Kupikir urat sarafku akan terbakar, memikirkan kecepatanku menyerbu melewati jarak terakhir itu.
Di depanku adalah gerbang berbentuk lingkaran yang besar terbuat dari empat bagian yang tertutup rapat digambari oleh litografberbentuk salib. Dibelakangnya, dia – Asuna menunggu. Tertinggal di dunia itu, bersama dengan separuh jiwaku.
Dari belakang, teriakan para ksatria penjaga bergema, penuh amarah. Mereka berbalik, dan sepertinya mereka akan mengejarku. Lalu banyak ksatria muncul dari kanopi di sekitar gerbang bahkan tanpa kilatan cahaya dan menyerbu ke arahku seketika mereka melihatku dalam jarak pandangnya.
Bagaimanapun, aku lebih cepat. Gerbangnya hanya tinggal berjarak satu lengan dariku.
Tapi – akan tetapi.
“…Gerbangnya tidak bisa dibuka…!?”
Aku secara tidak sadar berteriak pada situasi yang tak terduga ini.
Gerbangnya tidak mau terbuka. Sebelumnya, aku berpikir jika aku mendekat sedikit lagi saja, gerbang besar menyebalkan itu akan terbuka, tapi ia tertutup rapat, menghalangi jalanku dan bagian yang berbentuk salib tidak bergerak sedikitpun.
Mulai saat itu, tidak ada waktu untuk melambat. Aku bersiap dengan pedangku di tangan kanan setinggi pinggang, dan berharap dapat menghancurkan gerbangnya dengan satu tebasan, menyerbu ke arahnya, bersatu dengan pedangku.
Segera setelah itu, aku mengenai gerbang itu dan sangat terkejut. Ujung pedangku menusuk potongan batu itu, menebarkan bunga api yang intens. Namun – permukaannya tidak tergores sama sekali.
“Yui – apa yang terjadi!?”
Aku berteriak dalam kebingungan. Tak mungkin, barusan itu tidak cukup? Apa kita tidak hanya harus menerobos ksatria penjaga, tapi juga membutuhkan sejenis item atau flag?
Hampir mengikuti keinginan untuk mengayunkan pedangku lagi, Yui terbang keluar saku pakaianku dengan suara lonceng kecil. Dengan lembut ia meletakkan tangannya pada gerbang batu.
“Papa.”
Ia segera memutar kepalanya, dan dengan cepat berkata:
“Pintunya tidak dikunci oleh quest flag atau yang lainnya! Ini seperti ini karena administrator sistem.”
“A – Apa maksudmu!?”
“Dengan kata lain… pintu ini tidak akan pernah bisa dibuka oleh pemain!”
“Ap….”
Aku terdiam.
Ini artinya petualangan besar – bahwa ras yang memanjat World Tree dan mencapai Kota di Langit akan terlahir kembali sebagai peri sesungguhnya, seperti menggantungkan wortel didepan hidung seekor kelinci tahu kelinci itu tidak akan pernah bisa mencapainya? Di luar fakta bahwa tingkat kesulitannya kelewat batas, lalu ada pintu yang tidak akan pernah bisa dibuka tanpa kunci yang bernama otoritas sistem…?
Aku merasa tubuhku kehilangan tenaga. Dibelakangku, teriakan para ksatria penjaga menyerbuku seperti tsunami. Namun, tekad yang membuatku dapat memegang pedang lagi tidak mau keluar.
‘- Asuna, aku sudah sampai sejauh ini… tinggal sedikit lagi, sampai aku bisa mencapaimu… sepotong kehangatanmu waktu itu, apa itu yang terakhir bagi kita…?’
‘- Tidak. Tunggu. Itu, kalau tidak salah…’
Mataku membuka lebar. Dengan tangan kiriku, aku meraba-raba dalam kantung belakangku. Ada. Sebuah kartu kecil. Apa yang Yui katakan sebelumnya, bahwa ini adalah kode akses sistem…
“Yui – pakai ini!” Aku mengeluarkan kartu berwarna silver itu di depan mata Yui. Matanya melebar lalu ia mengangguk dalam.
Tangan kecilnya menyapu permukaan kartu. Beberapa garis cahaya mengalir dari kartu ke dalam Yui.
“Menyalin kode!”
Ia berseru, lalu mengempaskan kedua telapak tangannya ke permukaan gerbang.
Aku disilaukan oleh cahaya yang terang dan menyipitkan mataku. Tempat dimana tangannya menyentuh, garis-garis biru terang memancar, dan segera setelahnya, gerbang itu sendiri mulai bersinar.
“- Kita akan ditransfer!! Papa, pegang tanganku!!”
Yui mengulurkan tangan kanannya dan menggenggam erat ujung jari tangan kiriku. Garis cahaya itu disalurkan melalui tubuhnya mengalir ke dalam tubuhku. Tiba-tiba, suara aneh dari ksatria penjaga bergema dari tepat di belakang kami. Walaupun aku menyiapkan diri, lusinan pedang besar meluncur ke arahku. Tetapi, pedang-pedang itu hanya menembusku seperti mereka sudah kehilangan substansi. Bukan, akulah yang mulai menjadi transparan. Tubuhku menghilang perlahan-lahan ke dalam cahaya.
“―!!”
Tiba-tiba, aku merasa seperti ditarik kedepan. Yui dan aku berubah menjadi aliran data dan dihisap ke dalam gerbang, yang telah berubah menjadi tabir putih yang bersinar.
Kesadaranku segera kembali.
Ku gelengkan kepalaku beberapa kali berusaha membuang sensasi yang tertinggal akibat perpindahan tadi sambil mengedip-kedipkan mata. Ini sama dengan penggunaan Kristal teleportasi di Aincrad, tetapi bukannya oleh kesibukan alun-alun gerbang teleportasi yang kukenal, aku dikelilingi oleh kesunyian.
Aku perlahan bangkit dari postur dimana aku menemukan diriku dengan satu lututku menyentuh tanah. Didepanku adalah Yui dengan wajah cemas. Dia tidak lagi dalam wujud pixie kecil, tapi yang asli, dengan penampilan anak perempuan berusia sekitar 10 tahun.
“Papa tidak apa-apa?”
“Iya… Ini…?”
Aku melihat ke sekelilingku sambil mengangguk.
Bagaimanapun kau mengatakannya – tempat ini sangat ganjil. Sama sekali berbeda dengan jalan-jalan yang dihias di Sylvain dan Aarun dengan perasaan ‘game’ baru dengan detil yang berlebihan. Segala yang kulihat memberikan kesan kosong, hanya ada dinding putih tanpa tekstur atau detil.
Aku berada di suatu tempat ditengah semacam jalan. Daripada lurus, jalan ini menikung ke kanan. Sama halnya dengan dibelakangku. Sepertinya tikungan ini sangat panjang, atau mungkin jalan yang melingkar.
“… Aku tidak mengerti, sepertinya tidak ada peta untuk navigasi tempat ini…”
Kata Yui dengan wajah bingung.
“Apa kau tahu dimana Asuna berada?”
Ketika ditanya, mata Yui terpejam sebentar, lalu ia mengangguk dalam.
“Iya. Tempatnya sudah – sudah dekat… ke arah sini.”
Bertolak dari lantai dengan bertelanjang kaki, ia berputar dan mulai berlari tanpa suara. Aku kembalikan pedang di tangan kananku ke punggungku lalu segera mengikutinya. Katana yang seharusnya ada di tangan kiriku telah menghilang. Kemungkinan, ketika aku ditransfer kesini, katana itu kembali ke tangan Lyfa, yang merupakan pemilik dari data sistem aslinya. Kalau dia tidak melemparkan pedang itu padaku, aku pasti tidak akan bisa menembus dinding terakhir itu. aku menutup mataku sebentar dan dalam diam menyampaikan terima kasihku pada sensasi yang tersisa di tangan kiriku.
Setelah mengikuti Yui untuk beberapa lusin detik, sebuah pintu persegi dapat terlihat dari sebelah kiri, dinding sebelah luar tikungan. Pintu itu sama-sama tidak dihias juga.
“Sepertinya memungkinkan untuk mencapai puncak dari sini.”
Aku mengangguk pada kata-katanya saat Yui berhenti dan mengamati pintu itu dengan seksama – badanku menjadi kaku seketika.
Terdapat dua tombol berbentuk segitiga berbaris, satu menunjuk ke atas, yang lain menunjuk ke bawah. Ini merupakan sesuatu yang tidak pernah aku lihat di dunia ini, tetapi tidak diragukan lagi, sangat aku kenal di dunia nyata. Aku hanya bisa memikirkan bahwa tombol-tombol ini adalah tombol untuk elevator.
Tiba-tiba dan anehnya, dengan tubuhku dibungkus baju tempur dan pedang di punggungku, aku mengerutkan dahi merasa salah tempat. Tidak – tempat inilah yang aneh. Jika tombol-tombol ini merupakan apa yang kupikirkan, maka tempat ini tidak dapat dikatakan sebagai dunia game lagi. Kalau begitu… tempat apa ini?
Namun keraguan itu melintas di pikiranku hanya sesaat saja. Segera, pintunya terbuka dengan efek suara ‘pong’, memperlihatkan ruangan kecil berbentuk kontak dibaliknya. Memasuki ruangan itu bersama Yui, aku berbalik dan tentu saja, terdapat panel dengan tombol-tombol berbaris di sebelah pintu. Tombol yang menandakan lantai ini menyala dan sepertinya ada dua lantai lagi di atas lantai ini. Meskipun sedikit ragu, aku menekan tombol yang paling atas.
Terdengar efek suara lagi. Pintunya tertutup dan aku diselimuti oleh, yang tidak salah lagi, sensasi naik.
Elevator segera berhenti. Dibalik pintunya adalah jalan menikung yang sama dengan jalan yang kami tinggalkan sebelumnya. Menghadap Yui yang menggenggam erat tangan kananku, aku berkata:
“Apa ini lantai yang benar?”
“Ya. – Sudah, dekat… di dekat sini.”
Sambil berkata begitu, Yui menarik tanganku dan mulai berlari.
Selama tambahan puluhan detik kemudian, aku mencoba menenangkan detak jantungku yang kalut sambil berlalu melewati jalan ini. Kami tiba di dekat beberapa pintu pada lingkar dalam tikungan, tapi Yui melewatinya tanpa melirik sedikitpun.
Akhirnya, Yui berhenti di sebuah tempat kosong.
“…Ada apa?”
“Dibalik sini… ada jalan…”
Yui mengusap dinding lingkar luar yang halus sambil bergumam. Tangannya mendadak berhenti, dan seperti ketika dengan gerbang sebelumnya, garis-garis cahaya biru berliku-liku dengan berbagai sudut menjalar di permukaan dinding.
Ketika Yui dengan tanpa bicara menginjakkan kakinya ke jalan yang terbuka, dia mulai berlari dengan kecepatan yang lebih tinggi. Melihat kelembutan di wajahnya, tak tahan untuk menunggu bahkan satu detik lebih lama, aku yakin Asuna sudah dekat.
Cepat, cepat. Aku berdoa sepenuh hati dari lubuk hatiku sambil terus melangkah maju dengan sungguh-sungguh. Tidak lama kemudian jalannya berhenti di depan dan sebuah pintu dengan 4 sisi menghalangi kami. Yui, tanpa berhenti, mengulurkan tangan kirinya dan dengan paksa mendorong pintu itu terbuka.
“―!!”
Di depan mata kami, kami dapat melihat matahari terbenam yang besar.
Langit senja yang tak berbatas menyelimuti dunia. Aku menyadari ada sedikit perasaan tidak enak tentang pemandangan tempat ini. Tempat ini dibuat di ketinggian yang luar biasa, kau dapat melihat lengkungan halus horison. Suara angin disini terdengar kencang.
Tanpa bisa kuhindari, aku mengingat saat itu.
Asuna dan aku duduk bersebelahan menyaksikan kastil terapung itu menghilang, mengurai ke langit sore yang abadi. Ia mengangkat suaranya, kata-katanya mengapung di telingaku.
“Kita akan bersama selamanya.”
“Ah – iya. Aku sudah kembali.”
Setelah menggumamkan itu, aku mengalihkan pandangan ke kakiku.
Tempat yang tadinya merupakan lantai kristal, sekarang digantikan oleh dahan pohon yang sangat besar.
Penglihatanku, yang telah disempitkan oleh matahari terbenam yang merah menyala, kembali terbuka lebar. Di atas kepalaku, pohon ini bercabang ke segala arah, membentangkan lapisan dedaunan tebal ke semua sisi, seperti pilar yang menyangga surga. Di bawah, cabang-cabang yang tidak terhitung jumlahnya membentang di jarak pandangku. Bahkan jauh di bawah sana, dibalik samudera awan yang luas, aku samar-samar dapat melihat sebuah sungai mengalir berlika-liku di antara padang rumput.
Ini adalah puncak World Tree. Tempat yang Lyfa… Suguha terus mimpikan untuk melihatnya, puncak dunia.
Meskipun begitu ―.
Aku melihat sekitarku perlahan-lahan. Disana, batang World Tree berdiri teguh seperti dinding yang merentang jauh dan bercabang.
“Tidak ada… Kota di Langit…”
Aku berbisik tercengang. Hanya ada jalanan putih yang hambar. Tidak mungkin ini adalah Kota di Langit yang legendaris. Lagi pula, adalah penting untuk membuat semacam event untuk menandai berakhirnya sebuah petualangan besar. Setelah menerobos gerbang di dome, aku tidak mendengar adanya keriuhan pawai.
Dengan kata lain, itu semua adalah kotak hadiah kosong. Dihias dengan bungkus kado dan dipermanis dengan pita untuk menyembunyikan bahwa semuanya adalah kebohongan. Lalu, apa yang harus aku katakan pada Lyfa, yang bermimpi untuk dilahirkan kembali sebagai peri tingkat atas?
“… Ini tidak bisa dimaafkan…”
Aku bicara tanpa berpikir. Terhadap orang atau organisasi yang menjalankan dunia ini.
Tiba-tiba, aku merasakan tarikan kecil di tangan kananku. Yui menatapku dengan wajah khawatir.
“Ah, benar. Ayo pergi.”
Semua ini adalah untuk menolong Asuna. Aku datang kesini hanya untuk itu.
Didepan mataku, sebuah cabang pohon besar memanjang ke arah matahari terbenam. Di tengah cabang pohon terdapat jalan buatan. Jalan di depan sana, dibalik puncak pepohonan yang berdiri dihadapan matahari – memantulkan cahaya keemasan. Aku dan Yui mulai berlari menuju cahaya itu. Aku berusahan keras menahan rasa kesal dan hasrat yang sepertinya akan terbakar kapan saja, dan melaju menapaki jalanan pohon ini. Daya tanggapku terakselerasi, membuat saat yang sekejap terasa seperti selamanya, sehingga apa yang hanya sesaat dapat menjadi beberapa detik bahkan menit.
Melewati sebuah tumpukan tebal daun yang berbentuk aneh, jalannya berlanjut. Setiap kali dahannya bersilangan dengan dahan lain, akan ada tangga naik dan turun untuk melintasinya. Aku hanya akan mengepakkan sayapku dan melompatinya.
Identitas dari cahaya keemasan yang berkilau itu mulai terlihat. Itu adalah kombinasi dari batangan-batangan logam vertikal dan horizontal membentuk jeruji dari logam – tidak, itu adalah sebuah sangkar.
Di atas dahan yang besar kami berlari pada dahan lain yang paralel dengannya, dan dari dahan itu menggantung sebuah sangkar ortodoks. Bagaimanapun, sangkar itu luar biasa besar. Sangkar itu tidak akan bisa mengurung burung pemangsa, apalagi burung-burung kecil. Benar – itu sepertinya memiliki tujuan lain -.
Aku diingatkan kembali dengan percakapan di tempat Egil, dari ingatan yang sepertinya sangat jauh yang terasa seperti dari dulu kala. Kelima pemain yang saling menggendong untuk melewati batas ketinggian dan mengambil foto. Foto-foto yang mereka ambil memotret seorang gadis misterius terperangkap dalam sangkar. Ya, pasti. Itu adalah Asuna – Asuna pasti ada disana.
Ada keyakinan yang kuat pada tangan kecil yang dengan erat menggenggam tangan kananku, menarik ku maju. Kami berlari begitu cepat seakan meluncur di udara, lalu kami melompati tangga terakhir.
Jalan yang dipahat pada dahan mendadak menyempit saat ia berlanjut ke bawah sangkar dan berhenti.
Aku telah bisa melihat dengan jelas isi sangkar itu. Sebuah tanaman besar dan berbagai bunga dalam pot mengalasi lantai ubin berwarna putih. Ditengahnya adalah ranjang besar dengan kanopi yang mewah. Disebelahnya adalah sebuah meja putih bulat dan sebuah kursi tinggi. Seorang gadis duduk di kursi tersebut dengan kedua tangannya di atas meja dan kepalanya tertunduk dengan aura seperti orang yang sedang berdoa.
Rambut lurus yang panjang mengalir menutupi punggungnya. Ia mengenakan jenis pakaian yang sama dengan Yui tetapi lebih transparan. Sayap-sayap tipis memanjang dengan elegan dari punggungnya. Semuanya disinari oleh cahaya merah brilian dari matahari yang terbenam.
Aku tidak bisa melihat wajahnya. Meskipun begitu, aku tahu. Tidak mungkin aku tidak tahu. Seperti gaya magnet, jiwaku tertarik padanya dengan kilatan yang hampir terlihat yang tercetus diantara kami berdua.
Pada saat itu, gadis itu – Asuna segera mengangkat wajahnya.
Mungkin karena kerinduanku yang dalam, tapi sosok yang indah itu seperti sudah menyumblim menjadi sosok keakraban yang penuh cahaya(!). Terkadang ia cantik dan cerdas, seperti pedang yang telah diasah. Di waktu lain, sebuah kehangatan yang ramah dan jahil. Wajahnya, yang selalu ada disampingku selama kami bersama di hari-hari pendek namun membuat rindu itu, pertama dipenuhi keterkejutan. Lalu kedua tangannya naik untuk menutup mulutnya sementara matanya yang besar dan berwarna merah kecoklatan berkaca-kaca, meluap membentuk air mata.
Mengambil beberapa langkah terakhir dengan dorongan dari kepakan sayap, aku berbisik dalam suara yang tidak menjadi bunyi.
“- Asuna.”
Yui pun berteriak pada saat yang sama.
“Mama… Mama!!”
Diujung jalan yang berlanjut ke sangkar terdapat pintu persegi yang terbuat dari jeruji logam tebal dengan sisipan pelat logam kecil yang sepertinya merupakan mekanisme pengunci. Walau pintunya tertutup Yui tidak memperlambat langkahnya sambil menarikku. Malah, ia mengulurkan tangannya dan menahannya di atas sisi kirinya. Tangannya diselimuti cahaya biru.
Kemudian, ia melambaikan tangannya ke arah kanan. Pada saat yang sama, pintu itu seketika meledak seakan hanya lembaran logam. Pintu itu segera menjadi partikel cahaya dan terurai, menghilang dengan cepat.
Yui segera melepaskan tanganku dan dengan kedua tangan terentang, berteriak lagi.
“Mama—!!”
Ia langsung menyerbu melalui pintu masuk ke dalam sangkar.
Bertolak dari kursinya, Asuna berdiri. Dia menyingkirkan tangannya dari mulutnya, dan dari bibirnya, sebuah suara yang bergetar namun jelas terdengar.
“- Yui-chan!!”
Lalu Yui bertolak dari lantai, melompat langsung ke dada Asuna. Rambut hitam bercampur dengan rambut coklat kemerahan dan menari di udara, terlihat berwarna merah tua dalam cahaya matahari sore.
Yui dan Asuna berpelukan erat, menciumi pipi satu sama lain dan saling memanggil sekali lagi untuk memastikan.
“Mama…”
“Yui…-chan…”
Air mata mereka berdua mengalir membasahi wajah mereka dan hilang dalam cahaya matahari yang terbenam, bersinar seperti bara api.
Aku menenangkan tenaga yang menggerakkanku maju dan berjalan menuju Asuna dalam diam, berhenti beberapa langkah di depannya. Asuna mengangkat wajahnya, dan mengedipkan matanya untuk menyingkarkan air mata, menatapku langsung.
Pada saat yang sama, aku tidak dapat bergerak. Jika aku bergerak lebih dekat dan menyentuhnya, semuanya mungkin akan menghilang… Lagipula, sosokku sekarang sangat berbeda dengan waktu itu. Kulit gelap Springgan dan gaya rambut spike, tidak ada kesamaan dengan Kirito dari masa itu. Menahan air mataku, aku tak dapat melakukan apapun selain menatapnya.
Tapi seperti sebelumnya, bibir Asuna bergerak, dan memanggil namaku.
“- Kirito-kun.”
Setelah hening sebentar, mulutku bergerak dan memanggil namanya.
“Asuna…”
Aku mengambil dua langkah terakhir, tanganku terbuka. Aku menyelimuti tubuhnya yang lemah dengan tubuhku, memeluknya erat didadaku dengan Yui diantara kami. Wangi yang membuat rindu melayang disekitarku dan kehangatannya yang kurindukan membasuh tubuhku.
“…Maafkan aku karena begitu lama untuk sampai kesini.” Aku bergumam dengan suara yang gemetar. Asuna melihat ke dalam mataku dari jarak sangat dekat dan membalas.
“Tidak, aku percaya padamu. Aku yakin— bahwa kamu akan datang menolong…”
Lebih banyak kata sudah tidak penting lagi. Asuna dan aku menutup mata dan menenggelamkan wajah ke leher satu sama lain. Kedua tangan Asuna di belakang punggungku, memelukku erat. Sebuah desahan puas dari Yui keluar diantara kami.
- Ini saja sudah cukup. Pikirku.
Jika ini menjadi saat terakhirku akan tidak akan punya penyesalan, walau hidupku padam. Hidup yang seharusnya berakhir di dunia itu, akhirnya berakhir disini, hanya untuk ini…
Tidak, bukan begitu. Akhirnya, sekarang dimulai. Disini, dunia pedang dan pertempuran itu akhirnya akan berakhir dan kami akhirnya akan berangkat ke dunia baru bernama kenyataan, bersama.
Aku menengadah dan berkata:
“Ayo pulang. Ke dunia nyata.”
Aku memegang tangan Asuna dengan erat, dan Yui memegang tangan yang lain. Aku menatap wajah Yui dan bertanya:
“Yui, apakah mungkin untuk me-log out Asuna dari sini?”
Yui mengerutkan alisnya sebentar, lalu menggelengkan kepala.
“Status Mama diikat oleh kode yang rumit. Sebuah system console dibutuhkan untuk membukanya.”
“Console…”
Kata Asuna dengan suara yang terdengar gelisah, dan memiringkan kepalanya.
“Kurasa aku melihatnya di sebuah laboratorium di lantai paling bawah… Ah, laboratorium itu adalah…”
“Maksudmu di tempat masuk putih yang kosong itu?”
“Iya… Kamu datang dari situ?”
“Iya.”
Aku menganggukkan kepalaku, Asuna mengernyit sambil menatapku, sepertinya ada yang mengganggunya.
“Apa kamu melihat sesuatu yang… aneh?”
“Tidak, aku bahkan tidak bertemu siapapun…”
“… Ada kemungkinan anak buah Sugou berkeliaran di sekitar sini… langsung tebas saja dengan pedangmu!”
“Ap… Sugou!?”
Saat Asuna mengatakan namanya, aku terkejut dan pada saat yang sama teryakinkan.
“Ini adalah ulah orang itu… ulah Sugou? Memenjarakan Asuna disini.”
“Iya. – Bukan itu saja, Sugou melakukan hal yang mengerikan disini…”
Asuna mulai bicara, kenyataannya bahkan memancarkan kebencian, tapi ia segera menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kita akan lanjutkan pembicaraan ini saat kita kembali ke dunia nyata. Sugou sedang tidak di perusahaan sekarang. Kita bisa menggunakan kesempatan ini untuk mendapat akses ke server dan membebaskan semua orang… Ayo!”
Walaupun banyak hal yang ingin kutanyakan, prioritas utamaku adalah mengembalikan Asuna ke dunia nyata. Aku mengangguk dan berputar.
Menarik Asuna yang memegang tangan Yui, aku mulai berlari menuju pintu yang diledakkan tadi. Setelah dua langkah, tiga langkah, saat kami hampir mencapai pinggiran sangkar, pada waktu itu.
— Seseorang sedang mengawasi kita.
Tiba-tiba, aku merasakan sebuah sensasi tidak menyenangkan dari belakang leherku. Perasaan yang sama yang kurasakan di SAO ketika aku dijadikan target oleh PK -er berkursor jingga daripada seekor monster yang bersembunyi dalam bayangan.
Aku segera melepaskan tangan Asuna dan memegang hulu pedangku. Bersiap menghunuskannya, aku menggerakkan tanganku sedikit. Pada saat itu…
Mendadak, sangkarnya dipenuhi oleh air. Terasa seakan kami dikelilingi cairan yang sangat kental dan gelap.
Tidak, bukan begitu. Aku bisa bernapas, tapi udaranya menjadi sangat berat. Meskipun aku dapatmenggerakkan tubuhku, seakan kami berada dalam lender yang lengket, aku merasakan daya tahan yang besar. Tubuhku terasa berat. Matahari terbenam di dalam sangkar dinodai oleh kegelapan.
“—Apa ini!?”
Suaranya terdistorsi, seakan muncul dari dalam air.
Aku mencoba untuk mempertahankan Asuna dan Yui dan menarik mereka mendekat tanpa menghiraukan perasaan tidak menyenangkan yang luar biasa, tapi— aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhku. Udaranya lengket, bergerak seperti punya kesadaran seperti tumbuhan merambat yang mengikatku.
Akhirnya, dunia diselimuti kegelapan sepenuhnya. Tidak, sebenarnya agak berbeda. Aku bisa melihat Asuna dan Yui dalam dress one-piece mereka dengan jelas. Tetapi latar belakangnya seakan dicat dengan warna hitam.
Aku menggeretakkan gigiku dan menggereakkan tangan kananku. Seharusnya aku sudah dekat dengan pinggiran sangkar. Aku mengulurkan tanganku, berpikir akan menarik tubuhku dari ruang itu – tapi tanganku tak menyentuh apapun.
Tidak hanya kelihatannya saja. Kami benar-benar dilempar ke dalam dunia kegelapan. Aku tidak tahu dimana sebenarnya tempat ini.
“Yui—”
‘Apa situasinya’ adalah yang ingin aku katakan. Tapi dari lengan Asuna, Yui tiba-tiba membungkuk dan berteriak.
“Eeek! Papa… Mama… Hati-hati! Ada sesuatu yang sangat jahat disini…”
Sebelum ia bahkan menyelesaikan kata-kata itu, kilat ungu mulai bersinar dari tubuh Yui, dan dengan kilatan yang menyilaukan – lengan Asuna kosong.
“Yui!?”
“Yui-chan—!?”
Asuna dan aku berteriak secara bersamaan. Tetapi tidak ada jawaban.
Dalam kegelapan yang benar-benar hitam yang padat dan lengket, hanya Asuna dan aku yang tersisa. Aku menggapai dengan putus asa, ingin berada lebih dekat dengan Asuna. Dengan mata terbelalak, Asuna mengulurkan tangannya sekuat tenaga.
Akan tetapi, tepat sebelum jari-jari kami saling menyentuh, kami dihantam oleh gaya gravitasi yang besar.
Itu terasa seperti kami dilempar ke dalam dasar sebuah rawa lender yang sangat, sangat dalam. Aku tidak bisa menahannya, tekanannya meliputi seluruh tubuhku dan aku terjatuh pada satu lutut. Asuna terjatuh pada waktu yang sama, menimpakan kedua tangannya pada lantai yang tidak terlihat.
Asuna melihat kearahku, mulutnya bergerak sedikit-sedikit.
“Kirito…-kun…”
‘Tidak apa-apa. Aku akan melindungimu apapun yang terjadi’, aku ingin berkata begitu. Pada saat itu sebuah tawa bernada tinggi bergema dalam kegelapan.
“Hei, apa pendapatmu tentang sihir ini? Ini dijadwalkan untuk diperkenalkan pada update selanjutnya, tapi mungkin efeknya terlalu kuat?”
Suara itu penuh dengan olok-olok yang tidak bisa disembunyikan, suara yang familiar. Lelaki yang, di depan Asuna yang tertidur, mengolok-olok ku, menyebutku pahlawan.
“—Sugou!!”
Aku berteriak sambil berusaha berdiri.
“Bukan, bukan, di dunia ini, tolong jangan memanggilku dengan nama itu. tidak menggunakan sebutan hormat saat memanggil nama rajamu. Kau boleh memanggilku sang Raja Peri, Yang Mulia, Oberon!!”
Kata-kata terakhirnya melompat beberapa oktaf lebif tinggi, berubah menjadi seruan. Pada saat yang sama, sesuatu menyerang kepalaku.
Memutar kepalaku sedikit, seorang lelaki berdiri disebelahku. Yang dapat kulihat hanya kaki, yang dibungkus oleh sepatu bot yang menutupi celana ketat dengan sulaman yang sangat menyolok, yang dia gerakkan ke kiri dan kanan di atas kepalaku.
Ketika aku melihat ke atas aku bisa melihat dia memakai pakaian panjang berwarna hijau berbisa, dan di atasnya adalah wajah yang terlihat sempurna. Tidak – wajah itu benar-benar sebuah wajah buatan. Memulai dari nol dengan pemodelan polygon, wajah itu adalah wajah yang tampan yang dirusak oleh ekspresi seperti orang sinting, membuatnya benar-benar jelek. Bibirnya yang merah menyimpang jauh, membuatnya terlihat seperti sedang menyeringai.
Walaupun penampilannya berbeda, aku tahu orang ini adalah Sugou. Orang yang mengurung jiwa Asuna di tempat seperti ini, seorang lelaki yang rasa benci saja tidak cukup.
“Oberon – tidak, Sugou!”
Asuna hampir terbaring di lantai, tetapi ia mengangkat wajahnya, berteriak dengan berani.
“Hal-hal yang sudah kau lakukan, aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!! Semua perbuatan jahat itu – kau tidak akan bisa lolos, tidak akan!!”
“Oh? Memangnya siapa yang akan menghentikanku? Kau, atau dia? Atau mungkin Tuhan? Sayangnya, tidak ada Tuhan di dunia ini. Selain aku, hehe!”
Kata Sugou dengan suaranya bercampur dengan tawa yang menyebalkan sambil dia menginjak kepalaku keras-keras. Tidak dapat menahan tekanan dari gravitasi, aku didorong ke lantai.
“Hentikan ini, dasar pengecut!!”
Asuna berteriak, tapi Sugou tidak mendengarkannya. Malah, membungkuk ke arahku, dia mengeluarkan pedangku dari sarungnya di punggungku. Berdiri, dia memberdirikannya di atas jari telunjuknya lalu memutar-mutarnya.
“Well, Kirigaya-kun, tidak… aku mestinya memanggilmu Kirito. Aku tidak berpikir kau bakal benar-benar datang kesini. Apa ini keberanian atau ketololan? Karena kau ada dalam situasi begini, berarti yang terakhir, hehe. Kudengar burung kecilku kabur dari sangkarnya. Berpikir bahwa kali ini dia harus dihukum aku cepat-cepat kembali, tapi mengejutkan sekali! Ada kecoa yang tersesat ke dalam sangkar! — Kalau dipikir-pikir lagi, ada satu program yang aneh…” Sugou berhenti, dan melambaikan tangan kirinya, segera mengeluarkan jendela menu. Bibirnya melengkung selama dia melihat ke layar biru yang berpendar beberapa saat, dan bersenandung dengan suara hidung, dia menutup jendelanya.
“…Kabur ya? Lagian program apa itu? Lalu, bagaimana kau memanjat kesini?”
Mengetahui bahwa paling tidak Yui tidak dihapus, aku merasa sedikit lega dan berkata:
“Aku terbang kesini, dengan sepasang sayap ini.”
“Well, tidak masalah. Aku bakal mengerti kalau aku tanya isi kepalamu langsung.”
“… Apa?”
“Kau tidak berpikir kalau aku membuat tempat ini dalam keadaan mabuk, bukan?”
Sambil melambung-lambungkan pedangku dengan jarinya, Sugou tersenyum dengan senyuman yang berbisa.
“Dengan kerja sama yang dicurahkan oleh para mantan pemain SAO, penelitianku terhadap dasar cara kerja proses berpikir dan ingatan sudah 80% selesai. Sedikit lagi dan aku akan mampu mengendalikan jiwa yang tidak pernah mampu dicapai siapapun. Itu selalu dikatakan sebagai karya Tuhan! Selain itu, aku dengan senang mendapatkan specimen baru hari ini. Ah, aku senang sekali. Melihat-lihat ingatanmu, menulis ulang emosimu!! Hanya memikirkannya saja sudah membuatku gemetar!!”
“Tak mungkin… itu, kau tidak bisa melakukan itu…”
Bisikku sambil masih berusaha untuk menguasai kesangsianku setelah pembicaraan yang terlalu gila itu. Sugou menaruh kakinya di kepalaku lagi, mengetuk-ketukkan jari kakinya.
“Kau tidak belajar dari pengalamanmu sebelumnya dan tersambung menggunakan NerveGear bukan? Itu menaruhmu di posisi yang sama dengan tubuh spesimenku yang lainnya. Bagaimanapun juga, anak-anak itu bodoh. Bahkan anjing mengingat apa yang tak boleh dilakukan setelah sekali ditendang.”
“Itu… hal seperti itu tidak akan bisa dimaafkan, Sugou!!”
Asuna berteriak dengan wajah yang seperti tidak berdarah.
“Kalau kau menyentuh Kirito, aku tidak akan pernah memaafkanmu!!”
“Burung kecil, hari dimana aku akan bisa mengubah kebencianmu menjadi kepatuhan penuh dengan satu jentikan jari sudah dekat.”
Setelah Sugou mengatakannya dengan ekspresi mabuk kesenangan, dia memegang pedangku dan membelai bilah pedangnya dengan ujung-ujung jari tangan kirinya.
“Well, mari kita nikmati pesta yang menyenangkan sebelum aku merubah jiwamu! Yeah… akhirnya, aku sudah lama menunggu momen ini. Karena tamu terbaik sudah muncul, kurasa senilai dengan waktu yang kuhabiskan untuk menunggu sampai batas kesabaranku!!”
Sugou berbalik, merentangkan tangannya lebar-lebar.
“Saat ini, aku merekam semua log dalam ruang ini! Tunjukkan padaku ekspresi yang bagus!”
“……”
Asuna menggigit bibirnya, menatap ke dalam mataku, berbisik cepat.
“…Kirito-kun, log out sekarang. Di dunia nyata kau bisa membongkar rencana Sugou. Aku akan baik-baik saja.” “Asuna…!”
Aku merasa terkoyak ke dua arah sebentar. Tapi segera mengangguk dan melambaikan tangan kiriku. Kalau ada informasi sebayak ini, memungkinkan bagiku untuk mendapat tim penolong meski tanpa bukti fisik. Selam kita bisa mengontrol server ALO di RECTO Progress, semuanya akan bisa diselesaikan.
— Tetapi jendelanya tidak muncul.
“Ahahahahahahahaha!!”
Sugou membungkuk, memegang perutnya mengejang dalam tawa.
“Sudah kubilang ‘kan! Ini adalah duniaku! Tidak ada yang bisa kabur dari sini!!”
Sugou menari-nari senang, mendadak mengangkat tangan kirinya. Setelah jari-jarinya memanipulasi jendela menu dua rantai seperti jatuh dari langit dalam kegelapan tanpa ujung dengan suara berdencing.
Ada gemuruh suara logam saat rantai-rantai itu jatuh ke lantai. Cincin-cincin logam besar menggantung dari setiap ujung rantai, Sugou mengambil salah satu lingkaran dan memasangnya pada pergelangan tangan kanan Asuna dengan suara ‘kaching’ yang berisik. Lalu, rantai yang memanjang sampai kegelapan itu tertarik sedikit.
“Kya!!”
Rantainya mendadak tertarik ke atas dan tanan kanan Asuna terangkat tinggi. Ujung-ujung jari kakinya hampir tidak menyentuh tanah ketika rantainya berhenti.
“Dasar brengsek… apa yang kau…!”
Aku berteriak, tapi Sugou bahkan tidak melirik ke arahku sambil bersenandung dan mengambil cincin belenggu lain.
“Aku memang punya macam-macam mainan. Well, aku akan mulai dari sini.”
Sambil berkata demikian, lingkaran itu dibelenggukan ke pergelangan tangan kiri Asuna dan rantainya tertarik lagi. Dengan sisi lainnya terangkat, Asuna tergantung di udara dengan penampilan seperti ia ditangkap dari kedua tangannya. Seperti masih berada dibawah pengaruh gravitasi yang intens, lengkungan alis matanya yang elegan terlihat piuh.
Saat Sugou berdiri di depan Asuna dengan kedua tangan menyilang, dia bersiul vulgar pada Asuna.
“Cantik sekali, wajah ini memang tidak bisa dibuat oleh wanita NPC.”
“…!”
Asuna membersut ke arah Sugou dan menutup kelopak matanya rapat-rapat dengan kepalanya tertunduk. Sugou terkekeh, suara ‘kuku’ terdengar dari belakang tenggorokannya, sambil dia berbalik dan berjalan perlahan di belakang Asuna. Dia mengambil sekumpulan rambut panjang Asuna dalam tangannya dan menghirupnya, menghisap dalam-dalam wanginya.
“Mmm, aroma yang enak. Benar-benar sulit untuk mereplika wangi Asuna-kun di dunia nyata. Aku ingin kau menghargai usahaku membawa analyzer ke kamarmu di rumah sakit.”
“Stop… Sugou!!”
Rasa marah yang tidak tertahankan menusuk-nusuk seluruh tubuhku. Bara merah menjalari sarafku, dalam sekejap tekanan yang menahan tubuhku menghilang begitu saja.
“Gu…oh…”
Aku menyangga tubuhku dengan tangan kanan dan melepaskan diri dari lantai. Berdiri pada satu lutut, aku perlahan mengangkat diriku menggunakan seluruh tenaga dalam tubuhku.
Sugou membuat gerakan dramatis pada pinggangnya dengan tangan kirinya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia berjalan ke depanku, memelintir mulutnya.
“Ya ampun, penonton harus tenang… dan diam meringkuk disitu!!”
Berdiri tepat disebelahku, dia tiba-tiba menendang kedua kakiku. Aku kehilangan penyangga dan terhempas ke lantai.
“Guwah!!”
Paru-paruku terkosongkan karena dampak benturan, dipaksa mengeluarkan suara itu. Dengan tanganku menyangga ke lantai lagi, kepalaku terangkat ke atas. Sugou tersenyum dengan senyuman beracun – sambil memegang pedangku dalam tangan kanannya dia menusukku dari belakang tanpa penyesalan sedikitpun.
“Gah…!”
Bara api yang menjalar melalui sarafku dipadamkan oleh sensasi logam tebal menembus tubuhku. Bagian tengah dadaku ditusuk oleh pedang yang sepertinya mengakar dalam ke lantai. Meskipun tidak terasa sakit, aku diserang oleh rasa tidak nyaman yang intens.
“Ki…Kirito-kun!!”
Mendengar jeritan Asuna, aku bertemu tatapannya sambil mencoba memberitahunya ‘aku baik-baik saja’.
Namun, lebih cepat dari kata-kataku dapat keluar, Sugou tiba-tiba bicara ke kegelapan langit di atas dengan suara yang nyaring.
“System Command! Pain Absorption, rubah ke level 8.”
Saat itu, kerucut tajam rasa nyeri murni menyebar ke seluruh punggungku, seakan aku telah ditikam.
“G…Guh…”
Ketika erangan keluar dari mulutku, Sugou melolong dalam tawa.
“Kukuku, masih ada dua suguhan lagi untukmu. Nyerinya akan bertambah kuat perlahan-lahan jadi nantikan saja untuk menikmatinya. Ketika levelnya lebih kecil dari level 3, aku takut sepertinya kau masih akan merasakan gejala syok bahkan setelah log out.”
Dengan sebuah tepukan dari tangannya seakan dia mengatakan ‘sekarang…’, dia kembali ke belakang Asuna.
“B…Bebaskan Kirito-kun sekarang, Sugou!”
Asuna menjerit, tapi tentu saja, Sugou tidak menunjukkan tanda bahwa dia mendengarnya.
“Kau tahu, aku paling benci dengan bocah seperti itu. meskipun dia tidak punya kemampuan atau latar belakang, serangga yang berisik. Kukuku, seperti serangga dalam kotak specimen, mereka harus dijepit dan dihentikan. Lagipula, kau tidak dalam kondisi untuk mengkhawatirkannya, bukan, burung kecil?”
Dari belakang Asuna, Sugou mengulurkan tangan kanannya dan menyentuh pipi Asuna dengan jari telunjuknya. Asuna memutar lehernya mencoba untuk menghindarinya, tapi tidak terjadi seperti yang diharapkannya karena gravitasi yang berat. Jarinya menjalar dari wajahnya dan tidak lama kemudian bergerak turun ke lehernya. Wajah Asuna berubah oleh rasa jijik.
“Stop… Sugou!!!”
Aku berteriak, sambil dengan mati-matian mencoba mendorong tubuhku berdiri. Asuna tersenyum teguh dan dengan suara yang bergetar, berkata:
“- Jangan khawatir, Kirito-kun. Aku tidak akan terluka gara-gara hal seperti ini.”
Saat itu, sebuah tawa berdenyit dengan bunyi ‘kiki’ datang dari Sugou.
“Memang harusnya seperti ini. Berapa lama kau pikir harga dirimu akan menopang – 30 menit? Sejam? Mungkin seharian penuh? Perpanjang saja selama mungkin, kesenangan ini!!”
Sambil berteriak, dia menarik pita merah pada kerah gaun Asuna dengan tangan kanannya. Saat dia menariknya, pakaiannya melar dan tersobek. Pita tipis berwarna merah darah itu terkibar di udara tanpa suara dan mendarat di depan mataku.
Dari gaun yang dikoyak kulit putih dadanya jelas tersingkap. Wajah Asuna berubah dalam penghinaan dan matanya tertutup begitu rapat sampai ia bergetar. Tubuh Sugou melengkung ke belakang, tertawa dengan seringai sambil mengulurkan tangannya ke kulit Asuna yang telanjang. Bibirnya terbuka membentuk bulan sabit dan dia menjulurkan lidah merahnya keluar. Sambil membuat suara air liur yang menetes, dia menjilat dari bawah pipi Asuna, naik.
“Ku, ku, haruskah aku memberitahumu apa yang sedang aku pikirkan?”
Sugou berkata dengan suara yang diwarnai kegilaan yang panas sementara lidahnya masih menjulur di dekat telinga Asuna.
“Setelah aku menikmati sampai puas tempat ini aku bakal pergi ke kamarmu di rumah sakit. Kalau aku mengunci pintunya dan mematikan kameranya, kamar itu menjadi ruangan rahasia. Kau dan aku, hanya kita berdua. Aku akan memasang layar besar dan memutarkan rekaman hari ini dan bersenang-senang dengan dirimu yang lain. Aku akan memanfaatkan waktuku dan melakukannya dengan hati-hati. Lagipula, itu tubuh aslimu. Setelah mengambil kesucian hatimu disini, aku akan mengambil keperawanan tubuhmu disana! Menyenangkan sekali, sebuah pengalaman yang benar-benar unik!!”
Tawa Sugou yang melengking seakan membalikkan isi perutku keluar saat suaranya bergema dalam kegelapan.
Asuna terbelalak untuk beberapa saat, mulutnya tertarik rapat penuh keberanian.
Bagaimanapun, rasa takut yang tidak bisa dikendalikannya terkumpul di sudut matanya. Air mata menetes dari kedua matanya menuruni bulu matanya yang panjang lidah Sugou menjilatnya.
“Ah… manisnya, manis sekali! Ayo, menangislah untukku!!”
Kemarahan putih panas yang dapat menghanguskan segalanya menusuk-nusuk menembus kepalaku, menyebarkan bunga api yang kasar dalam penglihatanku.
“Sugou… dasar brengsek… KAU BRENGSEK—!!!”
Aku berteriak, dengan nekat menggerakkan anggota gerakku, berusaha untuk berdiri. Tapi pedang yang menembusku tidak bergerak sedikitpun.
Aku merasakan air mata meluap dari kedua mataku. Merayap seperti serangga jelek dan meronta, aku meraung.
“Kau brengsek… aku akan membunuhmu! Bunuh! AKU PASTI AKAN MEMBUNUHMU!!!”
Aku berteriak, tapi semuanya tenggelam dalam tawa gila Sugou.
Saat ini, jika saja aku bisa meminjam kekuatan…
0 komentar:
Posting Komentar