktur komputer telah mengalami banyak perubahan. HDD (Hard Disk Drive) tua yang kusukai, lenyap tanpa jejak dan digantikan dengan SSD (Solid Storage Drive) modern, yang sudah menjadi standar baru dan tak menghasilkan MRAM ultra tinggi. Tak ada time lag sepanjang transfer; hal itu terjadi secara spontan. E-mail yang terkirim telah di-update, dan nama si ‘pengirim’ adalah «Egil».
Di lantai ke-50 dari blok utama Aincrad tinggallah Egil, pemilik dari toko kelontong di ‘Algade’. Kami bertemu untuk pertamakalinya tanggal 20 di Tokyo dan bertukar alamat e-mail, namun ini akan jadi pertama kalinya kami saling menjalin kontak. Judul pesannya tertulis, “LIHAT INI”. Saat aku membukanya, tak ada teks sama sekali, namun hanya satu gambar.
Aku menggulir ke bawah dan membuka gambar pada monitor, kemudian menatap lekat lekat pada gambar yang ditampilkan.
Komposisinya luar biasa. Kalian bisa melihat dari karakteristik warna dan cahaya yang jelas jelas bukan di dunia nyata namun dunia ilusi, rekayasa komputer. Dalam latar belakang gambar berdiri sangkar emas dengan meja putih dan kursi putih. Seorang gadis, berdandan dalam gaun putih duduk di dalamnya. Melihat lebih dekat pada wajahnya melalui sangkar—
“Asuna!?”
Gambarnya nampak kasar, namun gadis itu, dengan rambut panjang kastanye tanpa ragu adalah Asuna, wajahnya muram dan tangannya terlipat di atas meja. Melihat lebih dekat ada sayap transparan yang merentang di belakangnya.
Aku menggenggam telepon di meja, dan segera menghubungi nomor yang kutemukan dalam buku telepon. Nada deringnya mungkin hanya beberapa detik, namun terasa bagai berjam jam. Akhirnya, sambungan terhubung dan sebuah suara berat menjawab panggilanku.
“Hallo-“
“Hei! Apa yang terjadi dalam gambar itu!?”
“Lihat, Kirito, setidaknya kenalkan dirimu dulu.”
“Aku tak ada waktu! Lekas dan beritahu aku!”
“Ceritanya panjang. Bisakah kau datang kemari?”
“Baiklah. Aku akan disana secepatnya.”
Tanpa mau menunggu balasan, aku menutup telepon dan mengambil pakaian ganti. Aku belum pernah mandi, mengeringkan rambut, dan mengenakan sepatuku begitu cepat dalam hidupku, dan dalam sekejap aku sudah meninggalkan rumah di atas sepedaku. Entah kenapa jalan ini terasa sangat panjang, meski aku sudah melintasinya berkali kali.
Kafe Egil dan bar bisnis terletak di Taito Okachimachi. Aku segera melihat dashboard hitam dan tanda logam yang dihiasi oleh dua dadu, sehingga memiliki nama, «Kafe Berdadu».
Aku membuka pintu dan bertemu dengan suara gemerincing lonceng di pintu masuk. Pria botak di counter menatapku dan tertawa. Tak ada pelanggan kelihatan disini.
“Oh, kau cepat juga.”
“Bisnismu payah seperti biasanya. Bagaimana bisa bertahan selama dua tahun ini?”
“Saat ini memang lamban, tapi cukup ramai sepanjang malam hari.”
Percakapan santai ini membuat hatiku terasa tenang, seolah aku kembali di dunia itu.
Pertemuan kami adalah sesuatu yang terjadi di akhir bulan lalu. Pada saat itu, aku menerima nama asli dan alamat dari para pemain tertentu dari anggota Kementrian Dalam Negeri, Cline, Nishida, Scilica, dan Lizbet, diantara nama nama lain. Biarpun ada banyak pemain yang ingin kutemui lagi, namun mereka semua sudah kembali ke dunia nyata, dan tetap menjalin kontak adalah perkara sulit. Tempat pertama yang akan kukunjungi pastilah toko ini.
“Jadi, apa yang kau ingin aku beritahukan padamu?”
Si pemilik toko kelihatan sedikit tak senang.
Nama aslinya adalah Andrew Gilbert Mills. Aku merasa kagum karena dia ternyata juga membuka toko di dunia nyata.
Meski secara etnis dia adalah Afrika-Amerika, orang tuanya sudah lama menyukai Jepang, dan dia membuka bar-toko kopinya disini, di Okachimachi di usia 25 tahun. Lebih jauh lagi, dari antara para pelanggannya, dia telah menemukan istri yang cantik dan baik hati. Setelah itu, dia juga, telah terjebak dalam dunia SAO selama dua tahun. Usai kembali, toko yang dia duga telah tutup sejak lama ternyata berhasil bertahan berkat usaha keras istrinya. Sungguh cerita yang menyentuh.
Jujur saja, terasa aneh karena tak ada satupun pelanggan disini. Toko ini memiliki tata letak sempit, namun dengan empat kursi dan counter, tempat yang cerah dan berwarna warni ini terasa menarik dan merilekskan.
Aku duduk di bangku kulit, memesan secangkir kopi dan mulai mempertanyakan Egil tentang gambar itu.
“Jadi, ada apa dengan gambar itu?”
Si manajer toko tak segera menjawabnya. Justru, aku melihat dia mengeluarkan sebuah bungkusan persegi panjang dari bawah counter, dan mengulurkannya padaku.
Bungkusan itu jelas adalah software Game. Aku segera menyadari itu setelah melihat cetakan jelas «Amusphere» di sudut kanan atasnya.
“Aku belum pernah dengar tentang tipe hardware ini sebelumnya.”
“«Amusphere», Ia diluncurkan saat kita masih berada di dunia itu. itu adalah teknologi FullDive generasi berikutnya, penerus dari Nerve Gear.”
Sambil aku melihat logo dengan perasaan keheranan, Egil memberikan penjelasan simpel.
Setelah insiden itu, Nerve Gear dianggap sebagai “mesin setan”, sehingga tak ada pabrik bernyali melibatkan diri mereka dalam genre teknologi Game FullDive lagi. Namun, 6 bulan setelah insiden SAO, sebuah perusahaan baru didirikan, dengan slogan “keamanan absolut”. Ia meluncurkan model penerus Nerve Gear, dan karena kami terjebak di Aincrad pada saat itu, kami tak tahu apa apa soal ini.
Itu sedikit membantuku memahami situasi, namun karena aku tak terlalu memperhatikan Game Game setelah insiden itu, aku masih tak terlalu memahami benda ini.
“Jadi, apa ini juga VRMMO?”
Aku memegangnya di tanganku dan melihatnya dengan seksama. Gambarnya menunjukkan hutan lebat dengan bulan purnama menggantung tinggi, di depannya terdapat gadis dalam busana fantasi. Pedang di tangannya, dia terbang ke langit dengan sepasang sayap transparan. Dibawah ilustrasinya, terdapat judul -- «ALfheim Online».
“ALfheim.....Online? Apa maksudnya ini?”
“Sesuai dengan namanya, itu artinya “Rumah Elf”[6]”
“Elf? Aku masih tak paham. Game ini tak terlalu serius, kan?”
“Itu, yah, mungkin saja. Kudengar itu cukup sulit dimainkan, sih.”
Egil meletakkan secangkir kopi yang mengepulkan uap di depanku, sambil tertawa. Aku mengangkat cangkir, menikmati aromanya, sambil terus bertanya padanya.
“Seperti apa kesulitannya?”
“SKILL sistem di dalamnya sangat EXTREME, dan Game berfokus pada skill pemain. PK juga dianjurkan.”
“Extreme....?”
“«Level» Tak lagi berlaku dalam Game ini. Semua skill hanya akan meningkatkan level melalui pengulangan. Sistem Battle bergantung pada kemampuan atletik si pemain, bukan teknik pedang seperti dalam SAO. Namun tak peduli pada perbedaan minor ini, teknologinya tak jauh beda dari SAO.”
“Ah. Itu terdengar cukup mengesankan.”
Aku mengeluarkan siulan kekaguman. Penciptaan Kota terapung Aincrad telah melibatkan usaha keras dari si jenius sinting Akihiko Kayaba. Kalau ada orang lain yang bisa menciptakan dunia VR dengan derajat sama adalah hal yang agak sulit dipercaya.
“PK juga dianjurkan?”
“Saat membuat, pemain bisa memilih dari beragam ras fairy, dan hanya diantara ras yang berlawanan yang membuat hal ini bisa dilakukan.”
“Itu sangat menyulitkan. Tak peduli seberapa tinggi teknologinya, rasanya itu lebih dibuat untuk para Gamer fanatik. Aku ragu benda ini bisa populer.” Ujarku sambil mengernyitkan alis.
Usai Egil mendengar keluhanku, dia membuang wajah seriusnya dan tersenyum.
“Aku juga pernah berpikir seperti itu, namun kurasa itu akan jadi populer dengan para Gamer saat ini, alasan utamanya adalah di dalam Game ini, kau punya kemampuan untuk «Terbang».”
“Terbang....?”
“Dengan sayap peri. Tak seperti game Game sebelumnya, controller dilengkapi dengan mesin penerbangan, memungkinkan pemain untuk terbang dengan bebas.”
Aku belum pernah memikirkan kemungkinan tentang terbang sebelumnya. Setelah Nerve Gear dikembangkan, banyak VR Game terbang dikembangkan, namun itu semua dikendalikan dengan kendali seperti kendaraan. Terbang dengan cara manusia tak diperkenalkan karena pemain tak punya pengalaman terbang dan sehingga takkan mampu mengendalikan kekuatan saat terbang.
Dalam dunia imajinasi ini, hal hal yang pemain bisa lakukan sama seperti yang kalian bisa lakukan di dunia nyata. Kebalikannya, hal hal yang manusia dunia nyata tak bisa lakukan disini, mereka tak bisa melakukannya disana juga. membentangkan sayap bukanlah tugas sulit, namun pergerakan otot yang berkaitan dengan menggerakkan sayap tidaklah sederhana.
Dalam SAO, Asuna dan aku memiliki kemampuan lompatan yang luar biasa, sampai kami hampir seperti terbang, namun ini dan terbang bebas adalah dua hal yang sangat berbeda.
“Semua konsep tentang terbang dan semacamnya ini memang hebat, tapi bagaimana dia tepatnya bisa bekerja?”
“Mana tahu, namun itu kurasa akan merepotkan. Untuk pemula, kau harus mengoperasikannya dengan controller joystick satu tangan.”
“....”
Tiba tiba, aku mendapat hasrat untuk menantang Game ini, tapi hal itu segera kubuang jauh jauh, dan aku kembali meneguk kopiku.
“Oke. Aku sudah agak paham Game macam apa ini. Kembali ke topik utama, apa hubungannya ini dengan gambar itu?”
Egil membawa sepotong kertas dari bawah counter, dan meletakkannya di depanku. Itu adalah kertas foto.
“Apa yang kau lihat?”
Setelah mendengar pertanyaannya, aku menatap gambar itu untuk sejenak, sebelum akhirnya menjawab.
“Sangat mirip.......dengan Asuna......”
“Figur yang akan kau anggap sama. Itu adalah screenshot, meski resolusinya agak jelek.”
“Lekas dan jelaskan padaku!”
“Itu Screenshot dari Game ini, ALfheim Online.”
Egil menyerahkan Game dan gambar padaku. Terdapat screenshot dari Game, dengan tampilan dari peta dunia serta semua wilayahnya, dan di area pusatnya terdapat sebuah pohon raksasa.
“Ini adalah Pohon Dunia, atau Yggdrasil.”
Egil menunjuk ke arah pohon.
“Tujuan para pemain adalah siapa yang paling cepat mencapai puncak dari pohon ini.”
“Lantas apa kau tidak diperbolehkan untuk terbang ke atas begitu saja?”
“Tak peduli berapa besar stamina dan daya tahan yang mereka punya untuk terbang, tetap saja ada batasnya. Untuk mencapai cabang terendah dari pohon itu dengan terbang saja sudah mustahil. Namun, masih ada orang orang yang memunculkan ide ide edan, seperti membentuk kelompok lima orang dan terbang seperti roket multi-stage yang melontarkan mereka ke atas.”
“Hahaha, apa memang begitu? Biarpun kau menyebutnya ide edan, tetap saja itu sangat kreatif.”
“Ah, sebenarnya mereka berhasil. Namun, cabang pohon itu sangat lemah, sehingga pencapaian mereka hanya sampai disitu saja. Untuk membuktikan kalau mereka berhasil melakukan ini, mereka mengambil banyak foto sebagai bukti. Salah satu dari foto itu adalah sangkar yang menggantung di sebuah cabang pohon besar.”
“Sangkar burung........”
Kata kataku mengalir dengan perasaan yang sulit dideskripsikan, yang membuat alisku terangkat. Terjebak.......pemikiran ini segera masuk dalam pikiranku.
“Foto ini diambil saat mereka berhasil mencapai cabang itu.”
“Tapi kenapa Asuna ada disana?”
Aku mengambil Game lagi, dan menatap bungkusnya.
Aku berfokus pada tulisan yang tercetak di bagian bawah kotak. «RECTO Progress».
“Ada apa, Kirito? Wajahmu kelihatan pucat.”
“Bukan apa apa......tak ada gambar lain? Misalnya, «orang lain dari SAO», selain Asuna, yang belum kembali?”
Oleh pertanyaanku, si manajer hanya mengernyitkan alisnya dan menggeleng kepalanya.
“Tidak, meski aku sudah dengar tentang hal itu. namun gambar gambar dari «ALfheim Online» tak bisa digunakan untuk menjelaskan apa apa. Jangan lekas membuat kesimpulan hanya karena ini.”
“Ya, aku tahu.”
Aku menundukkan kepalaku, memikirkan apa yang pria itu – Sugou Nobuyuki – telah katakan padaku.
Manajer dari server SAO sekarang adalah dia, ia mengatakan itu sendiri. Ngomong ngomong, dia juga berkata kalau server itu seperti black box, dan tak bisa dimanipulasi selamanya. Pada saat ini, semuanya menjadi masuk akal buatku.
Namun, kalau Asuna terus tertidur, ini akan menguntungkan baginya. Lebih jauh lagi, seorang gadis yang nampak seperti Asuna terjebak dalam VRMMO didesain oleh tiada lain selain antek antek RECTO, tak mungkin itu semua hanya kebetulan.
Aku berpikir untuk menghubungi Kementrian Dalam Negeri, namun aku segera mengubah pikiranku. Kesimpulanku masih terlalu dangkal, dan aku tak punya bukti nyata.
Aku melihat ke atas, menatap pada Egil.
“Egil, boleh aku memiliki ini?”
“Tak masalah.....kau mau mencobanya?”
“Ya, aku ingin mengkonfirmasi ini sendiri.”
Untuk pertama kalinya, Egil menunjukkan ekspresi keraguan. Kami berdua memahami betapa bahayanya VR.
Aku mengangkat bahuku, dan tertawa.
“Kurasa kalau aku ingin mencoba ini maka aku harus membeli konsol baru.”
“Nerve Gear juga bisa menjalankannya. Amusphere hanyalah versi dengan performa lebih maju.”
“Baguslah kalau begitu.”
Aku mengangkat bahu. Egil memasang senyum tipis.
“Yah, ini bukan pertamakalinya kau menyelamatkan seseorang yang terjebak dalam kesadarannya sendiri.”
“Tak masalah berapa kalipun dia terjebak atau terpenjara atau berapa kali aku harus melakukan ini.”
Dan seperti itulah. Asuna dan aku belum menjalin kontak apapun selain melalui internet via Nerve Gear. Tiada suara atau surat yang sudah kuterima.
Namun hari hari penantian itu berakhir sudah. Menyelesaikan kopiku dalam satu tegukan, aku berdiri. Counter Egil nampak jadul, mirip dengan tokonya di SAO, sama sekali tak dilengkapi mesin kasir elektronik dan semacamnya. Aku mengeluarkan beberapa uang receh dan meletakkannya di counter.
“Kalau begitu aku kembali dulu. Terima kasih sudah mengundangku, dan untuk informasinya.”
“Kau bisa membayar informasiku dengan cara lain. Pokoknya kau harus selamatkan Asuna, maka kita akhirnya bisa mengakhiri semua ini.”
“Itu benar. Suatu hari, ini semua akan berakhir.”
Aku memukul telapak tanganku dengan tinjuku. Kemudian aku membuka pintu, dan pergi.
* * *
Suguha berbaring di ranjangnya, sebelum bergulung untuk mengubur wajahnya kedalam bantal, dan menendang nendang ranjangnya selama beberapa menit.
Saat ini tengah hari, namun dia masih mengenakan piyama. Hari ini Senin, tanggal 20 januari, dan liburan musim dingin akhirnya selesai, namun Suguha, di semester ketiganya di tahun ketiga SMP-nya bisa berangkat sesuka hatinya. Untuk alasan itu, dia berangkat hanya untuk menunjukkan wajahnya di klub kendo.
Saat ini pikirannya tengah mengulang memori itu lagi dan lagi, dan dia sudah kehabisan menghitung entah berapa kali hal itu terulang.
Tadi malam – untuk menghangatkan tubuh beku Kazuto, dia mengubur diri ke dalam selimut bersamanya, dan tubuh mereka lekat satu sama lain sebelum akhirnya tertidur. Mungkin itu hanya terjadi sepuluh detik sebelum mereka benar benar tertidur, dan tindakannya itu saat ini membuatnya sangat menyesal.
“....Aku sungguh bodoh! Bodoh! Bodoh!” dia berteriak sejadi jadinya dengan memukul mukul bantal dengan tinjunya.
Setidaknya aku bisa bangun sebelum dia menyelinap keluar, tapi dia malah bangun lebih dulu, bagaimana bisa aku melihatnya sekarang?
Perasaan malu dan tak nyaman bercampur dengan perasaan cinta tersembunyinya, dan rasa sakit menusuk di dadanya menolak untuk membiarkannya bernafas. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, dan tiba tiba menyadari kalau piyamanya masih membawa aroma kakaknya, membuat desir aneh muncul di hatinya.
Yang jelas, mengayunkan shinai akan membantunya membuang semua pikiran itu, pikirnya, sambil mengangkat kakinya. Dalam kegugupannya, ia tak yakin apakah lebih baik mengenakan kendogi nya, atau baju biasa, namun ia dengan cepat berganti baju dan keluar ke halaman rumah untuk berlatih.
Kazuto pergi entah kemana hari ini – dia tak tahu dimana tepatnya, dan Ibunya, Midori, selalu pergi untuk bekerja sebelum tengah hari. Ayahnya, Minetaka, telah kembali ke Amerika tepat setelah tahun baru, meninggalkan Suguha sendiri di rumah. Dari tempat meja sarapan di lantai pertama, ia menggenggam muffin keju, menjejalkannya ke dalam mulutnya dengan cara yang sangat tak feminin, dimana tangan lainnya mengambil sekantong jus jeruk, sebelum duduk sejenak di teras.
Tepat saat dia mengambil gigitan besar, Kazuto muncul di gerbang pintu masuk, sambil mendorong sepedanya dan menangkap tatapan Suguha.
“Guu!!”
Sepotong muffin tersangkut di tenggorokannya, dan ia dengan mati matian mengibaskan tangannya untuk meminum jusnya – hanya untuk menyadari kalau sedotannya tidak ada.
“Uaah, guu---!”
“Oi oi!”
Kazuto berlari ke sisi Suguha, memegang jus dan dengan cepat memasukkan sedotan sebelum memegangnya ke mulutnya. Mati matian mengisap cairan dingin, ia akhirnya bisa menelan potongan makanan yang tersangkut.
“Uah! Mati.......kali ini kukira aku akan mati!”
“Dasar gadis tak sabaran! Bukankah kamu tahu kalau kamu harus makan pelan pelan?”
“Mmm----“
Dengan malu, dia menundukkan kepalanya dan melihat kakinya. Kazuto duduk di sampingnya, membungkuk dan mulai melepas tali sepatunya. Dalam lingkup pandangan Suguha, ia tengah menyaksikan profil Kazuto, sambil sekali lagi menggigit muffinnya. Pada saat itu, Kazuto tiba tiba berbicara,
“Oh iya, Sugu, soal tadi malam.....”
Suguha mendadak tersedak, dan buru buru meneguk jusnya.
“Y-Ya?”
“Jadi um, anu.....Terima kasih.”
“Eh....?”
Mendengar kata kata tak terduga ini, Suguha hanya bisa menatap Kazuto.
“Berkat kamu, semangatku sudah pulih kembali. Aku, aku takkan menyerah. Aku pasti akan menolongnya, dan membawanya untuk menemuimu.”
Suguha, sambil menahan sakit di hatinya, tersenyum dan menjawab. “Mm. Ganbatte! Aku juga, ingin menemui Asuna-san.”
“Kalian berdua pasti akan cepat akrab.”
Kazuha menepuk nepuk kepala Suguha kemudian berdiri.
“Kalau begitu, sampai nanti.”
Dengan itu, Kirito mulai berlari ke lantai kedua, dan melihatnya pergi berlalu, Suguha menelan potongan muffin terakhir ke mulutnya.
“--------Berjuanglah......untuk aku juga.....?”
Mencapai kolam di halaman rumah, Suguha memulai suburi. Memegang shinainya, dia mulai bergerak dengan jurus yang nampak bagai tarian, dan perlahan mulai menghangatkan tubuhnya.
Di masa lalu, mengayunkan shinainya adalah semua yang ia perlukan untuk menjernihkan pikirannya, namun hari ini entah kenapa berbeda. Yang berada dalam pikirannya terasa mustahil untuk dihapus, dan saat ini terpaku kuat di tempatnya.
“---------Aku menyukai Onii-chan.....tak apa apakah?”
Tadi malam, karena pemikiran semacam itu, dia sudah memutuskan untuk menyerah. Jauh di dalam hati Onii-chan hanya ada orang itu; hal ini sangat dia pahami, namun itu semakin membuat hatinya sakit.
“-----------Tapi.....mungkin lebih baik begini.”
Dia merasa bimbang, seperti konflik dalam dirinya, tak paham kenapa dia begitu memikirkan Kazuto. Namun ia, sangat paham “kapan” hal itu dimulai.
Dua bulan sebelumnya, Ibunya dihubungi oleh pihak rumah sakit, dan dia terbang ke rumah sakit tanpa sedikitpun keraguan, untuk berada di sisi Kazuto, mata yang basah oleh air mata dan senyum cerah kebahagiaan. Kazuto mencapai tangannya, merespon dengan nada nostalgia. Mulai dari saat itu, sebuah perasaan aneh mulai bersemi di hati Suguha. Aku ingin lebih dekat dengannya, aku ingin lebih banyak berbicara dengannya, aku ingin memeluknya dengan erat, tapi ini, tentu saja, tak bisa kulakukan.
Hanya berada di sisinya dan melihatnya dari kejauhan juga tak masalah, Suguha menenangkan dirinya, sambil ia mengayunkan shinainya sekali lagi. Dia membenamkan diri dalam latihannya sampai tak sadar berapa lama waktu sudah berlalu sampai dia berhenti untuk melihat jam, hanya untuk mendapati kalau hari telah petang.
“Ah, aku tak boleh terus begini. Ada seseorang yang harus kutemui.”
Menghentikan ayunannya, ia meletakkan shinainya di sisi pohon pinus terdekat, dan memungut handuk untuk mengelap keringatnya. Sambil ia mengangkat kepalanya untuk menatap langit, langit biru nampak tipis sepanjang awan.
* * *
Aku berjalan kembali ke kamarku, berganti baju, dan menyalakan teleponku untuk bergetar. Aku duduk di atas ranjang dan membuka ranselku, dan mengeluarkan Game yang Egil berikan padaku.
«ALfheim Online».
Aku belum pernah mendengar nama ini, jadi aku membaca buku petunjuknya.
Pada dasarnya, sebelum memainkan MMORPG, aku akan kumpulkan informasi melalui sejumlah majalah dan forum, namun kali ini aku bahkan tak ragu ragu. Aku membuka bungkus Game dan mengeluarkan ROM di dalamnya. Aku mencolokkan router Nerve Gear kedalamnya, dan memasukkan ROM ke dalam slotnya. Setelah beberapa detik, cahaya indikator utama berhenti berkilat, dan berubah menjadi padat.
Duduk di sisi ranjang, aku menempatkan Nerve Gear di mataku dengan kedua tanganku.
Nerve Gear yang dulu berkilau saat ini sudah sedikit rusak, dan catnya terkelupas disana sini. Selama dua tahun, ia terus menjadi pemenjaraku sekaligus rekan yang selalu bisa kuandalkan.
“---------Sekali lagi, tolong pinjamkan aku kekuatanmu.”
Dengan itu dalam pikiranku, aku menaruh Nerve Gear di kepalaku dan mengencangkan tali di dagu. Dengan bingkai dan kacamata sudah terpasang, aku memejamkan mataku.
Kecemasan dan kegirangan membuat jantungku berdegup dengan kencang, saat aku mencoba menurunkan detak jantungku yang menggila, aku mengatakan ‘LINK START’!
Cahaya yang melintas di penutup mataku perlahan lenyap. Transmisi dari saraf penglihatanku telah terpotong, dan mataku terselimuti oleh kegelapan.
Tak lama kemudian, logo seperti pelangi muncul, dan «Nerve Gear» tanpa bentuk secara perlahan mulai membentuk logo. Gambarnya, yang awalnya kelihatan kabur, adalah untuk tujuan mengkonfirmasi hubungan ke saraf penglihatanku. Pada akhirnya, sebaris teks muncul di bawah logo untuk mengkonfirmasi kalau hubungan visual sudah OK.
Selanjutnya adalah tes suara, dan beragam suara aneh mulai bersahut sahutan. Suara yang awalnya terdengar berantakan mulai menjadi indah dan berubah menjadi harmoni terpadu, sebelum volumenya perlahan mengecil dan akhirnya mati. Saat ini sempurna, sebaris teks muncul untuk mengkonfirmasi kalau sambungan ke saraf pendengaran juga sudah OK.
Prosedur koneksi berikutnya berlanjut. Sekarang berpindah ke perasaan sentuhan dan gravitasi, perasaan ranjangku dan bobot perlahan lenyap. Seiring tes koneksi berlanjut dengan beragam indera, sejumlah kata OK muncul yang mendandakan koneksi sukses. Kalau teknologi FULLDIVE sudah meningkat, maka proses ini bisa dipersingkat secara drastis, dan yang perlu kulakukan hanyalah menunggunya sampai selesai.
Akhirnya, OK terakhir muncul, dan tak lama kemudian membawaku yang berada dalam kegelapan ke warna warna pelangi, ilusi dari dunia Game. Setelah melintasi sejumlah cincin, aku telah sampai di dunia berbeda.
---------Sebenarnya, masih terlalu awal untuk mengatakan itu. Keluar dari kegelapan aku melihat tanda registrasi akun. LOGO utama ALfheim Online perlahan muncul, disertai oleh suara wanita yang lembut.
Mengikuti instruksi yang diberikan, aku mulai menciptakan akun dan karakterku. Di ketinggian dadaku terdapat keyboard virtual yang pucat dan berkilau dan aku memasukkan User ID dan password yang diperlukan. Aku punya pengalaman beberapa tahun sebelum memainkan SAO, jadi proses ini sangat familiar bagiku. Karena ini adalah Game MMO yang bisa didownload, aku normalnya perlu memilih metode pembayaran, namun aku sudah membeli Game ini dan ia disertai oleh free trial satu bulan.
Selanjutnya aku memilih nama panggilan untuk karakterku. Aku tak terlalu banyak berpikir, dan memasukkan nama «Kirito».
Nama ini adalah bentuk kependekan dari nama asliku, Kirigaya Kazuto, dan tak ada banyak orang yang tahu itu. Mereka yang tahu adalah para tim penyelamat dari Kementrian Dalam Negeri, dan mereka yang punya hubungan dekat denganku, misalnya presiden Recto Yuuki Shouzou dan Sugou itu. Tentu saja termasuk Egil dan Asuna, yang masih belum bangun. Bahkan Suguha dan orang tua kami tak tahu soal itu.
Dalam insiden SAO, tak satupun dari informasi ini yang diberitahu pada umum, khususnya nama karakter. Ini karena di dunia itu seringkali terjadi pertarungan antar pemain yang berdampak pada kematian mengerikan di dunia nyata. Kalau publikasi tanpa pembatasan dari informasi ini dibiarkan, maka tak akan sulit mendapati banyak surat pelanggaran hukum terlampir.
Pada saat itu, kesalahan untuk pembunuhan SAO seluruhnya ditujukan pada kepala Kayaba Akihiko, yang keberadaannya saat ini tak diketahui. Kerabat para pemain juga terus mencekal Argus untuk kerugian mereka, yang berdampak pada bangkrutnya perusahaan tersebut. Anggap saja, meski yang melakukan kesalahan terbesar adalah Kayaba itu, maka tak terhindarkan kalau arus deras pelanggaran hukum akan seluruhnya dilimpahkan pada perusahaan.
Dengan sedikit gentar aku menyadari nama yang dikenal dengan Sugou Nobuyuki, dan karena itu nama yang agak terkenal aku mengubahnya dari bentuk romani menjadi bentuk kana. Gender yang kupilih, tentu saja, laki laki.
Kemudian, suara membujukku untuk memilih karakterku. Inilah saat pemain memilih akan seperti apa karakter mereka nanti. Banyak parameter dipilih secara acak dan sistem tak menjelaskan bagaimana mereka berganti. Yang menggangguku adalah biaya tambahan akan diperlukan untuk mengubah penampilanku. Terserahlah, apa saja boleh.
Ada sembilan ras peri berbeda untuk dipilih dari saat memutuskan peran karakterku. Tiap tiap ras memiliki kekhususan dan kelemahan tersendiri yang bisa dijelaskan sebelum aku harus memilih. Salamander, sylphs, dan Gnome sangatlah umum bagi RPG, namun Cait Sith dan Leprechaun tidak terlalu.
Aku tak berniat memainkan Game ini terlalu serius, jadi apa saja boleh bagiku. Jadi karena aku menyukai perlengkapan yang bertema gelap, aku memilih «Spriggan» dan menekan OK.
Setelah menyempurnakan setup dasar, suara buatan mulai berdering sambil berkata “Semoga Berhasil”, aku sekali lagi dikirim ke dalam pusaran cahaya. Menurut suara, aku tengah dikirim ke kampung halaman rasku, Spriggan, sebagai poin permulaan dari Game. Sensasi dari tanah menghilang, dan digantikan oleh perasaan mengapung, kemudian dengan perasaan jatuh ke dunia lain. Cahaya cerah menandai kepindahanku, dan dunia baru perlahan muncul dan nampak semakin jelas. Aku jatuh ke arah pedesaan dari jauh di atas kegelapan.
Setelah dua bulan lepas dari FULLDIVE, stimulasi ini sekali lagi menggairahkan sarafku. Dalam cara ini, aku perlahan mendekati istana ramping di pusat kota—
Pada saat itu.
Adegan di depan mataku mendadak membeku. Nampaknya ada cacat muncul disini dan disana dalam bentuk poligon yang lenyap, dan suara seperti halilintar bisa terdengar sepanjang dunia. Resolusi dari semua objek dengan tajam mulai buyar, menjadi seperti mosaik, dan dunia ini melebur dan runtuh bersamaan.
“A – Apa apaan ini!?”
Bahkan suara teriakanku tak bisa didengar – aku mulai terlempar dengan kencang sekali lagi. Pada kegelapan yang sangat luas tanpa akhir, aku turun ke tanah dalam posisi jatuh bebas.
“Harus apa aku sekarang!? AHHHHHHH!”
Teriakanku terhisap kedalam kegelapan sebelum perlahan lahan menghilang.
0 komentar:
Posting Komentar